Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 26 April 2024

Mengapa Pendanaan Transisi Energi dalam JETP Mengandalkan Utang

Transisi energi dalam JETP mengandalkan utang. Tak punya perspektif keadilan iklim.

Pembangkit listrik tenaga bayu di Janeponto Sulawesi Tengah (Foto: Dok. EBTKE)

KEBIJAKAN publik tidak bisa dipisahkan dari wacana (discourse). Wacana acap menjadi pintu pembuka yang akan membuat publik atau pihak-pihak berkepentingan menyetujui sebuah kebijakan. Menurut Erianto (2003), relasi antara pengetahuan dan kekuasaan seperti teori Michel Foucoult, filsuf Prancis. Penyelenggaraan kekuasaan terus menerus akan menciptakan entitas pengetahuan, begitu pun sebaliknya penyelenggaraan pengetahuan akan menimbulkan efek kekuasaan. 

Teori antara pengetahuan dan kekuasaan itu juga terdapat dalam kebijakan transisi energi di Indonesia. Salah satu kebijakan transisi energi yang dibangga-banggakan pemerintah adalah Just Energy Transition Partnership (JETP). Skema pendanaan JETP diluncurkan dalam KTT G20 di Bali. Wacana yang dibawa dalam skema JETP adalah keadilan transisi energi.

Wacana itu tampak dari masuknya kata ‘just’ (justice/keadilan) dalam JETP. Ini yang membedakan dengan skema pendanaan transisi energi lainnya.  Dengan wacana keadilan transisi energi ini, beberapa organisasi masyarakat sipil yang selama ini kritis dengan kebijakan energi dan lingkungan hidup menyambut baik skema ini. Sampai-sampai, organsiasi lingkungan hidup Greenpeace yang selama ini selalu kritis dengan kebijakan lingkungan hidup Indonesia, merespons baik diluncurkannya JETP.

Pada November 2023 pemerintah mengumumkan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP. Komitmen awal pendanaan transisi energi dalam JETP kurang lebih US$ 20 miliar. Dari angka itu, CIPP JETP memfokuskan lima fokus investasi (investment focus area/IFA), yaitu​:

  • IFA 1: Pengembangan Jaringan Transmisi dan Distribusi Listrik; sekitar 14.000 kilometer rangkaian transmisi yang memakan biaya hingga US$ 19,7 Miliar pada tahun 2030; 
  • IFA 2: Pemensiunan Dini dan Managed Phase-out Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara; retrofitting fleksibilitas batu bara yang memerlukan dana hingga US$ 1,3 Miliar pada tahun 2030; 
  • IFA 3: Akselerasi Energi Terbarukan Dispatchable; pengembangan kapasitas sebesar 16,1 Giga watt pada tahun 2030, yang memakan biaya hingga US$ 49,2 Miliar pada tahun 2030; 
  • IFA 4: Akselerasi Energi Terbarukan Variabel (VRE); pengembangan kapasitas sebesar 40,4 Giga watt pada tahun 2030, yang memakan biaya hingga US$ 25,7 Miliar pada tahun 2030; dan 
  • IFA 5: Pengembangan rantai pasok energi terbarukan. 

JETP, yang semula mendapat sambutan baik dari organisasi masyarakat sipil, menuai kekecewaan saat CIPP diluncurkan. Greenpeace memberikan kritik keras terhadap CIPP JETP. Para aktivisnya berdemonstrasi di depan kedutaan besar Jepang, salah satu negara donor JETP​4.

Kelompok masyarakat sipil menilai JETP tidak mencerminkan keadilan dalam transisi energi. Ada dua hal yang mengecewakan kelompok masyarakat sipil terkait CIPP JETP. Pertama, pembiayaan transisi energi dalam CIPP JETP justru didominasi utang. Model pembiayaan berbasis utang, baik dalam bentuk pinjaman lunak atau pinjaman komersial, menimbulkan kekhawatiran mengenai beban pendanaan JETP terhadap ruang fiskal Indonesia. 

Soalnya, negara-negara maju, berdasarkan Perjanjian Paris, harus memberikan hibah yang lebih besar berdasarkan prinsip “tanggung jawab bersama namun berbeda”. Bukan hanya itu, Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Conference of the Parties (COP) ke-15, 2009,  menyepakati negara maju berkomitmen mengumpulkan dana sebesar US$ 100 miliar per tahun guna mengatasi permasalahan iklim di negara berkembang pada 202​5.

Jerman dan Kanada telah mengajukan proposal dana iklim yang disalurkan selama 2020-2025, bukan dalam setahun​. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) juga mengkritik realisasi komitmen negara-negara kaya. Menurut UNEP, aliran dana hanya mencapai US$ 25 miliar selama periode 2017-2021​7. 

Bukan hanya dalam komposisi pendanaan, keadilan iklim juga tidak tecermin dalam proyek energi terbarukan yang akan didanai JETP. CIPP mengabaikan pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat. Energi terbarukan berbasis masyarakat membuka akses listrik bagi masyarakat miskin, terutama di daerah pedesaan terpencil.

Akses masyarakat miskin terhadap listrik merupakan hak mereka atas pembangunan (hak ekonomi, sosial, dan budaya/ekonomi). Negara, karena itu, harus memenuhi hak ini. Tanpa memperhatikan pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat, JETP mengabaikan nilai-nilai keadilan.

Keadilan memiliki tafsir yang berbeda antara sebagian kelompok masyarakat sipil dan pihak-pihak yang menyusun CIPP JETP. Kelompok masyarakat sipil menilai keadilan transisi dalam JETP terjadi bila skema pendanaan tidak didominasi utang dan juga membiayai energi terbarukan berbasis masyarakat.  

Tafsir keadilan transisi energi versi masyarakat sipil itu berbeda dengan tafsir para penyusun CIPP JETP. Para penyusun CIPP JETP menilai keadilan transisi energi bila ada bantuan dari negara maju ke negara berkembang, seperti Indonesia, untuk membiayai transisi energi. Bantuan ini menurut para penyusun CIPP JETP juga termasuk utang.

Pertanyaannya, kenapa terjadi perbedaan tafsir dalam wacana keadilan transisi energi antara kelompok masyarakat sipil dan penyusun CIPP JETP?

Menurut Antonio Gramsci​, intelektual adalah perwakilan kelas sosialnya. Dalam konteks ini, Gramsci membagi intelektual menjadi dua. Pertama, intelektual tradisional. Menurut Grasmci intelektual tradisional adalah intelektual yang tidak mengambil peran tanggung jawab kelas sosialnya. Tidak mengambil peran tanggung jawab ini juga bisa dimaknai sebagai melanggengkan dominasi pengetahuan tertentu yang ada di masyarakat.

Kedua, intelektual organik. Menurut Gramsci, intelektual organik adalah intelektual yang memiliki kesadaran kelas. Kesadaran kelas itulah yang membuat intelektual organik bersifat politis. Dari pengertian ini, intelektual organik tidak selalu datang dari kelas sosial proletariat tapi juga bisa lahir dari kelas sosial borjuis. 

Berpijak pada teori Gramsci itu kita bisa memeriksa aktor-aktor penyusun CIPP JETP. Dalam konteks Indonesia, pemetaan serupa dapat dilakukan dalam memetakan relasi rezim dan aktor dalam Working Group dalam penyusunan CIPP JETP. Secara garis besar rezim dalam JETP Indonesia adalah rezim pembangunan, rezim perdagangan, dan rezim keadilan sosial.

Tiga rezim besar dalam CIPP JETP itu didalami dalam empat working group besar:

  1. Kelompok kerja teknis (rejim pembangunan), yang dipimpin oleh International Energ Agency (IEA), memiliki tujuan mengonsolidasikan peta jalan transisi energi untuk sektor ketenagalistrikan Indonesia. Para anggota kelompok kerja teknis tersebut mencakup Rocky Mountain Institute, World Bank, Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Danish Energy Agency;
  2. Kelompok kerja pendanaan (rezim perdagangan), yang dipimpin Asian Development Bank (ADB), untuk mengidentifikasi kebutuhan, persyaratan, dan modalitas pembiayaan. Para anggota kelompok kerja pendanaan tersebut mencakup GFANZ, Climate Policy Initiative, KfW, AFD, dan JICA;
  3. Kelompok kerja kebijakan (rejim pembangunan), yang dipimpin oleh Bank Dunia, untuk menganalisis persyaratan kebijakan dan memberikan rekomendasi demi mendukung dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan. Para anggota kelompok kerja kebijakan tersebut mencakup Mentari, USAID, ADB, dan IEA
  4. Kelompok kerja transisi berkeadilan, yang dipimpin United Nations Development Programme (UNDP), memiliki tujuan untuk mengembangkan kerangka transisi berkeadilan sebagai panduan pelaksanaan. Para anggota kelompok kerja transisi berkeadilan tersebut mencakup ADB, International Labor Organization (ILO), WB, GIZ, dan Indonesian Center for Environmental Law.

Dominasi Bank Dunia dan ADB mencerminkan perspektif dalam mendieinisikan persoalan dan merumuskan solusinya. Skema pendanaan JETP yang didominasi oleh utang dan juga tidak mengakomodasi energi terbarukan berbasis masyarakat tidak bisa dilepaskan dari dominasi ADB dan WB dalam WG penyusunan CIPP JETP.

Ikuti percakapan tentang JETP di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Indonesia Team Lead Interim, 350.org Indonesia

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain