TANTANGAN pemerintahan baru bukan hanya menentukan sektor apa saja yang harus diperkuat dan menjadi prioritas, juga perlu menentukan strateginya agar benar-benar mencapai tujuan. Dengan begitu sifat substansial sama pentingnya dengan struktur dalam menentukan bentuk kelembagaan.
Tantangan besar lain adalah mengendalikan kepentingan politik. Terutama ketika orientasi politik tidak benar-benar ditujukan membentuk kelembagaan negara untuk mewujudkan kemakmuran rakyat secara adil. Salah satu tantangan saat ini adalah rendahnya penguatan ekonomi rakyat—terkhusus bagi 32 juta penduduk miskin, di tengah-tengah tingginya korupsi dan perusakan sumber daya alam.
Beberapa kasus korupsi yang diidentifikasi Muhammad Yusuf (2024), misalnya, penyerobotan lahan negara untuk perkebunan kelapa sawit 2003-2022 dengan kerugian negara sebesar Rp 104 triliun, izin ekspor minyak sawit 2021-2022 dengan kerugian negara sebesar Rp 6,05 triliun, serta hilangnya penerimaan negara Rp 12,3 triliun. Ada juga korupsi timah 2015-2022 yang merugikan Rp 271,6 triliun.
Semua kerugian gigantis itu terjadi akibat korupsi dalam jangka waktu cukup panjang. Dalam situasi seperti itu kita dapat mempertanyakan fungsi Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP), Inspektorat Jenderal yang ada di setiap kementerian, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Mengapa lembaga-lembaga negara itu tidak optimal menjalankan tugasnya?
Mengapa pejabat negara takut menolak tidak korupsi?
Bisa dibayangkan bila hal itu terjadi dalam jangka panjang, telah hilang prinsip bekerja di dalam lembaga pemerintah, seperti kejujuran, keberanian, tanggung jawab, independensi, dan komitmen. Pertanyaan pokok dapat kembali pada cita-cita konstitusi: kapan negara mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara adil?
Terkait sifat korupsi yang sudah kronis itu, disertasi “Thinking about corrupt thinking: exploring the decision-making process of corruption” oleh Muhammad Untung Manara (2023) mengungkap korupsi pada level mikro. Isinya fokus pada proses kognitif yang melakukan tindakan korupsi dengan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Koruptor yang sudah terpidana yang diwawancarai sebanyak 37 orang. Hasilnya seperti ini:
Pertama, tujuan dan pertimbangan melakukan korupsi. Tiga tujuan yang melatarbelakangi seseorang melakukan korupsi adalah untuk kepentingan pribadi, organisasi, atau sosial.
Kebanyakan pelaku korupsi, sebelum melakukannya, mereka mencari informasi apakah tindakan korupsi itu akan menimbulkan masalah atau tidak. Dalam hal ini, mereka juga mencari alternatif solusi selain korupsi untuk mencapai tujuannya. Selain pengalaman pribadi, mereka mendapat berbagai informasi dari sumber intrapersonal berdasarkan pengalaman rekan di organisasi lain, media, interpretasi isi perundang-undangan, dan otoritas yang berkaitan dengan lingkup bidang sebagai media korupsi.
Kedua, faktor penentu korupsi. Pelaku korupsi menjalankan korupsi untuk mencapai tujuan mereka karena dua pertimbangan: faktor penarik (pull factors) dan faktor pendorong (push factors).
Faktor penarik berupa hasil evaluasi positif terhadap korupsi oleh pelaku korupsi bahwa korupsi bisa dilakukan dengan aman dan wajar. Sedangkan faktor pendorongnya datang dari orang lain, seperti teman atau atasan di kantor. Umumnya mereka menganggap korupsi sebagai satu-satunya solusi yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah.
Ketiga, individu melakukan proses kognitif sebelum melakukan korupsi. Proses ini tecermin dari berbagai tahapan pengambilan keputusan dan gaya berpikir pada situasi korupsi. Faktor situasional, seperti keberadaan kepemimpinan etis.
Telah terbukti bahwa kepemimpinan etis bisa mengurangi perilaku korup bawahan. Kepemimpinan tipe ini berinteraksi langsung dengan machiavellianisme (kepribadian manipulatif) bawahan untuk mencegah korupsi bawahan. Namun, penelitian eksperimen menunjukkan hasil yang berlawanan. Bahwa kepemimpinan etis mempunyai pengaruh negatif yang kuat bila kepribadian machiavellianisme bawahannya rendah.
Keempat, bentuk korupsi menentukan berbagai aspek pengambilan keputusan. Mereka menerapkan prosedur administratif yang salah tetapi mereka yakin bahwa perilaku mereka tidak korup. Terkait dengan perilaku ini, sebagian besar pelaku beranggapan bahwa suap sebagai tindakan yang wajar dan tidak akan tertangkap.
Hasil wawancara juga menunjukkan ada orang yang melakukan korupsi secara tidak sengaja. Misalnya, mereka tidak mengetahui bahwa tindakan yang telah mereka lakukan sebagai tindakan korupsi atau tidak tahu bahwa pemimpin mereka terlibat korupsi. Dalam hal ini, mereka bergantung pada orang lain ketika mengambil keputusan yang korup.
Kelima, iklim kerja antikorupsi. Dalam hal ini semua pegawai harus lebih sadar dan kritis terhadap pengambilan keputusan yang berpotensi korupsi. Intervensi psikologis untuk meningkatkan kesadaran, seperti teknik berbasis kesadaran, dapat membantu karyawan membuat keputusan yang lebih tepat dan tidak korup.
Bila keterampilan itu membantu semua pegawai menjadi lebih sadar, akan mencegah mereka terlibat dalam perilaku tidak etis secara tidak sengaja. Salah satu implikasi praktisnya adalah merancang dan melaksanakan kursus pelatihan untuk mempromosikan kepemimpinan etis dan meningkatkan kesadaran manajer atau pemimpin terhadap korupsi organisasi. Etika manajemen puncak bisa mempengaruhi perilaku tidak etis karyawan mereka.
Berbagai kenyataan mengenai korupsi di Indonesia menunjukkan terjadinya pelanggaran hukum itu dengan tipologi berbeda. Korupsi skala besar biasanya disertai berbagai bentuk kepentingan politik, korupsi skala kelas menengah yang terbawa ke dalam sistem korupsi skala besar, serta korupsi skala kecil sebagai akibat pergaulan maupun keterpaksaan suatu kondisi atau perintah.
Semakin kecil skala korupsi, kontribusi terbesarnya adalah sistem pemberian gaji atau insentif bagi pegawai negeri. Strategi menjalankan ikatan ketergantungan pada perintah atasan atau kekuasaan yang lebih luas daripada peraturan-perundangan sedang berjalan dan diikat melalui gaji kecil itu.
Kenyataan itu menjadi suatu ironi: warga negara diharapkan jujur tapi kebutuhan minimal hidupnya tidak dipenuhi.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :