SELAMA ini acuan pemeringkatan kualitas pendidikan dan kualitas siswa yang berusia sekitar 15 tahun menggunakan Program for International Student Assesment (PISA). PISA adalah organisasi internasional yang menilai kemahiran akademis anak-anak di seluruh dunia. Setiap tiga tahun PISA merilis rangking pendidikan tiap negara dengan mengamati kemampuan siswa membaca, matematika, dan sains.
Tahun lalu PISA merilis penilaian terhadap 81 negara. Untuk negara-negara ASEAN, nilai Indonesia hanya di atas Filipina dan Kamboja, dengan urutan dari nilai terbesar adalah Singapura (560), Brunei Darussalam (439), Vietnam (468), Malaysia (404), Thailand (394), Indonesia (369), Filipina (353), dan Kamboja (337).
Pemeringkatan itu mengungkap beberapa arah penting yang membentuk lanskap pendidikan saat ini. Salah satu pengamatan yang mencolok adalah semakin lebarnya kesenjangan antara negara-negara yang berkinerja tinggi dan yang berkinerja rendah. Meskipun siswa di negara-negara dengan peringkat teratas terus unggul, siswa di wilayah yang kurang beruntung kesulitan mengimbanginya, termasuk di Indonesia. Kesenjangan itu menuntut kebutuhan mendesak akses yang adil terhadap pendidikan berkualitas.
Kecenderungan penting lain adalah meningkatnya penekanan pada pemikiran kreatif di samping keterampilan akademis tradisional. Fokus PISA pada matematika, ditambah dengan penilaian berpikir kreatif, menggarisbawahi meningkatnya pengakuan terhadap keterampilan non-kognitif. Ketika inovasi dan kemampuan beradaptasi menjadi semakin penting, memupuk kemampuan-kemampuan itu perlu menjadi prioritas.
Kita tahu kualitas lulusan sekolah yang dinilai itu akan menjadi input yang menentukan bagi kualitas pendidikan di perguruan tinggi. Namun, kebijakan pendidikan nasional di Indonesia seperti mempunyai cara pikir tersendiri dengan tidak menggunakan pemeringkatan itu sebagai input kebijakan pendidikan nasional. Padahal dengan peringkat pendidikan menengah di Indonesia yang cukup rendah—belum lagi adanya keragaman kualitas pendidikan antar pulau/wilayah—dapat menjadi cermin bahwa kebijakan dan arah capaian pendidikan itu perlu dievaluasi.
Dari pengalaman mengajar di perguruan tinggi selama 40 tahun, seluruh materi kuliah kepada mahasiswa sangat tergantung saya sendiri dan kelompok kecil—hanya 2-3 dosen—di bidang yang kami geluti. Penyebaran ilmu pengetahuan pun melalui jurnal ilmiah yang kini sebagian besar tidak menggunakan bahasa Indonesia, membuat percakapan dunia konseptual dan masalah empiris dari lapangan menjadi semakin eksklusif.
Strategi meningkatkan peran perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia bagi masyarakat global itu cenderung trade off terhadap kebutuhan perkembangan ilmu pengetahuan. Pergumulan saya dengan para penentu kebijakan di daerah di bidang kehutanan dan lingkungan hidup, misalnya, jurnal ilmiah bukan sumber membuat kebijakan.
Dari seratus orang di kantor kabupaten dan provinsi, mereka menjawab pertanyaan saya mengenai sumber inisiatif pembaruan kebijakan: penjabaran regulasi (35 orang), cara pikir sendiri (17 orang), subyek kebijakan atau mitra usaha (15 orang), instruksi langsung bupati/gubernur (9 orang), instruksi atasan langsung (10 orang), think-tank/lingkaran politik pimpinan (8 orang), kelompok penekan (4 orang), publikasi ilmiah/media (2 orang).
Dengan begitu penyebaran penggunaan ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah di dunia nyata terpisah dari pemerintah daerah dan masyarakat pada umumnya yang dianggap bukan komunitas ilmu pengetahuan. Akibatnya perkembangan ilmu pengetahuan di jurnal ilmiah berputar di kalangan akademis saja.
Di kalangan dosen, menulis jurnal ilmiah juga semata kewajiban untuk naik jabatan. Dengan sistem kerja seperti itu terbukti para pengajar atau dosen lebih fokus pada administrasi untuk kenaikan pangkat, dari pada pengembangan ilmu pengetahuan untuk memahami persoalan dunia nyata yang terus berkembang. Dengan standar gaji yang dibuat di bawah rata-rata kebutuhan nyata kehidupan bermasyarakat, waktu kerja dibiarkan mengarah untuk mencari tambahan pendapatan itu.
Mohammad Nur Rianto Al Arif, guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam publikasinya “Tantangan Peningkatan Kualitas Dosen di Indonesia” (2024), menyebut persoalan dan hambatan peningkatan profesi dosen berikut.
Pertama, kualifikasi akademik dosen masih rendah. Data pada 2022 menunjukkan hanya 18% dari 316.912 orang dosen di Indonesia yang berkualifikasi akademik doktor, itu pun sebagian besar tersebar di Perguruan Tinggi Negeri.
Kedua, kurangnya keterampilan untuk menjalankan pendidikan berkualitas. Hal ini akibat kurangnya akses terhadap pelatihan serta rendahnya minat dan motivasi para dosen untuk meningkatkan kompetensi dan keterampilannya. Masih banyak dosen yang belum memiliki kemampuan mengajar dengan baik.
Ketiga, rendahnya kesejahteraan dosen, penyebab sulitnya mempertahankan dan menarik talenta terbaik. Saat ini pegawai negeri seorang dosen baru dengan kualifikasi magister rata-rata mendapat gaji bulanan Rp 3,3 juta. Sedangkan upah minimum regional DKI Jakarta 2024, Rp 5.067.381. Dibandingkan Malaysia, rata-rata bulanan untuk gaji guru dapat mencapai RM 5950 atau setara Rp 20 juta. Rata-rata gaji dosen non-profesor RM 7500 atau Rp 25 juta, dan rata-rata gaji profesor sebesar RM 16000 atau setara dengan Rp 53 juta.
Keempat, mobilitas tenaga pendidik untuk beralih profesi maupun bekerja di luar negeri. Kesejahteraan yang melandasi mobilitas tenaga pendidik untuk beralih profesi, pindah ke jalur struktural atau berkarier di luar negeri erat kaitannya dengan gaji yang lebih tinggi, kondisi kerja yang lebih baik, atau kesempatan pengembangan karier yang lebih menarik.
Kelima, rendahnya minat penelitian dan publikasi ilmiah para dosen di sebagian besar perguruan tinggi. Salah satu yang mendasari rendahnya publikasi ilmiah karena para dosen terfokus untuk mengajar demi mendapat penghasilan daripada melakukan penelitian dengan dana tidak besar namun beban administrasi pertanggungjawaban lebih rumit.
Keenam, perguruan tinggi di Indonesia berputar-putar pada target naik pangkat dan lomba publikasi di jurnal ilmiah internasional. Padahal, jumlah artikel ilmiah yang sudah diterbitkan di jurnal bukanlah ukuran luasnya manfaat yang dapat dituai oleh sarjana untuk kepentingan sosial di sekitarnya.
Kebijakan pendidikan nasional belum mengarah pada penguatan posisi subyek utama penyelenggaranya, yaitu guru dan dosen. Pengembangan ilmu pengetahuan, penguasaan ilmu pengetahuan oleh para pengajar, serta kesenjangan infrastruktur agar pendidikan ditopang oleh ilmu pengetahuan yang terus berkembang kalah oleh segala urusan memenuhi pertanggungjawaban administrasi.
Ikuti percakapan tentang kualitas pendidikan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :