PARA pembuat kebijakan publik tampaknya perlu mempelajari keadilan manfaat sumber daya alam dan organisasi negara yang menanganinya. Lembaga negara, di pusat atau daerah, walaupun secara normatif menentukan dan menjalankan kebijakan operasional sesuai undang-undang, hasilnya belum cukup menggembirakan.
Dari pengalaman saya memfasilitasi evaluasi dan pembentukan kebijakan, kekurangan atau masalah dari suatu pelaksanaan kebijakan—misalnya kerusakan hutan alam produksi atau keadilan manfaat ekonomi hasil tambang—diletakkan di luar proses pembentukan kebijakan untuk obyek yang sama. Apalagi evaluasi dampak kebijakan itu cenderung tidak terbuka.
Pada bulan ini diberitakan salah seorang konglomerat Indonesia menduduki posisi nomor 23 orang terkaya di dunia versi Forbes. Pada Mei 2024 kekayaan bersihnya mencapai US$ 71,1 miliar atau sekitar Rp 1.135 triliun. Konglomerat ini, sejak 1993, menjadi komisaris utama perusahaan bidang kehutanan. Di sisi lain, orang miskin dan kemiskinan ekstrem saat ini sekitar 33 juta orang.
Fakta seperti itu punya persoalan mendalam dan struktural. Bisa dikatakn ironi itu akibat pelaksanaan kebijakan didukung kepentingan politik yang tidak memihak kepada masyarakat kebanyakan. Maka, penanganan persoalan kemiskinan hanya semacam mengobati penyakit, seraya mengabaikan sumber penyebab penyakitnya.
Terkait kenyataan seperti itu, studi ekonomi-politik mengaitkannya dengan indeks tata kelola internasional Indonesia yang hanya 34 dari 100, termasuk buruknya tata kelola perizinan sumber daya alam yang menjadi salah satu penyebab kesenjangan.
Dalam “The Development of Political Institutions: Power, Legitimacy, Democracy” (2022) Federico Ferrara menjelaskan perkembangan institusional politik, dengan menggunakan pendekatan institusionalisme historis (historical institutionalism) yang membahas reproduksi institusional, pembusukan institusional, maupun perubahan institusional di suatu negara. Bagaimana waktu, urutan, dan ketergantungan dari waktu ke waktu mempengaruhi institusional negara serta membentuk perilaku dan perubahan sosial, politik, maupun ekonomi.
Peristiwa-peristiwa kecil dan kebetulan dapat mempunyai konsekuensi yang besar ataupun tindakan-tindakan yang sulit dibatalkan dan begitu tindakan itu telah terjadi tidak bisa kita abaikan. Titik kritis tertentu bisa memicu peristiwa yang sulit dibalikkan atau diulang dengan pembentulan, karena masalahnya terkait dengan ketergantungan pada jalur politis tertentu.
Karena itu, para pendukung pendekatan itu cenderung fokus pada sejarah dan cakrawala temporal yang lebih panjang, untuk memahami suatu peristiwa tertentu terjadi. Sebaliknya, mereka kurang tertarik dengan eksploitasi kekayaan negara serta pertumbuhan ekonomi agregat nasional yang cenderung hanya menitikberatkan pada fenomena jangka pendek.
Dengan pendekatan seperti itu, peraturan dan prosedur yang membentuk rezim politik, seperti pembentukan kabinet presiden Prabowo Subianto saat ini, memperoleh kekuatan sekaligus resistensi terhadap perubahan. Mereka dapat digunakan untuk menyusun aturan main yang menentukan perilaku aktor-aktor yang terlibat (reproduksi institusional).
Menurut Ferrara, dalam kesempatan itu mereka dapat melakukan pembelotan yang berkontribusi pada terjadinya destabilisasi dan menurunnya kapasitas menyusun interaksi antar individu dan organisasi yang tunduk pada ketentuan (kerusakan institusional). Selanjutnya, mereka dapat mengalami transformasi besar dalam bentuk dan fungsinya, terutama sebagai akibat dari proses-proses sebelumnya (perubahan institusional).
Apabila konsep Ferrara menjadi kenyataan, terdapat bentuk proses ekstra-rasional yang menanamkan preferensi, keyakinan, dan identitas tertentu. Dalam hal seperti itu akan terjadi apa yang disebut bentuk “individualisme metodologis” yang tidak sesuai dengan asumsi perilaku berdasarkan pilihan rasional yang bersifat umum.
Dalam Bab 3 buku itu, “Institutional Decay: The Logic of Self-Undermining Processes”, dibahas pula kerusakan institusional sebagai kebalikan dari reproduksi institusional, yaitu proses di mana suatu lembaga dapat kehilangan “nilai dan stabilitas” yang akan tecermin dari rendahnya kapasitas mereka menghasilkan tingkat kepatuhan. Dalam hal ini dapat terjadi pembusukan institusional melalui, yang oleh Rixen dan Viola (2014), disebut proses “perusakan diri sendiri”.
Dalam Institutional Decay itu diidentifikasi pembusukan institusional dengan logika proses yang melemahkan diri sendiri (self-undermining). Deskripsi Fukuyama (2014) tentang proses pembusukan institusional juga konsisten dengan logika proses yang melemahkan diri sendiri. Dengan kinerja pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang rendah serta dampak negatif bagi masyarakat yang tinggi, pembusukan institusional sedang terjadi.
Penyebab pembusukan institusional yang bersifat rekursif diakibatkan oleh meningkatnya tingkat ketidakpatuhan dan menurunnya kapasitas lembaga negara menjalankan pengawasan, yang diukur dalam bentuk manfaat material atau pemenuhan tujuan yang diinginkan secara normatif sesuai undang-undang.
Dengan kenyataan seperti itu, pembentukan kabinet pemerintahan mendatang semestinya bukan hanya mengakomodasi kepentingan partai politik, yang lebih penting melakukan perbaikan bersifat institusional, sehingga kekayaan negara dan distribusinya untuk mewujudkan keadilan sosial berpeluang tercapai.
Ikuti percakapan tentang korupsi insitutisonal di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :