KATA eksplorasi biasanya digunakan dalam dunia pertambangan. Artinya penjelajahan lapangan dengan tujuan memperoleh pengetahuan lebih banyak (tentang keadaan), terutama sumber-sumber daya alam, yang umumnya tidak bisa diperbarui. Bagaimana dengan sumber daya alam yang bisa diperbarui seperti hutan alam?
Terbitnya Peraturan Pemerintah 21/1970 tentang hak pengusahaan hutan (HPH) dan hak pemungutan hasil hutan (HPHH) yang telah mengeksploitasi kawasan hutan alam Indonesia yang mencapai hampir 64 juta hektare di tahun 2000. Adakah kegiatan eksploitasi hutan alam ini didahului dengan kegiatan eksplorasi sebagaimana di dunia tambang?
Regulasi pengusahaan hutan alam di Indonesia pertama kali didasarkan pada Undang-Undang 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan. Dalam penjelasan pasal 13 tentang pengusahaan hutan secara tekstual disebutkan bahwa untuk mencapai target produksi yang telah ditentukan, eksploitasi, penanaman, pemeliharaan hutan dan usaha-usaha lainnya diselenggarakan berdasarkan rencana karya atau bagan kerja sebagaimana tersebut dalam pasal 8 ayat (2).
Dalam Penjelasan PP 21/1970 pasal 8 ayat (1) disebutkan bahwa guna menjamin kelestarian hutan, maka pada dasarnya eksploitasi hutan hanya dilaksanakan secara tebang pilih yang pelaksanaannya diatur Pedoman Umum Eksploitasi Hutan. Secara tekstual pula, eksplorasi pengusahaan hutan dalam regulasi kehutanan tidak ditemukan terminologinya. Jadi perlukah eksplorasi dalam pengusahaan hutan ?.
Eksplorasi pengusahaan hutan perlu dan wajib sebelum eksploitasi yang selama ini dilakukan oleh perusahaan HPH dan berubah menjadi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam (IUPHHK-HA) dalam UU 41/1999 dan berubah lagi menjadi perizinan berusaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dalam UU Cipta kerja bidang kehutanan. Kenapa?
Secara tersirat kegiatan eksplorasi pengusahaan hutan disebut dalam ketentuan PP 21/1970 pasal 2 ayat (2) yang menyebut bahwa biaya survei untuk mendapatkan HPH dibebankan kepada pihak pemohon dan diserahkan kepada Instansi yang serahi tugas/wewenang mengurus kehutanan.
Biaya survei adalah biaya untuk menyusun buku hijau (green book) sebagai buku studi kelayakan (feseability study) yang merekomendasikan suatu kawasan hutan produksi layak ditetapkan sebagai areal konsesi HPH, setelah dihitung volume potensi kayu jenis komersial (Dipterocarpaceae) rata-rata per hektare, berada di atas batas toleransi yang telah ditetapkan yakni 40 m3 dengan diameter kayu di atas rata-rata 50 sentimeter.
Proses dan kegiatan survei dan menyusun green book ini sesungguhnya adalah proses eksploitasi pengusahaan hutan alam. Inilah, pintu masuk suatu kawasan hutan alam produksi dapat direkomendasi untuk kegiatan HPH, yang selanjutnya akan diikuti dengan menyusun kegiatan perencanaan rencana kerja dua puluh tahunan RKD), rencana kerja lima tahunan (RKL) dan rencana kerja tahunan (RKT).
RKT merupakan pintu masuk kegiatan eksploitasi pengusahaan hutan. Masalahnya, penyusunan green book biasanya dilakukan secara terburu-buru dalam waktu singkat semata mengejar rekomendasi perizinan hak pengusahaan hutan. Penyusunan green book pengusahaan hutan alam juga terkesan formalitas, karena sesungguhnya banyak kawasan hutan alam produksi yang potensi kayu Dipterocarpaceae kurang dari 40 m3 per hektare, didongkrak angkanya melebihi batas toleransi rata-rata diatas 40 m3 per hektare.
Proses kegiatan eksplorasi pengusahaan hutan alam yang sifatnya formalitas ini berlangsung bertahun-tahun, sehingga menimbulkan dampak negatif bagi pengelolaan hutan alam di Indonesia. Akibatnya, tiba gilirannya kegiatan eksploitasi hasil hutan volume kayu dalam jatah tebang tahunan lebih rendah dari perhitungan yang sudah ada. Hasilnya adalah konsesi yang jangka waktunya 35 tahun dan dibagi menjadi dua periode (periode I 20 tahun dan periode II 15 tahun), kayu yang akan dieksploitasi sudah habis hanya pada periode I saja.
Faktor utama kinerja HPH terus menurun karena produktivitas hutan alam setelah rotasi kedua menjadi sangat rendah atau bahkan tidak ekonomis untuk diusahakan. Kondisi ini menyebabkan perusahaan HPH banyak yang gulung tikar, sebagian tidak aktif dan mati suri.
Akibat kesalahan mengukur potensi kayu per hektare di kawasan konsesi HPH yang diberikan izin (di samping pengelolaan/eksploitasi yang mengabaikan kelestariannya) dalam buku bukunya “The State Of Indonesia’s Forest 2020” terbit tahun 2020, kawasan hutan produksi yang non tutupan hutan seluas 23,3 juta hektare (hutan produksi terbatas (HPT) 5,4 juta hektare, hutan produksi biasa (HP) 11,4 juta hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) seluas 6,5 juta hektare).
Bila kegiatan eksplorasi pengusahaan hutan dalam bentuk penyusunan green book ini sudah dilakukan dengan benar dan profesional, setidaknya menekan adanya kerusakan hutan produksi yang diakibatkan oleh kegiatan eksploitasi yang patut diduga dilakukan dengan mengabaikan kelestarian hutan alam di Indonesia.
Ikuti percakapan tentang eksploitasi hasil hutan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :