PEMBAGIAN kerja dan spesialisasi menjadi sistem kehidupan yang membebaskan kita dari keharusan mengetahui segala hal. Tidak masalah jika ada seseorang tidak mengetahui persoalan yang bukan bidangnya. “Serahkan pada ahlinya” adalah kalimat umum bila kita mendapat masalah spesifik yang pemecahannya perlu pengetahuan dan pengalaman khusus. Tapi ketika informasi khusus bisa kita dapatkan dari mana-mana, tak mesti dari ahli, akan ada perubahan sosial-politik dengan dampak yang belum bisa diperkirakan.
Sejauh ini kita telah melewati masa pramodern, yaitu kearifan, nilai-nilai dan pengetahuan masyarakat dalam mengisi kesenjangan pengetahuan melalui periode perkembangan pesat yang didasarkan pada spesialisasi dan keahlian. Kini kita mulai menuju masa pascaindustri yang berorientasi pada informasi. Di era ini orang mulai percaya bahwa mereka adalah ahli dalam segala hal karena akses informasi yang semakin mudah.
Namun, hasilnya bukan rasa hormat yang lebih besar terhadap ilmu pengetahuan. Sebaliknya justru tumbuh keyakinan irasional. Bahwa setiap orang sama pintarnya dengan orang lain. Hal ini justru kebalikan dari hasil pendidikan, yang seharusnya bertujuan untuk membuat orang, tidak peduli seberapa pintar atau berprestasinya mereka, menjadi pembelajar seumur hidup.
Sebaliknya, kita sekarang hidup dalam masyarakat yang merasa cukup dengan sedikit pembelajaran, bukan awal dari proses belajar dan pendidikan.
Dalam “The Death of Expertise: The campaign against established knowledge and why it matters” (2017), Tom Nichols mengawali bukunya dengan kalimata “Ketegangan anti-intelektualisme telah menjadi benang merah yang terus mengalir dalam kehidupan politik dan budaya di Amerika Serikat, yang dipupuk oleh gagasan keliru bahwa demokrasi berarti ‘ketidaktahuan saya sama baiknya dengan pengetahuan Anda’.”
Ada beberapa hal yang relevan dengan keadaan kita hari-hari ini dengan apa yang diulas Nichols dalam buku itu:
Pertama, terlalu mudah mendapat keyakinan. Masyarakat Amerika Serikat cenderung menolak nasihat para ahli sebagai penegasan otonomi, sebuah cara untuk melindungi ego mereka yang cenderung semakin rapuh. Ini menjadi semacam deklarasi kemerdekaan baru bahwa mereka tidak lagi menganggap kebenaran sebagai bukti nyata. Semua kebenaran dengan sendirinya sebagai bukti, termasuk berbagai kebenaran yang sesungguhnya tidak benar. Segala hal dapat diketahui dan setiap opini mengenai subjek apa pun dianggap sama baiknya dengan opini lain.
Kedua, narsis. Pengetahuan dasar rata-rata orang Amerika Serikat saat ini sangat rendah, sehingga mereka terjerumus ke dalam kategori “kurang informasi”, kemudian “salah informasi”, dan kini merosot menjadi “salah secara agresif”. Orang tidak hanya mempercayai hal-hal yang tidak masuk akal, mereka secara aktif menolak pembelajaran lebih lanjut sambil tidak bersedia melepaskan keyakinan yang sudah dimilikinya. Kini juga ada gejala yang mengemuka bahwa masyarakat awam mempunyai informasi yang keliru mengenai pajak, anggaran, imigrasi, lingkungan hidup, dan banyak hal lainnya.
Sejalan dengan itu, ada kisah yang mengejutkan tentang pasien dan klien yang secara aktif memberi tahu para profesional mengapa nasihat mereka tidak berguna. Dalam setiap kasus, gagasan ahli mengetahui apa yang dilakukannya hampir diabaikan begitu saja. Lebih buruk lagi, masyarakat melakukannya dengan frekuensi yang begitu sering, dalam banyak masalah, dan dengan kemarahan yang begitu besar. Mungkin saja serangan terhadap pakar lebih terlihat jelas karena keberadaan internet di mana-mana, ketidakdisiplinan percakapan di media sosial, atau tuntutan siklus berita selama dua puluh empat jam.
Hal itu bukan hanya fakta adanya ketidakpercayaan atau pertanyaan atau pencarian alternatif, ini adalah narsisme, ditambah dengan penghinaan terhadap keahlian seperti yang dikatakan sebagian orang, semacam latihan aktualisasi diri.
Ketiga, pemikiran yang sempit. Semakin sulit bagi para ahli untuk menolak dan mendesak agar masyarakat tidak terjebak pada sesuatu yang tidak masuk akal. Apapun topiknya, pertengkaran selalu berakhir dengan kemarahan ego dengan pikiran yang tidak berubah. Hal itu terkadang terjadi pada hubungan profesional atau bahkan persahabatan yang kemudian menjadi rusak.
Keempat, masa-masa yang berbahaya. Belum pernah ada begitu banyak orang yang memiliki begitu banyak akses terhadap begitu banyak pengetahuan, namun umumnya mereka menolak mempelajari apa pun. Di Amerika Serikat dan negara-negara maju, orang-orang cerdas cenderung merendahkan pencapaian intelektual dan menolak nasihat para ahli.
Bukan saja semakin banyak orang awam yang kekurangan pengetahuan dasar, mereka juga menolak aturan dasar pembuktian dan menolak belajar bagaimana membuat argumen yang baik atau logis. Dengan kondisi ini, mereka berisiko membuang akumulasi pengetahuan selama berabad-abad dan merusak praktik dan kebiasaan yang memungkinkan kita mengembangkan pengetahuan baru.
Kelima, lebih dari sekadar skeptisisme terhadap para ahli, kita sedang menyaksikan matinya cita-cita keahlian itu sendiri, runtuhnya setiap perpecahan antara profesional dan orang awam, pelajar dan guru, orang yang berpengetahuan dan orang yang bertanya-tanya, yang dipicu oleh Google, berbasis Wikipedia, dan blog. Dengan kata lain, ada pertentangan antara mereka yang berprestasi di suatu bidang dengan mereka yang tidak mencapai prestasi sama sekali.
Keenam, eksklusivitas. Banyak pakar, terutama mereka yang berada di perguruan tinggi, telah mengabaikan tugas berhubungan dengan masyarakat. Mereka telah mundur ke dalam jargon yang tidak relevan, lebih memilih berinteraksi satu sama lain saja. Sementara orang yang berada di tengah-tengah, yang sering kita sebut “intelektual publik”, frustrasi dan terpolarisasi seperti masyarakat lainnya.
Berdasarkan hal-hal itu, matinya kepakaran bukan sekadar penolakan terhadap ilmu pengetahuan, sekaligus juga penolakan terhadap rasionalitas. Atau penolakan terhadap kebutuhan publik yang lebih esensial seperti persoalan keadilan. Dalam hal ini ada permasalahan lain dalam hubungan dengan publik yang berada di luar kendali para ahli, tetapi dapat berhubungan dengan kebijakan negara, misalnya kebijakan mengenai hubungan antara para ahli dan masyarakat yang semestinya menjadi subyek utama pelayanan hasil penelitian.
Para ahli tidak bisa mengendalikan bagaimana para pemimpin menerapkan nasihat mereka. Para ahli bisa memberikan nasihat, namun sering kali para pemimpin politik hanya mendengarkan bagian-bagian yang ingin mereka dengar—khususnya, bagian-bagian yang populer di kalangan konstituennya masing-masing. Mereka kemudian dapat memobilisasi para ahli yang menekankan pesan yang mereka sukai.
Selain itu, tidak ada seorang ahli pun yang memandu suatu kebijakan secara utuh mulai dari konsepsi hingga pelaksanaannya, sebuah kenyataan yang sering kali membingungkan dan membuat frustrasi. Jargon mengenai kebijakan yang baik dan lengkap itu biasanya hanya berupa teks tertulis, yang berbeda dengan praktiknya. Itu mengapa analisis kebijakan merupakan disiplin ilmu yang menyeluruh, multidisiplin, bahkan transdisiplin.
Kelompok peneliti dan pengambil keputusan mungkin sudah menentukan apa yang mereka inginkan, namun berbagai lembaga pelaksananya, termasuk “para pemain” di lapangan mengacaukan berbagai kebijakan yang diinginkan dan mengubahnya menjadi sesuatu yang lain, yang berdampak buruk. Dengan kondisi seperti itu buruknya tata kelola (governance) tidak bisa dipisahkan dari penelitian mengenai kebijakan publik.
Menurut Tom Nichols kondisi terburuk yang mungkin terjadi akibat keadaan itu adalah korupsi demokrasi dan pendapat para ahli. Dalam keadaan seperti itu, kepakaran tidak lagi melayani kepentingan publik, tapi kepentingan politik elite.
Ikuti percakapan tentang bias konfirmasi di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :