KETIKA saya masih kecil, tahun 1960an, kata “nglomproh” dipakai orang-orang Jawa Timur untuk menyatakan kepergian tanpa tujuan spesifik. Misalnya, ketika ayah saya pergi entah ke mana, tujuan pun tidak disebutkan, Ibu akan menjawab, “Nglomproh” ketika saya tanya, “Ayah kemana pergi?”
Pembicaraan dalam nglomproh juga tidak punya tujuan khusus. Saya pernah ikut ayah nglomproh ke rumah kenalan dan kelompok pergaulannya beberapa kali. Sambil bermain dengan anak-anak teman ayah itu, saya ikut mendengar percakapan para orang tua, sehingga saya tahu dalam nglomproh topik pembicaraannya bermacam-macam. Intinya, dalam nglomproh, terbangun keakraban, saling tukar informasai dan pendapat, terbangun modal sosial, yaitu eratnya hubungan antar orang yang dapat bermanfaat untuk memecahkan berbagai masalah bersama.
Sebagai penilik sekolah dasar, ayah punya ragam kenalan lintas desa, lintas profesi, baik sebagai pegawai di kantornya, pegawai kecamatan, pegawai desa, para pedagang di pasar kecamatan ataupun para petani. Dengan nglomproh, ayah saya mengetahui apa yang sedang menjadi perhatian para tetangga dan kenalannya. Kadang-kadang hasil nglomproh menjadi topik formal yang dibicarakan di kantor desa.
Saat ini, ketika saya tanya kepada anak-anak muda di kampung kelahiran saya saat mudik Lebaran ini, nglomproh sudah tidak digunakan lagi. Mereka menebak nglomproh artinya “ngluyur” dalam kosa kata zaman sekarang. Tetapi ketika saya ceritakan contoh-contoh nglomproh mereka setuju makna ngluyur tidak terlalu tepat.
Akibat, nglomproh tak lazim dilakukan lagi, aliran informasi menjadi terputus. Saya belum menelisik lebih jauh apakah hilangnya suatu istilah lokal mencerminkan hilangnya makna pergaulan dalam hubungan sosial. Dengan begitu, terkikis pula modal sosial di masyarakat kita.
Dalam publikasi “How is Social Capital Destroyed?” oleh Tristan Claridge, umumnya modal sosial hilang atau rusak karena faktor yang mengurangi niat baik berjejaring. Termasuk berbagai tindakan antisosial, kurang berbagi, memberi, atau peduli terhadap sesama. Tindakan seperti itu dapat berupa pengkhianatan terhadap kepercayaan, tindakan egois, anggapan ketidakpedulian, pengucilan, kekerasan atau ancaman kekerasan serta penipuan.
Claridge menambahkan, secara konseptual ataupun empiris, modal sosial dapat dengan mudah dihancurkan. Membangun modal sosial melalui tindakan dan interaksi positif yang berulang-ulang memerlukan waktu yang lama, namun dapat dihancurkan hanya dengan satu kasus tindakan. Maka modal sosial dapat dihancurkan dengan lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan cara membangun dan mempertahankannya. Satu kesalahan penilaian yang serius dapat merusak bangunan kepercayaan yang telah berlangsung sangat lama, menghancurkan reputasi seseorang atau bahkan suatu komunitas.
Berbagai konflik antar penduduk desa atau kelurahan yang sering menjadi berita media saat ini, adalah proses runtuhnya modal sosial yang mungkin telah lama terbentuk. Claridge menyebut, seringkali dampak rusaknya modal sosial merupakan hasil dari bagaimana suatu tindakan diinterpretasikan.
Suatu tindakan mungkin punya maksud baik, namun bisa juga buruk. Segala tindakan dan peristiwa bisa menjadi sinyal yang mempengaruhi modal sosial. Misalnya, ketika seseorang melakukan kejahatan, kepercayaan umum masyarakat berkurang. Apabila orang tersebut lolos dan masih dipercaya, aka kepercayaan terhadap sistem masyarakat yang menciptakan perilaku bisa diprediksi akan benar-benar hilang.
Salah satu pembicaraan ayah saya ketika bergabung dan berbincang dengan teman-temannya saat nglomproh, antara lain, matinya kambing ayah di kandang belakang rumah karena dimakan sekelompok anjing liar. Pada tahun 1960-an, peristiwa itu cukup umum, yang juga terjadi pada binatang piaraan lain, termasuk sapi dan kerbau.
Nglomproh bisa menjadi cara menyelesaikan problem itu. Ayah dan para tetangganya menciptakan sistem kampung mencegah anjing memakan ternak.
Sayangnya, dalam skala luas, strategi pembangunan nasional tidak terlihat dikaitkan mengaitkannya dengan perubahan-perubahan sosial seperti itu. Padahal, tanggung jawab sosial juga masuk ranah teori etika yang menyatakan bahwa individu bertanggung jawab memenuhi kewajiban sebagai warga negara. Untuk itu tindakan individu harus bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Dengan demikian, harus ada keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, dan lingkungan sosial dengan tolok ukur yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Saat ini pertumbuhan ekonomi cenderung tidak melahirkan kesejahteraan masyarakat secara adil dan bersamaan dengan itu lingkungan hidup terus-menerus merosot kualitasnya. Kemerosotan itu bukan hanya sekadar “dampak lingkungan” sebagai konsekuensi logis dari pertumbuhan ekonomi. Dalam memasak, kerusakan itu bukan problem kurang bumbu, tapi salah menerapkan resep.
Ketiak saya besar dan mempraktikkan sendiri nglomproh, saya merasakan ada tanggung jawab dan etika sosial. Etika itu menjadi bagian dari tindakan dan keputusan sehari-hari, terutama yang berdampak pada orang lain dan lingkungannya. Dalam kapasitas kelompok yang lebih besar, kode tanggung jawab sosial dan etika berlaku ketika saya dan kami beriniteraksi dengan kelompok masyarakat lain.
Hilangnya istilah dan tradisi nglomproh berdampak pada hilangnya modal sosial dalam perubahan-perubahan yang makin luas. Tak ada lagi tukar informasi, tak ada lagi permusyawarahan menyelesaikan problem sehari-hari, seperti yang terjadi saat masyarakat desa mempraktikkan nglomproh sebagai bagian dari hidup mereka.
Ikuti percakapan tentang modal sosial di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :