HARI ini, tujuh tahun lalu, saya diberi kesempatan oleh teman-teman Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi untuk menguji klaim hutan adat berada di dalam hutan negara. Putusannya sudah kita tahu: kawasan hutan tidak identik dengan hutan negara, dan kawasan hutan adat dipisah hak mengelolanya dari hutan negara. Kini pemerintahan telah, sedang, dan akan menetapkan pengukuhannya
Berikut ini argumen gagasan tersebut. Pertama-tama kita harus mengujinya dengan keabsahan hutan adat di dalam hutan negara.
Doktrin Ilmu Kehutanan
Penting memahami bagaimana para sarjana kehutanan, terutama di Indonesia, mendapat doktrin sehingga mempengaruhi mereka dalam berpikir, membangun kelompok, membentuk jiwa korsa, mempertahankan kelompok, mendukung ide-ide, bahkan mewujudkannya dalam narasi kebijakan publik. Doktrin ini diperkirakan terkait pula dengan kesulitan mereka menerima inovasi kebijakan atau pemikiran dan narasi baru dalam proses pembuatan peraturan-perundangan.
Ketidak-sesuaian isi peraturan-perundangan maupun narasi kebijakan dalam pembangunan kehutanan dengan persoalan-persoalan nyata di lapangan telah ditelaah oleh Peter Gluck (1987) yang berkait erat dengan doktrin dalam ilmu kehutanan. Ia mengutip Duerr and Duerr (1975) bahwa doktrin para sarjanan kehutanan meliputi empat hal: kayu sebagai unsur utama (timber primacy), kelestarian hasil (sustained yield), jangka panjang (the long term), dan standar mutlak (absolute standard).
Doktrin dari Eropa itu berkembang di Amerika Utara dan menyebar ke seluruh dunia. Keempat doktrin tersebut telah membentuk kerangka dasar kurikulum bagi pendidikan kehutanan dan memiliki status hukum di banyak negara.
Berikut ini penjelasan ringkas keempat doktrin tersebut beserta implikasinya:
Pertama, doktrin timber primacy menemukan pembenaran ideologis melalui apa yang disebut sebagai “wake theory”, yang menyatakan bahwa semua barang dan jasa lainnya dari hutan mengikuti kayu sebagai hasil utama. Para sarjana menganggap, kandungan konseptual teori ini tidak memadai dan tidak memberikan opsi-opsi bagi ragam manfaat maupun praktik pengelolaan hutan. Teori itu dianggap tidak memberikan penjelasan mengenai beragamnya tujuan mengelola hutan—yang berarti tidak mengapresiasi beragamnya pelaku—sebaliknya hanya memberikan penilaian keberadaan hutan dengan kayu sebagai urutan pertama.
Kedua, doktrin sustained yield menjadi inti ilmu kehutanan yang didasarkan pada “etika kehutanan”, yang membantu menghindari maksimalisasi keuntungan sepihak dan eksklusif serta menghargai hutan yang penting bagi kehidupan manusia. Persepsi itu dipengaruhi pandangan-pandangan masyarakat Eropa lama. Misalnya, di Prancis ada jargon “Masyarakat tanpa hutan adalah masyarakat yang mati”. Penyair Austria Ottokar Kernstock menyebut hutan sebagai “... bait Allah dengan rimbawan sebagai para imamnya”.
Doktrin sustained yield mengaburkan antara hutan yang mempunyai manfaat bagi publik (public goods and services) yang harus dilestarikan manfaatnya itu dengan hutan yang bisa dimiliki oleh perorangan (private rights) atau kelompok (community rights). Akibatnya, keputusan memanfaatkan hutan menjadi pilihan individu atau kelompok. Akibatnya lagi, pelestarian hutan bisa dipaksakan kepada pemilik hutan dengan berbagai regulasi. Pemilik yang menolak regulasi itu akan mengonversi hutannya menjadi bukan hutan.
Ketiga, salah satu kekhasan kehutanan adalah periode rotasi yang panjang. Ini memaksa sarjana kehutanan mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari kegiatan-kegiatannya. Karena itu, pendekatan kehutanan dilakukan secara kaku dan cenderung tidak dinamis serta enggan menerima kepentingan sosial lain di dalam hutan.
Berpikir jangka panjang dan apresiasi terhadap hasil yang telah terbukti serta ketidakpercayaan terhadap masa sekarang merupakan bagian dari ideologi konservatisme. Berpendirian konservatif acap dikaitkan dengan pencarian nilai-nilai sosial yang stabil dan melembaga. Para sarjana kehutanan menginginkan kondisi sosial tahan lama yang dijamin oleh otoritas sosial serta negara yang kuat (Kalaora, B. 1981 dan Pleschberger, W. 1981 dalam Gluck 1987).
Rimbawan pada umumnya ingin merujuk pada “kesejahteraan bersama” atau “kepentingan umum” dengan batasan-batasan yang mereka anggap telah diketahui umum. Salah satu hasil dari sikap konservatif rimbawan adalah pandangan kritis mereka terhadap demokrasi dan kebebasan (libertarianisme). Sebagai “antropolog realis”, mereka tidak percaya sifat pluralisme kepentingan. Akibatnya, rimbawan cenderung mempertahankan kapitalisme (Pleschberger, W. 1981 dalam Gluck 1987).
Keempat, doktrin absolute standard berarti memahami hutan sebagai obyek pengetahuan ilmiah, yaitu untuk mempelajari hukum-hukum alam. Doktrin ini termasuk ide bahwa ilmu pengetahuan mengenai hutan menjadi sumber penetapan manajemen pengelolaan hutan. Rimbawan atau sarjana kehutanan—yang memiliki ilmu mengenai hutan—menjadi mediator antara hutan dan pemiliknya atau dengan masyarakat.
Para sarjana kehutanan umumnya menganggap orang atau masyarakat tidak memiliki kepentingan yang berbeda terhadap hutan, tetapi hutan memiliki fungsi berbeda bagi masyarakat. Dengan menggunakan istilah “fungsi hutan”, orang/masyarakat dimaknai dari subjek menjadi obyek dan hutan dimaknai dari obyek menjadi subjek.
Kepentingan menentukan “fungsi hutan” berdasarkan pilihan masyarakat itu kemudian turun ke tingkat teknokratik dan dilaksanakan oleh sarjana kehutanan. Para sarjana kehutanan dianggap paling tahu akan pentingnya fungsi hutan. Mereka lalu mengalokasikan nilai tertinggi ke fungsi produksi kayu. Akibatnya, kebijakan kehutanan cenderung direduksi menjadi silvikultur (menanam dan mengatur tegakan hutan). Negara lalu menetapkan pengetahuan tersebut menjadi undang-undang. Salah satu rimbawan telah berkata “Silvikultur harus ditetapkan secara hukum” (Kalaora, B. 1981 dalam Gluck 1987).
Keempat doktrin di atas, secara ringkas menguatkan suatu diskursus dalam pengelolaan hutan, sebagai berikut:
Pertama, ilmu kehutanan tidak mengenal beragamnya tujuan mengelola hutan—yang berarti tidak mengapresiasi beragamnya pelaku. Sebaliknya ilmu kehutanan hanya memberikan penilaian keberadaan hutan dengan nilai ekonomi kayu sebagai urutan pertama.
Kedua, kuatnya pendirian konservatif yang relatif enggan menerima kepentingan sosial lain di dalam hutan. Akibatnya ada pencarian nilai-nilai sosial yang stabil dan melembaga yang menginginkan kondisi sosial yang dijamin oleh otoritas sosial serta peran negara yang kuat.
Ketiga, dengan kebiasaan mempelajari hukum-hukum alam dari hutan, masyarakat dianggap tidak memiliki kepentingan yang berbeda terhadap hutan, sebaliknya hutan memiliki fungsi berbeda bagi masyarakat. Dengan menggunakan istilah “fungsi hutan”, orang/masyarakat dimaknai dari subjek menjadi obyek dan hutan dimaknai dari obyek menjadi subjek.
Keempat, pelestarian hutan diseragamkan sebagaimana fungsi hutan bagi kepentingan publik, sehingga keputusan memanfaatkan hutan yang menjadi pilihan individu atau kelompok diabaikan. Pelestarian hutan dipaksakan kepada pemilik hutan dengan berbagai regulasi.
Diskursus itu sejalan dengan politik pada masa kolonial maupun sistem pemerintahan yang cenderung menggunakan pendekatan represif di masa lalu. Ekornya masih terbawa dalam Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan yang ditunjukkan oleh pemaknaan atas definisi hutan tetap, yang mengarahkan pengertian bahwa hutan tidak terkait, apalagi dikonstruksikan secara sosial.
Menetapkan hutan adat sebagai hutan negara di dalam wilayah masyarakat hukum adat, dengan demikian, bisa diinterpretasikan sebagai konsekuensi hak menguasai oleh negara (penjelasan Pasal 5, ayat 1). Substansi hak menguasai itu sejalan dengan doktrin scientific forestry sebagaimana diuraikan di atas.
Pemaknaan itu perlu diuji, melalui dua pertanyaan berikut:
- Apabila secara konseptual atau potensial “hutan adat sebagai hutan negara” itu dimaknai sebagai upaya penghormatan dan perlindungan terhadap hutan adat oleh negara, apakah pemaknaan itu sejalan dengan tujuan Undang-Undang Dasar 1945 dan terwujud di dalam kenyataannya?
- Apakah pengembalian status hutan adat sebagai hak bawaan/hak asal-usul/hak asasi masyarakat adat akan mampu meredam konflik, menciptakan pengelolaan hutan berkelanjutan, maupun mengurangi keterbukaan akses kawasan hutan di Indonesia?
Jawaban pertanyaan pertama tecermin dalam putusan Mahkamah Konstitusi tujuh tahun lalu. Sementara jawaban kedua masih harus ditunggu implementasinya.
Bogor, 14 Juni 2019
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :