Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 03 Juli 2024

Masalah Krusial Pembangunan Kota Hutan IKN

Kota hutan IKN butuh persemaian modern. Persemaian Mentawir masih konvensional.

Persemaian bibit pohon meranti (Foto: Asep Ayat/FD)

SALAH satu kesulitan membangun Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur adalah menjadikan IKN sebagai forest city atau kota hutan. IKN akan dibangun dengan konsep kota pintar, kota hutan dan kota spons. Kota pintar salah satunya mencakup akses dan mobilitas.

Presiden Jokowi menyebut IKN sebagai kota 10 menit. Artinya kota yang untuk menempuh dari satu titik ke titik lain membutuhkan waktu sekitar 10 menit dengan 80 persen memakai transportasi publik. Lebih jauh, presiden menginginkan transportasi di IKN tidak menggunakan kendaraan berbahan bakar fosil.

Konstruksi Kayu

Dalam konsep Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, IKN dibangun dan dikembangkan hanya menggunakan 20 persen lahan yang ada, sisanya dipertahankan sebagai kawasan hijau berupa kawasan hutan. IKN Nusantara, juga bagian dari komitmen Indonesia dalam penanggulangan perubahan iklim. 

Sementara itu, kota spons memiliki sistem perairan sirkuler yang menggabungkan arsitektur, desain tata kota, infrastruktur dan prinsip keberlanjutan. Kenapa IKN yang akan dibangun sebagai forest city akan menghadapi banyak kesulitan dan hambatan dibandingkan dengan smart city dan spon city?

Alasannya sederhana, membangun kotan hutan di ratusan ribu hektare lahan membutuhkan waktu dan proses panjang. Secara normatif, membangun hutan dari anakan (seedling) menjadi pohon dewasa (tree) membutuhkan waktu minimal 15 sampai 20 tahun melalui  empat tahapan, yakni anakan (seeding), sapihan (sapling), tiang (pole) dan pohon (tree).

Secara keseluruhan luas wilayah IKN 256.143 hektare, yang terdiri dari tiga wilayah perencanaan, yakni Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) seluas 6.671 hektare (2,6 %), Kawasan IKN (KIKN) seluas 56.181 hektare (19,34 % tidak termasuk KIPP) dan Kawasan Pengembangan IKN (KP IKN) 199.962 hektare (78,06 %).

Tata guna lahan IKN saat ini terdiri dari hutan lindung 0%, hutan produksi terbatas 1%, hutan produksi yang dapat dikonversi 16%, hutan produksi biasa 17%, hutan konservasi 25% dan areal penggunaan lain (APL) 41%. Sementara berdasarkan peta tutupan lahan skala 1:5.000 tahun 2019, kawasan IKN yang masih berhutan seluas 42,31% (hutan lahan kering 38,95%,

hutan mangrove 2,15% dan hutan rawa gambut 1,21%), semak belukar dan tanah kosong 13,74%, perkebunan 29,18%, tanaman campuran dan tegalan/ladang 8,97%. Sisanya berupa sawah, padang rumput, pertambangan dan sebagainya dengan luasan yang relatif kecil rata-rata di bawah 1%.

KLHK telah melakukan proses alih fungsi lahan hutan produksi biasa menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 41.493 hektare tahun 2019. Kawasan hutan ini yang akan menjadi KIKN melalui proses pelepasan kawasan hutan menjadi APL dan akan dilakukan atas usul otorita IKN. Tutupan hutannya pun, secara ekologis luasnya masih memadai yakni 42,31%.

Sebagai kota yang mengusung konsep kota hutan dan berbasis lingkungan yang sesedikit mungkin atau tidak ada penebangan hutan, luasan tutupan hutan 42,31% ini dirasa belum cukup dan harus ditingkatkan lagi luasannya menjadi 70-80 %. Untuk itu lahan yang tidak mempunyai tutupan hutannya yang harus dihutannya kembali seluas 28 -38 persen. 

Hingga kini, teknik silvikultur pengembangan jenis-jenis tanaman hutan tropika basah khususnya keluarga Dipterocarpaceae belum dikuasai sepenuhnya oleh ahli-ahli kehutanan, khususnya ahli silvikultur baik di Indonesia. Pasalnya biji/benih jenis Dipterocarpaceae merupakan benih/biji yang tergolong dalam jenis yang tidak dapat disimpan lama dan cepat berkecambah (rekalsitran).

Maka masuk akal apabila jenis tanaman hutan untuk hutan tanaman industri (HTI) adalah jenis eksotik (bukan jenis lokal/endemik) yang cepat tumbuh dan pionir seperti eukaliptus, akasia, agathis dan lain-lain. Karakteristik lain yang menjadi faktor penghambat jenis-jenis endemik ini, di samping pertumbuhannya lambat, juga jenis tanaman hutan yang intoleran yang butuh naungan. 

Meskipun pemerintah menyiapkan lahan seluas 16 hektare untuk persemaian Mentawir yang akan menyediakan 15 juta pohon setahun, bibit yang disiapkan merupakan anakan yang diambil dari bawah pohon endemik lalu dipindahkan ke dalam polybag.

Masalah lain persemaian Mentawir adalah sistem pengelolaan persemaiannya masih konvensional. Dalam penyediaan bibit dengan jumlah banyak dengan karakteristik jenis berbeda-beda perlu persemaian modern yang menghasilkan bibit yang berkualitas tinggi dan dalam jumlah massal. 

Salah satu ciri khas persemaian modern adalah bibit yang dihasilkan dari biji tidak menggunakan media tanah dan polybag (kantong plastik) tetapi dengan media khusus (seperti serabut kelapa, ampas tebu, dan sejenisnya) yang dicampur dengan hara tanaman yang berdosis tinggi yang dimasukkan dalam tabung-tabung plastik.

Bila saat bibit siap tanam, bibit tersebut dapat langsung dicabut dari tabungnya dan yang tersisa bibit dan akarnya yang menempel pada media tumbuh yang telah menyatu dengan hara tanaman. Berat bibit dari persemaian modern ini akan lebih ringan 10 kali dibanding dengan bibit dengan media tanah dan polybag.

Ciri lain persemaian modern adalah kebutuhan air untuk tanaman tidak akan pernah putus dan selalu tersedia sprinkle air yang selalu menyemprot setiap saat. Selain itu, cahaya matahari yang masuk dapat diatur dengan net (jaring) khusus sesuai dengan persentase cahaya yang dikehendaki jenis tanaman.

Beberapa jenis Dipterocarpaceae merupakan jenis intoleran dari sejak anakan sudah tentu membutuhkan cahaya yang terbatas dibanding dengan jenis-jenis yang toleran. Teknologi persemaian modern ini telah dikenal di Indonesia pada saat Departemen Kehutanan bekerja dengan pemerintah Finlandia di awal tahun 1990-an dengan membangun persemaian modern di beberapa daerah di Indonesia.

Ikuti percakapan tentang IKN di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain