BIASANYA, setiap Ahad pagi atau siang—jarang sekali menjelang sore—Profesor Hariadi Kartodihardjo mengirimkan artikelnya untuk web ini melalui WhatsApp. Ia acap membubuhi artikelnya dengan kalimat, “Setor, Kang”. “Setor, Kang,” itu sudah ia lakukan selama hampir lima tahun. Tanpa jeda. Ia hanya berhenti menulis ketika stroke menyerangnya pada Ahad malam tahun baru 2024, beberapa jam setelah ia mengirimkan artikel untuk rubrik “Surat dari Darmaga”.
Namun, Ahad pagi ini, 2 Juni 2024, bukan artikelnya yang saya terima. Grup WhatsApp bersahut-sahutan mengabarkan bahwa Ahad subuh Profesor Hariadi telah tiada. Ia wafat di usia 66. Ke rumahnya datang para pelayat banyak sekali, yang menunjukkan betapa luas pergaulannya semasa hidup. Mereka adalah murid, kolega di Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, aktivis LSM, wartawan, teman diskusi, mahasiswa, pengusaha, birokrat.
Seorang koleganya mengatakan bahwa “Kita kehilangan seorang yang tetap bisa kritis ketika orang lain diam”. Tentu yang ia maksudkan jejak intelektualitasnya di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Selama bersama-sama mengampu rubrik “Surat dari Darmaga” di web ForestDigest.com, saya menyaksikan ia memang tak pernah berhenti memikirkan nasib lingkungan dan kehutanan.
Saya pernah menggodanya bahwa kekasihnya yang sebenarnya adalah hutan. Dia terbahak sewaktu kami mengobrol di teras rumahnya yang rimbun suatu sore. Buru-buru ia mengakui bahwa nyaris 24 jam ia memang memikirkan soal itu. Kadang-kadang sampai terbawa mimpi. Ketika ia bangun ia menuliskannya. Berpikir dan menulis memang dua sejoli yang tak bisa dipisahkan.
Itu kenapa ia menulis di mana saja kapan saja. Ketika “kolomku terlalu sering dimuat koran dan gagasanku tak cukup bagus dimuat”, ia mengalihkannya ke Facebook—satu-satunya media sosial yang ia punya. Dari situ pula gagasan membuat rubrik “Surat dari Darmaga” terbentuk.
Suatu kali saya menawarinya agar menulis rutin saja di web Forest Digest setelah membaca renungannya tentang tata kelola kehutanan di laman Facebooknya. Saya langsung menodongnya dengan aturan:
- Tulisan terbit setiap Senin,
- Artikel sudah saya terima sehari sebelumnya,
- Dua hari sebelum terbit saya akan mengingatkan via WhatsApp,
- Saya boleh mengubah judul agar sesuai SEO.
Profesor Hariadi ragu-ragu menyambut ide itu. Bukan karena aturan nomor 4. Ia merasa tak sanggup jika harus menulis setiap pekan.
Untuk menyemangatinya saya ceritakan kisah Goenawan Mohamad, pendiri dan mantan pemimpin redaksi Tempo. Selama 46 tahun, sejak 1977, ia menulis Catatan Pinggir nyaris tanpa jeda. Esai-esai pendek di halaman terakhir majalah Tempo itu telah menjadi genre tersendiri dalam khazanah creative writing di Indonesia.
Seingat saya, hanya sekali-dua GM tak menulis Catatan Pinggir. Itu pun karena ia sedang bepergian ke jauh benua dan tak memiliki koneksi untuk mengirimkan artikel. Sekali waktu, sekitar 2001, saya pernah menerima Catatan Pinggir yang ia ketik melalui SMS ketika ia sedang melancong ke sebuah kota kecil di Polandia.
Apa yang membuat ia konsisten menulis dengan nada yang tak berubah selama hampir setengah abad? Pertanyaan ini pernah saya lontarkan secara langsung kepadanya. Jawabannya tak terduga: “Deadline”. Akibat tenggat yang tak bisa ditawar dan ditolak ia harus menulis Catatan Pinggir. Sebab, jika ia berhenti, majalah Tempo ikut tidak terbit. Jadi, menulis rubrik itu menjadi semacam kewajiban kepada pembaca yang membuatnya menjadi disiplin selama itu.
Mendengar cerita GM, Profesor Hariadi langsung memberi jempol. “Oke, kita coba, ya”.
Gagasannya sederhana. Ia menulis isu kehutanan dan lingkungan dengan gaya personal. Tuturannya memakai “saya” atau “aku” sehingga gagasannya menjadi tidak kaku. Dari situ nama rubrik “Surat dari Darmaga” muncul. Darmaga adalah sebuah wilayah di Bogor, Jawa Barat, yang menjadi tempat tinggalnya. Darmaga juga lokasi kampus IPB tempat ia mengajar, plus—waktu 2019 itu—menjadi sekretariat Forest Digest.
Ia mengirimkan artikel pertamanya. Ruwet dan alot. Tentang inovasi dalam birokrasi yang macet, bidang studinya selama 40 tahun. Profesor Hariadi menulis dengan kalimat-kalimat pasif sehingga subjek tiap kalimatnya menjadi hilang.
Mungkin karena pengaruh bahasa ibu. Ia lahir dan besar di Jombang, Jawa Timur. Satu sekolah bahkan teman sebangku Jenderal Moeldoko, mantan Panglima TNI dan kini Kepala Staf Presiden Joko Widodo. Struktur bahasa Jawa, seperti juga bahasa Sunda, adalah pasif. Sementara bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa Melayu, punya struktur aktif. Karena itu ada rumus S-P-O-K.
Ketika saya sampaikan “evaluasi” penilaian itu, Profesor Hariadi tertawa. “Aku baru sadar,” katanya. Sebagai orang Sunda, saya juga punya problem itu. Setiap menulis, tanpa sadar, saya mengemukakan gagasan dalam kalimat pasif.
Dampak subjek yang menghilang dalam kalimat pasif adalah gagasannya menjadi kabur. Akibatnya pembaca akan kehilangan pokok pikiran penulisnya. Saya tak tahu mengapa struktur bahasa Sunda dan Jawa pasif. Mungkin pengaruh kerajaan, yang mengutamakan sopan santun dan eufimisme. Subjek dalam kalimat dianggap kurang sopan.
Di Bandung, agak aneh jika seseorang menyebut “aing gebug sia”. Dalam bahasa Indonesia, terjemahannya “saya pukul kamu”. Ini kalimat yang benar secara tata bahasa dan rumus S-P-O-K. Tapi, kalimat yang pas menurut tata bahasa Sunda adalah “Gebug sia ku aing”. Enak mengucapkannya. Kena intonasinya. Struktur bahasa ini kemudian mempengaruhi struktur berpikir orang Sunda, mungkin juga Jawa, yang terbawa ke dalam bahasa tulis yang memakai bahasa Indonesia.
Di depan Profesor Hariadi, percakapan tentang bahasa ini kemudian sampai pada kesimpulan bahwa latar belakang tiap orang akan mempengaruhi cara mereka membuat keputusan. Celakanya, cara berpikir itu akan jadi masalah ketika dituangkan dalam kebijakan publik yang mengatur setiap individu. Dari situ lahir ilmu manajemen, tata kelola, bahkan psikologi.
Sewaktu saya tanya mengapa tak banyak alumni universitas kehutanan yang masih berpikir kritis pada kebijakan sektor ini, padahal rimbawan banyak sekali, Profesor Hariadi punya analisis yang menarik. Menurut dia, kita cenderung kena silo dan titik buta. Berada lama dalam satu rumah membuat kita tak bisa melihat rumah secara keseluruhan. Karena itu, untuk bisa menilai rumah itu, kita perlu keluar sejenak agar punya jarak yang cukup untuk melihatnya.
Menciptakan jarak itu adalah perjuangan Profesor Hariadi setiap waktu. Dengan membaca, dengan menulis, berdiskusi dengan siapa saja, ia menciptakan jarak agar bisa melihat kebijakan sektor kehutanan secara objektif. Dari situ lahir kritik. Kritik tak melulu hujatan. Kritik juga bisa berisi analisis tentang sebuah masalah. Tak jarang ia menyodorkan solusi yang mungkin bisa diterapkan.
Dengan cara berpikir seperti itu, tak heran ia acap terdiam dan serius mendengarkan lawan bicara ketika sedang mengobrol. Dalam sebuah percakapan, saya terkejut bahwa ia mencatat apa yang saya omongkan. Sebagai mahasiswanya, sebagai yuniornya, pengetahuan saya tentu jauh dibanding kepakarannya. “Ini sudut pandang baru,” katanya. “Bisa jadi bahan tulisan”.
Demikianlah seorang intelektual. Seperti padi, semakin tumbuh dan berisi pengetahuan ia semakin rendah hati. Semakin banyak pengetahuannya, semakin tahu ia banyak tidak tahu. Maka meski gelarnya profesor, ia tak segan mendengarkan pendapat mahasiswa baru dalam diskusi-diskusi di teras rumahnya. Ia lalu mengompori mereka untuk menuliskannya. Sebab, katanya, pengetahuan yang tak dituliskan akan menguap tanpa jejak.
Ia kerap mengulang cerita prosesnya menulis artikel. Pertama-tama ia memikirkan sebuah kasus atau tema yang muncul dari bacaan atau diskusi. Ia lalu mencari sudut pandang yang unik dan relevan untuk melihatnya. Dari situ ia mencari referensi untuk mengulasnya. Acapkali mencari referensi membuat ia tenggelam dalam bacaan-bacaan, sehingga tulisannya malah jadi molor, karena ada banyak pengetahuan baru tentang sebuah tema. Ternyata begitu prosesnya: untuk bisa menulis, Anda harus membaca. Setelah membaca, Anda punya gagasan untuk dituliskan.
Keharusan membaca untuk menulis itu membuat area kepenulisannya makin beragam. Akhir-akhir ini ia banyak membaca teori psikologi untuk menganalisis mengapa korupsi makin menggila, mengapa kita semakin tak berpikir ulang berbuat keliru, mengapa pelaksanaan aturan tak sesuai dengan teks dalam regulasi.
Keluasan analisis itu membuat nama-nama ilmuwan sosial, seperti Max Weber, Karl Marx, hingga Daniel Kahneman menghiasi tulisan-tulisannya belakangan. Melihat sektor kehutanan rupanya mesti memakai beragam sudut dan aspek. Ia menyebutnya “transdisiplin”. Manusia tidak cukup melihat sebuah perkara dari satu sudut keilmuan.
Tak terasa, sejak Juli 2019, ia telah menulis lebih dari 300 artikel. Kami membukukannya di tahun ketiga “Surat dari Darmaga”. Ada 96 artikel yang terangkum dalam judul “Dosa dan Masa Depan Planet Kita”. Saya yang memberikan judul itu karena pokok bahasannya lebih banyak tentang etika dalam kebijakan publik. Areanya tiga: ilmuwan, birokrat, dan politikus. Dari ketiganya, Profesor Hariadi acap tajam ketika mengulas soal penyelewengan-penyelewengan intelektual yang melahirkan kebijakan publik.
Basis analisis dan kritik Profesor Hariadi adalah demokrasi, keadilan, dan keberpihakan kepada mereka yang lemah. Etika, satu cabang ilmu filsafat, ia pakai untuk membedahnya. Pokok-pokok pembahasan hal-hal yang mikro ia tarik ke hal yang lebih besar sampai kepada moral. Dalam satu artikel, misalnya, Profesor Hariadi menulis satu sudut pandang yang menggelitik: seandainya pemanasan global dianggap pandemi, akankah dunia bersatu mencegahnya seperti kita bahu-membahu menangani Covid-19?
Setelah buku pertama, kami sedang menyiapkan penerbitan buku kedua. Tadinya, kami akan menerbitkannya sebagai kado ulang tahun ke-66 pada 24 April. Tapi, Profesor Hariadi meminta tak buru-buru karena ia ingin menambahkan beberapa data dan perspektif baru ke dalam artikel-artikelnya. Ia merasa ada beberapa pokok pikiran yang harus diperbarui karena perubahan dan perkembangan. Supaya lebih komprehensif dan menggelitik, katanya.
Hal-hal yang menggelitik itu tak akan ada lagi. Tanggal 26 Mei adalah hari Minggu terakhir ia mengirimkan artikel. Kali itu, ia tak membubuhinya dengan “Setor, Kang”, tapi “Telat, Kang” dengan emoticon tersenyum. Selamat jalan Profesor Hariadi. Jejakmu abadi.
Untuk mengakses seluruh artikel yang pernah ditulis Profesor Hariadi Kartodihardjo klik tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Mengelola blog catataniseng.com. Menjadi wartawan sejak 2001 dan penerima penghargaan Mochtar Lubis Award serta Jurnalis Jakarta Award untuk liputan investigasi. Bukunya: #kelaSelasa: Kumpulan Twit tentang Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulis Berita
Topik :