Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 13 Juni 2024

Apabila Ormas Keagamaan Tak Memakai Hak Mengelola Tambang

Pemerintah memberikan konsesi tambang kepada ormas keagamaan. Sebaiknya pemberian itu tak dipakai.

Konsesi tambang untuk ormas keagamaan

AKHIR-akhir ini kalangan pemerhati atau masyarakat peduli lingkungan dikejutkan oleh lahirnya kebijakan pemerintah memberikan konsesi tambang kepada organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Regulasinya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang perubahan PP 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. 

Tulisan singkat ini coba menggunakan sudut pandang positif dari aturan tersebut, yaitu terbukanya peluang lebih luas untuk meningkatkan upaya konservasi atau restorasi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan menerima konsesi atau hak mengelola pertambangan tersebut tetapi tidak menggunakannya. 

Konstruksi Kayu

Dengan tidak menggunakan hak tersebut, dengan sendirinya akan berkurang potensi kerusakan alam sebesar luasan kawasan pertambangan yang tidak ditambang. Proses ini sebenarnya merupakan bagian dari proses pasar antara kaum konservasionis dengan kaum produsen polusi atau penambang. Tarik-menarik keduanya akan menentukan daya nyata upaya merawat jagat dan menjaga keberlanjutan bumi milik kita bersama.

Perkembangan peradaban menghadirkan dua kelompok besar, yaitu kelompok konservasionis dan nonkonservasionis. Kelompok konservasionis adalah kelompok yang mendahulukan upaya menjaga sumber daya alam dan lingkungan jangan sampai rusak akibat eksploitasi yang berlebihan.

Sedangkan kelompok nonkonservasionis adalah kelompok yang secara intrinsik dalam dirinya mencari kekayaan atau keuntungan dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang bisa melampaui daya dukungnya (carrying capacity) atau dalam kasus lingkungan hidup melampaui daya asimilasinya (assimilative capacity). 

Terjadinya pemanasan global, kepunahan spesies, polusi udara, air dan laut, deforestasi adalah beberapa contoh dampak pandangan kaum nonkonservasionis dalam memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara berlebihan.

Interaksi kedua kelompok itu terjadi di pelbagai media. Media yang selama ini jarang dilihat sebagai tempat kedua kelompok tersebut berproses adalah institusi pasar. Jasa lingkungan hidup, seperti penyerapan karbon, walaupun sudah menjadi wacana dunia belum banyak berkembang di Indonesia. 

Lingkungan hidup sebagai life support systems dalam kehidupan sehari-hari juga belum ada kelembagaan yang mengelolanya. Model struktur kepulauan yang dengan sendirinya memerlukan gradasi ruang ekologi yang lebih banyak untuk konservasi juga lebih banyak terdesak oleh proses pasar yang tidak/belum mampu menginternalisasi jasa lingkungan dan kelangkaan sumber daya. 

Hal itu terjadi sebagai konsekuensi dari tatanan kelembagaan ekonomi yang hanya diserahkan kepada kaum dunia usaha yang sejak berpikirnya mencari keuntungan sebesar-besarnya, tanpa banyak memikirkan aspek lingkungan hidup dan sumber daya alam yang harus dijaga.

Ormas keagamaan dengan sendirinya memiliki cara pandang yang berbeda dengan badan usaha seperti perseroan terbatas, yang sejak pendiriannya mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya. Ormas keagamaan tentu lebih banyak memikirkan dan mengupayakan bagaimana merawat dan menjaga alam ini sebagai wujud rasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. 

Andaikan konsesi sumber daya alam yang diterimanya akan diusahakan, kendali internal berupa nilai-nilai agama yang dianutnya akan menjadi faktor penjaga yang sangat kuat. Bahkan, lebih jauh lagi, hak yang diberikan untuk mengelola seperti menambang batu bara atau emas, misalnya, tidak akan dipakai mengingat pelestarian dan merawat jagat merupakan amanah prioritas, lebih penting daripada menambang batu bara atau emas. 

Pemerintah sebagai lembaga pengelola barang publik (public goods) seperti sumber daya alam dan lingkungan hidup yang menguasai hajat hidup orang banyak perlu memiliki ukuran-ukuran objektif dalam melaksanakan sistem pengelolaan yang dibangunnya. 

Andaikan dari hasil penelitian diperoleh pengetahuan bahwa batas kualitas lingkungan hidup yang layak/sehat pada suatu wilayah adalah Q*, total polutan yang dilepas ke lingkungan harus lebih rendah dari Q*. Jadi Q* adalah kuota polutan yang boleh dilepas ke lingkungan tersebut.

Berdasarkan atas nilai Q* tersebut, pemerintah mengalokasikan izin pengelolaan sumber daya alam, misal pertambangan. Andaikan Q* = Q1 + Q2 + …+Qz.  Kemudian Qn diberikan kepada ormas keagamaan dan kemudian ormas keagamaan tidak menggunakan haknya tersebut yang dibolehkan alias tidak dicabut. Apabila hak tersebut dimanfaatkan untuk melakukan penghijauan dan reboisasi, maka nilai Q* tidak akan dicapai. 

Artinya, kondisi sumber daya alam dan lingkungan akan lebih baik. Apalagi kalau hak menambang tersebut dikonversi menjadi kawasan penyerap karbon dalam kerangka penyelamatan dunia dari perubahan iklim global. Nilai ekonomi dan sekaligus pula nilai lingkungan tetap dapat diperoleh , dan dalam jangka panjang kemungkinannya akan lebih banyak daripada nilai yang diperoleh dari hasil pertambangan.  

Jadi, pemberian hak/izin atau konsesi tambang kepada ormas keagamaan tidak selalu akan menambah peluang terjadinya kerusakan lingkungan. Bahkan, kemungkinan yang sebaliknya, akan terjadi apabila semua ormas keagamaan pemegang hak menambang tidak menggunakannya dalam rangka merawat jagat melindungi bumi dari kerusakan yang lebih parah.

Ikuti percakapan tentang pertambangan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan IPB 1978, Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan (2005-2010). Sekarang Rektor Universitas Institut Koperasi Indonesia Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain