Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 29 Juni 2024

Sedotan Plastik di Laut Kita

Sampah plastik terus mencemari laut. Perlu regulasi kuat, edukasi kepada masyarakat, dan keterlibatan korporasi.

Sampah plastik di Pantai Klui, Lombok, NTB (Foto: Purnomo Gontha Ridho)

MATAHARI baru saja terbit. Angin berhembus menyibak rambut. Saya menyusuri tepi pantai Klui di wilayah Senggigi, Lombok yang berpasir hitam halus pada akhir Juni 2024. "Pasir di Senggigi hitam tapi halus karena dari material letusan gunung Rinjani," kata Adi, warga lokal yang sempat mengantar  saya.

Pantai di Klui yang saya susuri cukup bersih karena dikelola oleh resort privat. Mereka punya petugas khusus "menyapu" pantai. Pengelolanya juga rutin mengajak warga sekitar untuk bersih-bersih pantai. Maka tak heran pantai ini cukup bersih.

Konstruksi Kayu

Saya selalu menikmati "earthing" atau "grounding" seperti ini: menapak di bumi tanpa alas kaki. Aktivitas ini bisa membuat badan kita terkoneksi dengan bumi yang efeknya bagus buat kesehatan; bisa mengurangi inflamasi, stress dan meningkatkan kualitas tidur.

Saat asyik berjalan di atas pasir halus, menarik napas dan terhubung ke bumi, tiba-tiba ombak besar datang. Blaaarrr.. sontak celana pendek saya basah. Saya pun agak melipir menjauhi bibir pantai. Ombak datang lagi.. blarrr, kali ini lebih besar. Waduh basah total.

Saya terus berjalan, dari kejauhan saya melihat di pasir menancap tegak seperti pensil warna-warni berbentuk lingkaran. Saya dekati cepat, sebelum ombak datang lagi. Ternyata sedotan plastik diselingi ranting kayu. Maknyess.

Ombak besar juga membawa beberapa sampah lain. Ada sendal, pecahan ember tapi yang paling banyak plastik dan sedotan. Saya langsung teringat teman baik saya, Valerina Daniel yang baru saja meluncurkan Buku Panduan Strategi Komunikasi Kampanye RESIK: Stop Polusi Plastik di Indonesia!

Dalam buku tersebut menyebutkan estimasi saat ini menunjukkan sekitar 85,000 ton sampah dihasilkan oleh Indonesia setiap harinya. Laju peningkatan infrastruktur pengelolaan sampah tidak dapat mengimbangi jumlah sampah. Akibatnya, sejumlah besar sampah yang tidak tertangani mencemari tanah dan sungai di Indonesia, serta lautan.

Saat ini, 80% sampah laut Indonesia berasal dari daratan dan 30% di antaranya dikategorikan sebagai sampah plastik. Setiap tahunnya, 1.29 juta ton sampah plastik, yang turut dipengaruhi oleh pasang surut ombak masuk ke perairan Indonesia dan berkontribusi terhadap akumulasi sampah lokal.

Menurut data dari Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut, pada tahun 2022 tercatat 398.000 ton kebocoran sampah plastik di laut. Pada tahun 2019, kebocoran sampah plastik ke laut Indonesia diestimasikan sebesar 0,27-0,59 juta ton per tahun yang berasal dari kegiatan penduduk Indonesia.

Penelian yang diterbitkan di jurnal Plos One tahun 2023 menyebut lebih dari 170 triliun potongan plastik mengapung di laut di seluruh dunia. “Sekitar 10% - 20% dari 170 triliun potongan plastik di lautan, dihasilkan dari Indonesia. Ini menjadi problematika tersendiri,” ujar Peneliti Oseanografi BRIN, Muhammad Reza Cordova dalam sebuah wawancara

Dampak sampah laut ini mengerikan. Tak hanya mencemari lautan, tetapi juga merambah ke berbagai sector mulai dari ekonomi dan pariwisata; Keindahan pantai ternodai, wisatawan enggan datang, dan pendapatan masyarakat pesisir anjlok.

Kemudian ancaman bagi biota Laut dan ekosistem pesisir; hewan laut terjerat dan tertelan plastik, terancam punah, dan ekosistem pesisir rusak parah. Ada hiu paus yang terdampar dan perutnya penuh sampah plastik.

Belum lagi dampak bagi kesehatan manusia, berbagai studi menunjukkan mikroplastik dari sampah laut mencemari rantai makanan, berujung pada konsumsi manusia dan membahayakan kesehatan. Mikroplastik bahkan sudah sampai ke atmosfer.

Untuk mengatasi masalah ini, Indonesia sebenarnya telah secara aktif terlibat dalam beberapa upaya global untuk mengatasi polusi plastik. Sebagai contoh, pada 2017, Indonesia bergabung dengan kampanye #CleanSeas dari UN Environment.

Kampanye tersebut untuk menghilangkan sumber utama sampah laut dengan mengurangi sampah plastik di 18 wilayah pesisir di 18 kota/kabupaten, dari 25 kota/kabupaten prioritas, dan akan terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya dan mengurangi sampah laut hingga 70% pada tahun 2025.

Lewat kampanye dan berbagai regulasi, Indonesia sudah berhasil mengurangi sampah laut dari 650,000 ton pada tahun 2018, menjadi 340,000 ton pada tahun 2023. Sampah yang paling banyak ditemui adalah plastik sachet, kantong kresek, dan botol plastik.

Sampah plastik di pantai Klui, Lombok (Foto: Purnomo Gontha Ridho)

Namun upaya ini sebenarnya tak cukup bila tidak melibatkan masyarakat juga korporasi yang menghasilkan sampah plastik. Bagaimana para korporasi harus melakukan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya sampah plastik, selain itu mereka juga harus bertanggung jawab untuk melakukan ekonomi sirkuler melalui desain produk dan kemasan yang bisa didaur ulang.

Adapun masyarakat atau kita sendiri perlu mengelola sampah plastik dengan 3R (Reduce, Reuse, Recyle). Reduce dan reuse bisa dengan mengurangi penggunaan plastik, mulai dengan membawa tumbler dan wadah makanan untuk jajan atau membeli makanan. Sedangkan recyle bisa memilah sampah plastik di rumah dan kantor untuk kemudian dibawa ke lokasi-lokasi atau bank sampah yang menampung sampah plastik.

Blarrrr.. deburan ombak memecah lamunan saya. Saya mulai memungut sedotan-sedotan plastik yang tertancap di pasir pantai Klui, Senggigi. Jumlahnya lumayan. Bahkan Ketika saya snorkeling, ada saja sedotan dan plastik yang tersangkut di terumbu karang juga mengapung-ngapung. Mungkin hal paling sederhana yang bisa kita lakukan adalah setop dan tolak menggunakan sedotan plastik.

Ikuti percakapan tentang sampah plastik di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Penggerak @Sustainableathome

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain