DI antara delapan negara yang memiliki hutan Amazon, Brazil menjadi negara pemilik hutan Amazon terluas. Karena itu Brazil menjadi pemilik hutan hujan tropis terluas di dunia, disusul Kongo, lalu Indonesia. Ketiga negara menghadapi ancaman hutan yang sama, yakni deforestasi.
Deforestasi Brazil yang tak berkesudahan berkaitan dengan industri peternakan sapi. Mighty Earth, lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Amerika Serikat, pada 2020 meneliti pasokan daging sapi Brazil ke pasar swalayan Eropa.
Seorang jurnalis lingkungan dari Brazil, Marcel Gomes bekerja sama dengan LSM tersebut menyelidiki hubungan daging sapi perusahaan asal Brazil tersebut dengan deforestasi Amazon. Perusahaan Brazil tersebut merupakan perusahaan pengolahan daging terbesar di dunia dengan pendapatan sekitar US$ 78 miliar pada 2022. Dengan kapasitas penyembelihan sekitar 35.000 sapi per hari, perusahaan ini menjual daging ke lebih 150 negara yang mencetak sepertiga ekspor daging sapi Brazil.
Hasil penelitian ini mampu melacak rantai pasokan daging tersebut terhadap lahan peternakan yang terkena sanksi akibat deforestasi. Setelah lahan pertanian teridentifikasi, lokasi tersebut dilapisi gambar yang diambil setiap tahun untuk mengukur deforestasi di sekitar lahan pertanian
tersebut. Di Brazil, praktik “pencucian ternak” umum terjadi, yakni ternak yang tumbuh di peternakan ilegal dipindahkan ke peternakan legal untuk disembelih. Pencucian ternak adalah masalah serius di Brazil.
Industri ekspor daging sapi Brazil adalah yang terbesar di dunia dengan mencakup 20% ekspor dunia. Brazil memiliki 215 juta sapi dengan 69% diternakkan di bioma Amazon dan Cerrado. Saat ini, sekitar 19% wilayah Amazon Brazil dan 50% Cerrado telah ditebangi. Padahal, ekosistem Brazil mendukung keanekaragaman hayati global dan ketahanan iklim.
Bagaimana dengan Indonesia?
Penyebab deforestasi di Indonesia mudah dilacak dari sejarahnya pengelolaan hutan alam tropika basah di Indonesia dengan membagi tiga era yakni pra-Orde Baru, era Orde Baru dan era Reformasi. Bila mengacu pada terminologi deforestasi yang sederhana, yakni proses penebangan pohon pada hutan alam tropika basah, deforestasi dapat dibedakan menjadi deforestasi ilegal dan deforestasi legal (melalui perizinan). Pada awal terbitnya undang-undang (UU) no. 5 /1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan, pemerintah merilis bahwa luas hutan alam tropika basah seluas 122 juta hektare.
Penyebab deforestasi pada pra-Orde Baru lebih banyak disebabkan oleh praktik perladangan berpindah (shifting cultivation) yang dipraktikkan oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang memang sudah turun temurun diwariskan oleh nenek moyangnya untuk bercocok tanam sederhana untuk mencukupi kebutuhan pangannya.
Meskipun kegiatan perladangan berpindah adalah kegiatan menebang pohon secara ilegal (deforesrtasi ilegal), pada praktiknya kegiatan ini tidak merusak hutan secara signifikan karena dilakukan pada hutan alam tropika basah dalam luasan skala yang kecil. Karena sifatnya perladangan bergilir, sesungguhnya masyarakat lokal mempraktikkan sistem pertanian bergilir secara sederhana dengan pemulihan/rehabilitasi hutan secara alami (suksesi alami). Sistem shifting cultivation biasanya dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dekat dengan pemukiman masyarakat lokal.
Memasuki era Orde Baru (1968-1998) deforestasi dilakukan melalui dua cara, yakni cara legal dan ilegal. Sejak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21/1970 tentang hak pengusahaan hutan (HPH) dan hak pemungutan hasil hutan (HPHH) terbit, sejak saat itu terjadi deforestasi secara legal (melalui perizinan/konsesi). Kayu-kayu jenis komersial berjenis merantimulai ditebang untuk kebutuhan ekspor log ke luar negeri maupun untuk kebutuhan industri kayu nasional seperti kayu lapis (plywood) maupun untuk bubur kayu (pulp).
Jumlah konsesi hutan jumlahnya terus membengkak dari tahun ke tahun dan areal konsesinya juga makin bertambah. Menjelang 2000 tercatat jumlah hak pengusahaan hutan ( HPH) meningkat sekitar 600 unit dan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta hektare.
Bersamaan dengan itu, pemerintah Orde Baru juga menerbitkan UU Nomor 5/1968 tentang penyelesaian antar negara dan warga negara asing mengenai penanaman modal dan UU Nomor 6/1968 tentang penanaman modal dalam negeri.
Melalui dua UU ini, pemerintah membuka seluas-luasnya alih fungsi lahan hutan untuk kegiatan non kehutanan seperti perkebunan kelapa sawit dan perkebunan besar lainnya, pencetakan sawah baru yang membutuhkan lahan yang luas melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan. Pelepasan kawasan hutan adalah alih fungsi lahan hutan menjadi lahan non kehutanan dalam bentuk hak guna usaha (HGU) yang nantinya akan menjadi domain Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Kawasan hutan yang dapat dialihfungsikan untuk kegiatan nonkehutanan melalui pelepasan kawasan hutan adalah kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Proses pelepasan kawasan hutan menyebabkan deforestasi secara legal.
Deforestasi ilegal juga terus terjadi dalam kawasan hutan. Penyebabnya, selian pembalakan liar, juga pertambangan liar, perambahan kawasan hutan, dan kebakaran hutan. Dari sekian banyak penyebab deforestasi ilegal yang sangat mengkhawatirkan adalah deforestasi ilegal yang disebabkan oleh perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan.
Luas kebun sawit ilegal yang masuk dalam kawasan hutan seluas 3,1-3,4 juta hektare. Sawit di kawasan hutan tentu saja ilegal. Kebun-kebun ini ada di hutan konservasi seluas 115.694 hektare, hutan lindung 174.910 hektare, hutan produksi terbatas 454.849 hektare, hutan produksi biasa 1.484.075 hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 hektare.
Dari 3,1 juta hektare, jika kita pakai data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 576.983 hektare sedang dalam proses permohonan pelepasan kawasan hutan. Sisanya, sekitar 1,2-1,7 juta hektare, tak memohon izin pelepasan agar legal. Ada dugaan karena sawit ini sebagai perkebunan sawit rakyat perorangan.
Luas hutan yang mengalami deforestasi ilegal akibat dari adanya konsesi HPH adalah 64 juta hektare yang arealnya terletak dalam hutan produksi. Sedangkan dari proses pelepasan kawasan hutan dari hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dari mulai tahun 1984 hingga tahun 2020 seluas 7.331.651 hektare dan untuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari hutan lindung dan hutan produksi mulai tahun 1984 hingga 2020 seluas 589.300 hektare. Jadi total deforestasi legal hingga 2020 seluas 71.920.951 hektare.
Luas hutan Indonesia sekarang 125,3 juta hektare, yang terdiri dari hutan primer 43,3 juta hektare, hutan sekunder 37,3 juta hektare, hutan tanaman 4,3 juta hektare dan kawasan hutan nontutupan hutan seluas 33,4 juta hektare. Jadi yang masuk dalam wilayah hutan yang telah mengalami deforestasi secara legal maupun ilegal (karena telah terjadi adanya penebangan kayu/pohon) adalah hutan sekunder, hutan tanaman dan kawasan hutan nontutupan hutan yang luas totalnya mencapai 75 juta hektare. Luas ini kurang lebih hampir sama dengan luas hutan yang telah terdeforestasi secara legal 71.920.951 hektare dan luas hutan yang terdeforestasi secara ilegal seluas 3,1-3,4 juta hektare.
Ikuti percakapan tentang deforestasi di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :