Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 30 Mei 2024

Perhutanan Sosial Serap 31,9 Juta Ton Karbon

Area perhutanan sosial menyerap karbon 22% dari target 4%. Bisa jadi andalan mitigasi perubahan iklim.

Pemetik kopi perhutanan sosial (Foto: R. Eko Tjahjono)

KEMENTERIAN Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghitung perhutanan sosial menyerap emisi karbon sebanyak 31,9 juta ton setara karbon dioksida (CO2). Penyerapan emisi karbon di area hutan sosial ini terjadi pada periode 2016-2021 di kawasan hutan seluas 4,6 juta hektare.

Menurut Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, serapan karbon di perhutanan sosial itu setara 22,7% dari target penyerapan emisi karbon yang ditetapkan dalam FOLU net sink 2030. KLHK menetapkan penyerapan emisi karbon melalui program FOLU net sink pada 2030 sebanyak 140 juta ton setara CO2.

Konstruksi Kayu

FOLU net sink adalah usaha menyeimbangkan produksi karbon dan penyerapan karbon dari sektor forestry and other land use (FOLU) atau kehutanan dan penggunaan lahan lain. Meski bukan produsen emisi terbesar, sektor kehutanan mendapat mandat menyerap emisi pada 2030 sebanyak 60% dari 2,87 miliar ton produksi emisi tanpa mitigasi pada tahun tersebut.

Sektor terbanyak memproduksi emisi adalah sektor energi. Selain energi dan kehutanan, sektor lain yang menjadi produsen emisi Indonesia adalah pertanian, industri dan proses produksi, serta limbah. Penurunan emisi karbon adalah cara mencegah puncak krisis iklim.

Puncak krisis iklim terjadi jika kenaikan suhu bumi mencapai 1,5-20 Celsius dibanding masa praindustri 1750-1800. Setiap negara mesti menurunkan emisi karbon mereka sehingga secara global produksi emisi turun sebanyak 45% dari total 55 miliar ton setara CO2. Kenaikan suhu bumi terjadi ketika emisi karbon dari bumi tak terserap ekosistem dan berubah menjadi gas rumah kaca.

Indonesia sudah berjanji ke forum PBB menurunkan emisi dengan usaha sendiri pada 2030 sebanyak 29% dan 41% dengan bantuan lembaga internasional. Proposal yang disebut sebagai nationally determined contributions (NDC) itu direvisi dan dinaikkan targetnya menjadi 32% usaha sendiri dan 43% dengan bantuan asing. 

Dengan capaian penyerapan karbon periode 2016-2021 itu, kata Bambang Supriyanto, area perhutanan sosial bisa menyumbang ke dalam operasional mitigasi perubahan iklim. Menurut Bambang, target perhutanan sosial dalam FOLU net sink awalnya diperkirakan hanya menyumbang 4%. “Setelah studi, ternyata lebih dari 20%,” kata dia.

Cara pemerintah menurunkan emisi karbon di sektor kehutanan adalah melalui pencegahan dan pengurangan deforestasi dan degradasi lahan (REDD+). Programnya antara lain reduce impact logging (RIL) atau mengurangi dampak penebangan pohon di konsesi hutan, restorasi dan rehabilitasi lahan, serta perhutanan sosial.

Mitigasi perubahan iklim Indonesia dibagi dua: adaptasi dan mitigasi. Adaptasi diklaim sebagai kebijakan khas Indonesia karena tak dilakukan oleh negara lain yang sama berjanji menurunkan emisinya kepada PBB tiap Konferensi Perubahan Iklim tahunan (COP).

Dalam perhutanan sosial, mitigasi perubahan iklim menempati sebagian besar program atau 70%, sisanya 30% berupa adaptasi. Untuk menopang program tersebut, kata Bambang, pemerintah akan mendapatkan pendanaan dari lembaga internasional melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).

Perhutanan sosial adalah pemberian akses mengelola kawasan hutan kepada masyarakat di dalam dan sekitar hutan selaam 35 tahun. Kepala keluarga mesti membentuk kelompok perhutanan sosial untuk mendapatkan akses ini. Tiap keluarga mendapatkan 2 hektare lahan hutan di Jawa dan 5 hektare di luar Jawa. Mereka mesti mengusahakan lahan hutan itu selalu menjaga ekologinya.

Direktorat Jenderal PSKL telah mendapatkan pendanaan dari Green Climate Fund (GCF) sebesar Rp 113 milyar atau setara dengan US$ 7,5 juta dari komitmen US$ 93 juta. Pembayarannya melalui skema pembayaran berbasis kinerja atau result based payment (RBP) yang menjadi salah satu skema perdagangan karbon.

Result based payment dibayarkan berdasarkan satuan karbon yang diserap oleh area hutan sehingga terhindar menjadi gas rumah kaca pemicu krisis iklim. Dengan komitmen US$ 93 juta, harga karbon di area perhutanan sosial sebanyak 31,9 juta ton berarti harga karbonnya US$ 2,9 per ton.

Bank Dunia dan IMF menyarankan, perdagangan karbon akan efektif menjadi alat mitigasi perubahan iklim jika harga karbon antara US$ 100-120 per ton. Dengan begitu, perdagangan karbon menjadi disinsentif kepada produsen emisi yang akan mendorong mereka mengurangi produksi emisinya.

Ikuti percakapan tentang perhutanan sosial di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain