EKOSIDA menjadi kata yang populer di tengah isu krisis iklim. Diserap dari ecocide, menurut Polly Higgins, pengacara internasional, ekosida adalah kehilangan ekstensif, kehancuran dan kerusakan ekosistem dari suatu wilayah yang memberikan kenikmatan atas kedamaian.
Secara lebih luas, menurut White dan Heckenberg, ekosida merupakan aktivitas manusia yang dikriminalisasi dengan melanggar prinsip keadilan lingkungan, seperti merusak atau menghancurkan ekosistem secara substansial atau dengan membahayakan kesehatan dan kesejahteraan suatu spesies, termasuk manusia.
Hingga kini ekosida masih belum disetujui oleh PBB masuk sebagai kejahatan internasional terhadap kemanusiaan. Perjuangan untuk menegaskan ekosida ke dalam kejahatan terhadap ancaman kedamaian manusia telah berlangsung sejak lama. Konsep ekosida sebagai kejahatan internasional pertama kali dimunculkan pada tahun 1970-an, khususnya saat terjadi pemusnahan dan pembantaian selama perang Vietnam oleh Amerika Serikat.
Dalam statuta Roma, International Crime Court (ICC), hanya ada satu ketentuan terkait kejahatan yang berkaitan dengan lingkungan. Hanya Pasal 8 (2) (b) (iv) yang menegaskan bahwa kejahatan kemanusian adalah tindakan yang secara sengaja melakukan serangan sampai mengakibatkan hilangnya nyawa, kerusakan properti sipil atau kerusakan lingkungan hidup yang meluas, memiliki waktu yang panjang dan tingkat kerusakan parah. Tetapi itu hanya berlaku dalam konteks perang.
Pada 2010 Polly Higgins mengajukan proposal memasukkan ekosida ke dalam hukum kejahatan internasional. Definisi ekosida ia luaskan dengan mencakup kerusakan yang disebabkan oleh individu, korporasi dan/atau negara. Tujuan pemasukan konsep ekosida ini untuk menciptakan tugas kepedulian guna mengurangi atau mencegah bencana yang terjadi serta menciptakan tanggung jawab pidana oleh manusia.
Pada Desember 2019, pada sesi ke-18 Assembly of States Parties to the Rome Statute of ICC, dua negara berdaulat, Vanuatu dan Maladewa, menyerukan agar ICC mempertimbangkan secara serius penambahan ekosida ke dalam Statuta Roma. Vanuatu dan Maladewa merupakan negara yang secara geografis merupakan pulau kecil dan terancam tenggelam akibat perubahan iklim.
Sebelumnya, pada 22 Januari 2013, sebuah komite yang terdiri dari sebelas warga sembilan negara Eropa secara resmi meluncurkan “European Citizens Initiative (ECI) to End Ecocide in Europe” atau inisiatif masyarakat Eropa untuk mengakhiri ekosida. ECI merupakan wadah yang diinisiasi Perjanjian Lisabon untuk mempromosikan demokrasi partisipatif dan langsung. Inisiatif itu secara tidak langsung memberikan cara bagi warga negara-negara Eropa memulai undang-undang baru atau menyarankan amandemen undang-undang yang memasukkan ekosida sebagai instrumen kriminal atas dampak kerusakan ekstensif ekosistem.
Tiga anggota parlemen Eropa—Keith Taylor, Eva Joly, dan Jo Leinen—secara terbuka memberikan tanda tangan pertama mendukung ekosida sebagai kejahatan internasional. Hingga kini proposal tersebut belum diterima PBB.
Setelah Higgins wafat pada April 2019, pada November 2020, panel pengacara internasional yang dipimpin profesor hukum Inggris Philippe Sands dan hakim Zambia Florence Mumba mulai menyusun RUU tentang ekosida. Suara-suara yang mendukung ekosida pun meluas, khususnya dari anak-anak muda yang peduli terhadap perubahan iklim.
Di Indonesia, ekosida dikenalkan Walhi pada 2015 dengan meluncurkan buku berjudul ”Ecocide, Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran Hak. Asasi Manusia.” Pada 2019, Walhi meluncurkan seri kedua buku tentang ekosida dengan judul, “Ecocide: Memutus Impunitas Korporasi,” yang berisi contoh kasus ekosida dari Riau, Kalimantan Tengah hingga Jawa Timur. Terakhir, pada tahun 2020 kembali lahir buku seri lanjutan tentang ekosida berjudul “Ecocide: Melawan Pelanggaran Berat HAM di Indonesia” yang ditulis Ridha Saleh.
Semua buku itu upaya mengenalkan diskursus ekosida sebagai sebuah pelanggaran hak asasi manusia berat yang menyengsarakan manusia. Bentuknya perubahan iklim.
Mengapa ada perubahan iklim? Salah satunya karena deforestasi masif, alih fungsi hutan tropis menjadi perkebunan kelapa sawit, perkebunan monokultur, seperti hutan tanaman industri bahan baku kertas (pulp), hingga tambang. Indonesia menjadi negara yang turut menyumbang hal tersebut.
Keberadaan ekosida sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan dalam hukum, akan menjadi alat efektif untuk menangkal kejahatan lingkungan dan kemanusiaan. Hal tersebut sangat berkaitan dengan sebuah mekanisme hukum untuk menentang proyek-proyek yang merusak, menuntut remediasi dan kompensasi, dan memastikan keadilan lingkungan ditegakkan.
Ketika individu dan perusahaan mengetahui bahwa mereka menghadapi konsekuensi hukum yang berat, termasuk denda yang besar, hukuman penjara, dan kerusakan reputasi, mereka akan cenderung mempertimbangkan kembali tindakan yang merusak lingkungan. Paling tidak penetapan ekosida sebagai kejahatan lingkungan dalam hukum akan mengarahkan praktik bisnis yang lebih berkelanjutan.
Sudah waktunya Indonesia mendorong pengakuan ekosida sebagai alat penting dalam memerangi degradasi lingkungan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur
Topik :