SEMUA perguruan tinggi yang punya bidang studi pemanfaatan sumber daya alam dan ilmu lingkungan selalu menyediakan mata kuliah atau bahkan program studi yang membahas keberlanjutan atau sustainability. Demikian pula bidang penelitiannya. Pembicaraan mengenai keberlanjutan yang bersifat global juga menjadi referensi praktik keberlanjutan dalam lingkup lokal atau sebaliknya.
Sudah umum pula tolok ukur pembangunan keberlanjutan adalah tercapainya tiga sasaran sekaligus: ekonomi, keadilan sosial, dan pelestarian lingkungan hidup. Walaupun akhir-akhir ini ada tambahan sasaran, yaitu tata kelola (governance), karena kapasitas pemerintah dan korupsi menjadi faktor penentu keberlanjutan.
Pemerintah Indonesia, secara agregat nasional, belum bisa mewujudkan pembangunan berkelanjutan dengan tolok ukur seperti itu. Kecuali, ada kasus-kasus di lapangan dalam lingkup terbatas. Indeks pembangunan keberlanjutan pada 2023 menempati peringkat 75 dari 166 negara.
Sektor paling menjadi masalah adalah manfaat ekonomi dari eksploitasi sumber daya alam seperti beraneka bahan tambang, kayu dan konversi hutan, serta perikanan tangkap, untuk menopang pendapatan nasional. Arah pemanfaatannya pun belum sampai mewujudkan keadilan sosial, dampak lingkungan masih nyata, ketimpangan kaya-miskin makin lebar, serta belum terwujudnya tata pemerintahan yang baik. Akibatnya, indeks tata kelola Indonesia hanya 34 dari 100.
Dengan anomali iklim dan kerusakan sumber daya alam, bencana akibat kerusakan lingkungan juga semakin meningkat dan masyarakat miskin menjadi korbannya. Namun demikian, jumlah dan struktur eksploitasi sumber daya alam tidak berubah. Padahal eksploitasi sumber daya alam yang menjadi faktor utama kerusakan lingkungan.
Kesempatan untuk memanfaatkan sumber daya alam didominasi kelompok masyarakat kaya dan kuat secara politik. Dalam kenyataannya, pemanfaatan sumber daya alam oleh kelompok masyarakat ini terbukti tidak berkelanjutan. Untuk bahan tambang, selain menghasilkan perubahan bentang alam secara permanen, juga tidak memberikan daya ungkit ekonomi masyarakat dalam jangka panjang. Ketika bahan tambang habis, masyarakat pekerja kembali miskin.
Situasi seperti itu serupa dengan eksploitasi hutan alam produksi. Hutan alam produksi seharusnya berkelanjutan, bila jumlah volume pohon yang ditebang sesuai dengan jumlah pertumbuhannya.
Namun, eksploitasi hutan alam produksi seluas 58 juta hektare pada 1997 melalui 567 perusahaan, kini tinggal 174 perusahaan atau sekitar 30 juta hektare yang dikelola perusahaan yang masih berproduksi. Artinya negara kehilangan potensi hutan alam produksi sekitar 28 juta hektare.
Bila setiap hektare hutan menghasilkan kayu 30 m3, dengan asumsi hanya 80 persen berisi kayu yang dapat dimanfaatkan, maka jumlah kayu yang hilang diperkirakan 588 juta m3. Bila 1 m3 rata-rata Rp 1 juta, negara kehilangan Rp 588 triliun. Bila hal itu terjadi dalam waktu 43 tahun, setiap tahun kita kehilangan Rp 14 triliun.
Dalam pemanfaatan komoditas perikanan tangkap juga begitu. Dalam konteks wilayah Indonesia secara keseluruhan, faktor apa yang paling menentukan tercapai keberlanjutan dan sejauh mana keberlanjutan itu bisa diwujudkan?
Dalam “Exploring the governance and politics of transformations towards sustainability” (2017), James Patterson, dkk, menyebut bahwa tata kelola dan politik sangat penting kita pahami untuk menganalisis dan membentuk transformasi menuju keberlanjutan. Sebab, tata kelola secara inheren ada dalam setiap upaya membentuk transformasi menuju keberlanjutan. Selain itu, transformasi menuju keberlanjutan perlu diakui sebagai hal yang politis.
Pandangan Patterson belum menjadi pertimbangan dalam pembahasan dan penetapan kebijakan pembangunan keberlanjutan. Untuk suatu unit usaha, misalnya untuk hutan, kelestarian hanya ditentukan dari jumlah volume pohon yang boleh ditebang dalam waktu satu tahun. Semua faktor dianggap bersifat teknokratis. Tidak ada persoalan politis. Namun, dengan kenyataan yang tidak berkelanjutan yang datanya ditunjukkan sebelumnya, berbagai pelanggaran sehingga tidak berkelanjutan itu bersifat politis.
Untuk itu, transformasi menuju keberlanjutan perlu fokus dan eksplisit dalam proses perubahan dalam kebijakan pemerintah dan perubahan masyarakat, yang bisa didekati baik dengan cara normatif, maupun cara analitis dengan melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi dan bagaimana mengarahkannya pada jalur keberlanjutan.
Dengan sifat politis, aktor yang berbeda akan terkena dampak dengan cara yang berbeda, dan mungkin mendapat untung atau merugi akibat perubahan menuju keberlanjutan. Rugi karena untung melimpah itu didapatkan tanpa mengindahkan peraturan-perundangan, sementara kini tunduk pada regulasi menjadi bagian dari tata kelola penopang keberlanjutan.
Untuk itu, kerangka dan narasi transformasi menuju keberlanjutan bisa dinilai berbeda oleh aktor yang berbeda, karena masing-masing punya penilaian sendiri terhadap keberlanjutan, persepsi terhadap proses perubahan, serta ketidakpastian. Dengan demikian, keberlanjutan semakin sulit diwujudkan apabila dasar kerja dan dukungan politik pelakunya tidak untuk keberlanjutan.
Untuk itu, ada kebutuhan menempatkan tata kelola dan politik sebagai pusat telaah mengenai transformasi menuju keberlanjutan: apakah secara politik mungkin atau tidak mungkin dan solusinya. Ini berarti kita perlu mempelajari kekuatan dan jaringan para aktor atau lebih tepatnya para pemilik usaha-usaha besar yang memanfaatkan sumber daya alam serta jaringan politik pemerintahan pendukungnya, yang mana pilihan dan corak usaha serta bentuk usahanya menentukan wujud keberlanjutan.
Dalam penguasaan sumber daya alam yang timpang, pertanyaannya: keberlanjutan akan menguntungkan siapa?
Untuk itu mencapai keberlanjutan harus disertai dengan upaya mewujudkan keadilan pemanfaatan sumber daya alam. Dua tujuan yang harus dicapai secara sekaligus itu terletak pada berhasilnya perbaikan tata kelola pemerintahan, terutama yang mencakup kapasitas pemerintahan. Hal itu dapat diwujudkan ketika hubungan pusat dan daerah seimbang dan harmonis serta korupsi bisa diminimalkan.
Selain itu, kita tidak bisa bisa mengasumsikan bahwa perubahan menuju keberlanjutan tidak akan menemui perlawanan, terutama ketika praktik pembangunan yang berjalan selama ini cenderung tidak adil dan tidak berkelanjutan. Bahkan transformasi seperti itu sering kali melibatkan politik tingkat tinggi (Chhotray dan Stoker, 2009).
Patterson, dkk merumuskan sebuah matriks masalah utama tata kelola dan tema-tema lintas sektoral yang melekat dalam penanganan masalah-masalah keberlanjutan. Mengacu pada negara-negara maju yang telah dapat menjalankan kebijakan keberlanjutan, berbagai bentuk tantangan utama tata kelola yang baik tercakup dalam arsitektur, keagenan, kemampuan beradaptasi, akuntabilitas, serta alokasi dan akses.
Arsitektur itu mengacu pada sistem menyeluruh berbagai lembaga pemerintah dan swasta, berbagi prinsip dan norma, peraturan, prosedur pengambilan keputusan serta organisasi-organisasi yang punya kapasitas dalam bidang yang terkait dengan keberlanjutan.
Dengan begitu, keberlanjutan bukan hanya fokus pada pelaku usaha dan masyarakat, yang penting justru bagaimana kapasitas dan independensi pemerintah mampu menopang keberlanjutan pembangunan.
Ikuti percakapan tentang politik keberlanjutan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :