TULISAN ini disusun dengan tujuan untuk membangun pemikiran sebagai bahan diskusi akademis atau kebijakan di bidang pembangunan. Bias akuntansi dalam judul tulisan ini adalah kontradiksi antara ilmu ekonomi sebagai induknya dengan penerapan akuntansi atas sumber daya lahan pada kasus perkebunan besar berbasis alas hak guna usaha (HGU).
Kontradiksi tersebut tecermin pada tidak diberlakukannya sewa lahan sebagai proksi sewa lahan atau land rent (LR) pada usaha perkebunan besar beralas HGU. Padahal lahan merupakan sumber daya langka dan luasnya secara total bersifat konstan.
Kelangkaan sumber daya merupakan dasar lahirnya teori dan aplikasi ilmu ekonomi. Dalam ruang-lingkup ini ternyata penerapan akuntansi perusahaan perkebunan besar berdasarkan HGU tidak memberlakukan nilai sewa lahan tersebut.
Sumber daya lahan bersifat konstan. Artinya, jumlahnya tetap. Misalnya, menurut data Badan Pusat Statistik, luas daratan Indonesia adalah 1,91 juta kilometer persegi. Luas tersebut akan tetap walaupun harga tanah naik atau turun. Ilmu ekonomi sumber daya lahan atau land resource economics dibangun oleh sifat utama fixity ini.
Konsep sewa lahan secara sederhana diartikan sebagai pengembalian (return) dari kegiatan produksi pada sumber daya lahan yang luasannya konstan itu. Sewa lahan biasa disebut sebagai pendapatan bukan hasil kerja (unearned income). Karena itu, sewa lahan sering juga disebut sebagai hak masyarakat. Berdasarkan konsep sewa lahan ini, Von Thunen melahirkan model penggunaan lahan atau land use dengan nilai sewa lahan tertinggi untuk pusat kota, yang kemudian menurun ke permukiman, pertanian, dan terakhir zona kehutanan.
Jika dalam kasus tenaga kerja kita mengenal upah dan dalam barang kapital kita mengenal bunga (interest), maka dalam sumber daya lahan kita mengenal rent atau LR. Pengetahuan penting yang dihasilkan dari analisis ekonomi sumber daya lahan adalah terpolanya zona-zona dari suatu region berdasarkan atas nilai LR.
Puncak tertinggi nilai sewa lahan adalah zona pusat kota, yang kemudian nilai sewa menurun sesuai dengan peubah jarak dari pusat kota ke pedalaman. Untuk kasus pertanian atau perkebunan, nilai sewa bervariasi menurut kesuburan tanah. Meniadakan nilai sewa sama dengan tidak mengenal eksistensi kelangkaan yang menjadi basis ilmu ekonomi.
Dengan permodelan ekonomi yang menerapkan nilai sewa kita bisa menemukan pola kompetisi lahan menurut nilai penggunaannya. Karena itu, betapa penting informasi nilai sewa ini bagi tercapainya tujuan pemanfaatan sumber daya lahan yang terbatas itu demi terwujud sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia.
Implikasi pertama tidak dikenalnya nilai sewa lahan dalam akuntansi perusahaan perkebunan besar berbasis HGU adalah Indonesia kehilangan informasi tentang sisi kelangkaan lahan dalam suatu sistem ekonomi pasar sebagaimana yang dijalankan sekarang. Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi lahan yang dimanfaatkan petani.
Misalnya, proksi nilai sewa lahan untuk menanam tebu oleh para petani di Jawa Timur sekitar Rp 20 juta per hektare per tahun. Dengan demikian per 100.000 hektare perkebunan tebu milik petani di Jawa akan mencapai nilai sewa lahan Rp 2 triliun. Sebaliknya, untuk berapa saja luas lahan HGU perkebunan besar tidak dikenal keberadaan sewa alias nilainya sama dengan nol. Bias nilai lahan ini akan membuat sistem tata ruang dan perekonomian nasional juga bias ke arah yang tidak menguntungkan.
Implikasi kedua akibat ketiadaan informasi nilai sewa lahan adalah kebijakan alokasi atau distribusi sumber daya lahan yang keliru. Demikian juga dengan potensi pendapatan negara akan jauh lebih kecil, apalagi mengingat biaya untuk mendapatkan HGU untuk sebidang lahan hanya kurang-lebih 5% kali Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Jumlah ini akan sangat kecil mengingat nilai NJOP untuk lahan-lahan yang berada di daerah pedalaman akan rendah. Dengan rendahnya biaya memperoleh HGU di satu pihak dan terjadinya transfer kepemilikan HGU yang bisa dijadikan agunan atau kolateral oleh perusahaan besar ke bank, karena sekarang statusnya sudah menjadi aset perusahaan di pihak lain, masuk akal terjadinya kepemilikan lahan perusahaan perkebunan yang sangat luas dengan pola distribusi yang timpang relatif terhadap kepemilikan lahan oleh petani.
Hal yang terakhir ini yang sebenarnya merupakan implikasi ketiadaan nilai sewa lahan dalam sistem akuntansi perkebunan besar yang paling menghambat pembangunan, yaitu menghalangi lahirnya masyarakat industri dan industrialisasi melalui pelembagaan neofeodalisme.
Industrialisasi yang lahir di Eropa Barat pada abad ke-18 adalah buah dari revolusi sosial yang melahirkan masyarakat industri (industrious). Ciri masyarakat industri sebagian besar masyarakatnya tidak menggantungkan kesejahteraannya kepada hasil tanah pertanian.
Sebaliknya bagi masyarakat feodal. Karena itu masyarakat feodal tidak akan melahirkan masyarakat industri mengingat masyarakat feodal tidak akan tertarik menciptakan institusi pendidikan yang baik, institusi keuangan modern, institusi riset dan pengembangan, atau sistem sosial yang bersifat egaliter dan demokratis.
Di antara pelbagai publikasi ilmiah, karya O. Galor, O. Moav, dan D. Vollarth dalam “Inequality in Landownership, the Emergence of Human-Capital Promoting Institutions, and the Great Divergence”, dalam Review of Economic Studies" (2009) memperlihatkan ketimpangan yang tinggi akan distribusi kepemilikan lahan menghambat lahirnya institusi yang mempromosikan kemajuan dalam sumber daya manusia, dan karena itu menghambat pula lahirnya proses transformasi ekonomi dari pertanian menjadi industri.
Lahirnya masyarakat industri dan suksesnya industrialisasi merupakan prasyarat bagi Indonesia untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Hal ini bisa dimulai dengan memperbaiki sistem akuntansi perusahaan dan peraturan perundangan pendukungnya yang mengartikulasikan nilai sewa lahan atau land rent (LR) menjadi biaya yang dipungut negara dan dikembalikan menjadi modal pembangunan sosial di sekitar perkebunan besar dan daerah-daerah lain yang memerlukan.
Ikuti percakapan tentang pembangunan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan IPB 1978, Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan (2005-2010). Sekarang Rektor Universitas Institut Koperasi Indonesia Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat
Topik :