Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 25 Juni 2024

Anatomi Hutan Produksi: Berapa yang Masih Bisa Dimanfaatkan?

Kawasan hutan produksi bisa dimanfaatkan untuk bisnis. Kesempatan meluaskan bisnis ramah lingkungan.

Hutan produksi di Jambi yang terlintasi jalan tambang (Foto: Dok. Istimewa)

DALAM terminologi kehutanan, hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan untuk kegiatan produksi komoditas kehutanan, baik kayu maupun hasil hutan bukan kayu (HHBK), dari mulai pemanenan (penebangan), penanaman kembali (replanting), pemeliharaan dan seterusnya. Undang-Undang 41/1999 tentang kehutanan menyebutkan hutan produksi sebagai salah satu kawasan fungsi hutan selain hutan konservasi dan hutan lindung.

Karena itu, dalam UU 26/2007 tentang tata ruang, dikenal kawasan lindung dan kawasan budidaya. Maka hutan konservasi dan hutan lindung masuk dalam katagori kawasan lindung; sedangkan hutan produksi masuk dalam kawasan budidaya.

Konstruksi Kayu

Dalam Peraturan Pemerintah 44/2004 tentang perencanaan hutan, hutan produksi diturunkan lagi menjadi hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi biasa (HP) dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Pembagian hutan produksi ini semata mata didasarkan pada kriteria dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan, setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai antara 125-174 untuk HPT, nilai di bawah 125 untuk HP dan 124 atau kurang untuk HPK.

Belakangan dalam PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan menggabungkan HPT dan HP menjadi hutan produksi biasa (HPB).

Luas hutan produksi 68,8 juta hektare: HPT 26,8 juta hektare, HPB 29,2 juta hektare dan hutan HPK 12,8 juta hektare. Kondisi tutupan hutan produksi Indonesia 45,5 juta hektare, yang berada di HPT 21,4 juta hektare, HPB 17,8 juta hektare dan HPK 6,3 juta hektare. Sementara hutan produksi yang tak lagi memiliki tutupan hutan seluas 23,3 juta hektare, berada di HPT 5,4 juta hektare, HPB 11,4 juta hektare dan HPK 6,5 juta hektare. 

Menurut Peta Indikatif Penggunaan Kawasan Hutan Produksi, pada 2020 kawasan hutanproduksi yang telah berizin seluas 34,18 juta hektare melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (HPH) 18,75 juta hektare yang dikelola 257 unit korporasi, hutan tanaman 11,19 juta hektare oleh 292 unit, dan restorasi ekosistem seluas 620 ribu hektare. Sisanya hutan produksi seluas 34,62 juta hektare belum dibebani hak.

Hutan produksi yang belum dibebani hak diarahkan untuk kegiatan moratorium hutan alam primer dalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) seluas 9,88 juta hektare, pembangunan dan pengembangan konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) jangka panjang seluas 7,69 juta hektare, cadangan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) seluas 10,04 juta hektare dan untuk penggunaan tertentu/khusus seluas 7,01 juta hektare. Dari 7,01 juta hdektare ini untuk perhutnanan sosial seluas 3,55 juta hektare. Sementara cadangan hutan produksi untuk izin baru 3,4 juta hektare.

Menurut PP 23/2021 pemanfaatan hutan produksi dapat dilakukan pada pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu maupun non kayu, dan pemungutan hasil hutan kayu maupun non kayu. Data KLHK, hingga April 2024 menunjukkan telah ada 111 unit perusahaan terdaftar mengimplementasikan multiusaha kehutanan, dengan 75 unit telah mendapat persetujuan perubahan rencana kerja dan 36 unit lainnya sedang dalam proses persetujuan.

Sedangkan penggunaan kawasan hutan produksi ditempuh melalui dua jalur, yakni alih fungsi lahan dengan pelepasan hutannya dan jalur izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).

Untuk jalur IPPKH diarahkan untuk kegiatan pembangunan non kehutanan tanpa mengubah status hutannya. UU 41/1999 menyebutkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.

Selain pembangunan jalan, kegiatan pembangunan di luar kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan.

Meski telah dirinci secara gamblang anatomi hutan produksi di Indonesia, baik dari aspek pemanfaatan maupun aspek penggunaannya, banyak masalah yang mengadang kawasan hutan produksi di Indonesia yang sampai dengan saat ini belum terurai secara tuntas.

Deforestasi. Deforestasi menjadi masalah krusial bagi kawasan hutan produksi. Seluas 33,4 juta hektaremerupakan kawasan yang tidak mempunyai tutupan hutan dan merupakan lahan terbuka, semak belukar dan tanah terlantar bukanlah lahan menganggur yang dapat dimanfaatkan apa saja. Kawasan hutan yang telah terdeforestasi berada di hutan konservasi 4,5 juta hektare, hutan lindung 5,6 juta hektare, dan hutan produksi seluas 23,3 juta hektare, terdiri dari HPT 5,4 juta hektar, HPB 11,4 juta hektar dan HPK 6,5 juta hektare). Belum lagi kawasan hutan yang telah menjadi perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan produksi seluas 3.163.215 hektare.

EUDR. Sanksi dari aturan baru dari negara Uni Eropa European Union Deforestation-free Regulation (EUDR) yang disahkan 29 Juni 2023. Uni Eropa melarang masuk impor tujuh Komoditas terkait deforestasi (kayu, kopi, kakao, minyak sawit, ternak, kedele dan karet).

Perhutanan sosial dan Tanah untuk Reforma Agraria (TORA). Kegiatan perhutanan sosial membutuhkan cadangan kawasan hutan produksi seluas 12,7 juta hektare, yang hingga saat ini baru terealisasi seluas 6.372.449,22 hektare atau 50,17 persen. Sementara kegiatan TORA, telah didistribusikan seluas 2,9 juta hektare dari target 4,1 juta hektare.

Rehabilitasi hutan oleh pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum kegiatan rehabilitasi hutan memakai dana APBN banyak dilakukan di dalam kawasan hutan produksi. Rehabilitasi hutan yang merupakan bagian dari program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) sejatinya telah dilaksanakan sejak tahun 1976. Namun, tanda-tanda keberhasilannya belum tampak. Dalam refleksi akhir tahun 2023 KLHK, Direktur Jenderal Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan, menunjukkan persentase capaian kinerja rehabilitasi seluas 179.000 hektar. Tidak dijelaskan nasib rehabilitasi hutan tahun-tahun sebelumnya termasuk yang ditanam pada tahun 2022 seluas 77.103 hektare.

Moratorium hutan alam dan gambut (PIPPIB). Moratorium periode pertama tahun 2022 seluas 66.511.600 hektare belum jelas berasal dari kawasan fungsi hutan mana saja. Menurut Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan KLHK, PIPPIB seluas 66,5 juta hektare berasal dari peta indikatif PIPPIB ialah 51,6 juta hektare dan gambut 5,2 juta hektare serta hutan alam primer 9,6 juta hektare. Padahal, hutan alam primer tersisa 45,5 juta hektare. Dari mana sisanya?

Ikuti percakapan tentang hutan produksi di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain