Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 04 Juli 2024

Risiko Hilirisasi Nikel Terhadap Lingkungan

Hilirisasi sumber daya alam berisiko menjegal kebijakan mitigasi iklim. Tarik-menarik kepentingan ekonomi dan lingkungan.

Pertambangan nikel di Kolaka, Sulawesi Tenggara

KEBIJAKAN hilirisasi atau penghiliran sumber daya alam menjadi andalan pemerintahan di bawah presiden terpilih Prabowo Subianto. Hilirisasi, untuk menghindari kata industrialisasi, menjadi kata kunci untuk meningkatkan nilai tambah (added value) pemanfaatan sumber daya alam yang melimpah di Indonesia, khususnya sumber daya mineral dan batu bara.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) “nilai tambah” adalah bagian dari produksi komoditas dengan nilai selisih antara biaya produksi (output) dan input. Pengeluaran biaya menghasilkan nilai tambah dalam bentuk yang berbeda dari sebelumnya baik wujud barang maupun jasa. Sementara Presiden Joko Widodo mendeskripsikan nilai tambah sebagai industrialisasi yang membangun pabrik-pabrik pengolahan bahan setengah jadi ataupun bahan jadi yang pada gilirannya pabrik-pabrik tersebut akan membuka lapangan pekerjaan baru di dalam negeri.

Konstruksi Kayu

Dari segi pemasukan pendapatan negara, produk-produk pabrik olahan bahan mentah tersebut akan membayar pajak juga di Indonesia (PPN, PNBP, pajak bea keluar (ekspor) dan sebagainya). 

Pemerintahan Jokowi, di tahun 2020, menyetop ekspor bahan mentah nikel disusul bauksit (2022), dan tembaga (2023). Bauksit dapat diolah menjadi aluminia, sedangkan tembaga dicampur dengan nikel dapat dibuat lithium baterai dan sodium ion.

Menurut Jokowi, hilirisasi tidak terbatas pada jenis tambang nikel saja. Hilirisasi tambang akan dilanjutkan ke hilirisasi tembaga, bauksit, dan timah. Menurut Presiden, hilirisasi nikel akan meningkatkan nilai tambah ekspor dan meningkatkan lapangan kerja berlipat kali. Sebelum hilirisasi nikel di Sulawesi Tengah, hanya 1.800 pekerja yang terserap di pengolahan nikel. Setelah hilirisasi, Jokowi mengklaim, setidaknya 71.500 tenaga kerja terserap di provinsi itu. Hal serupa terjadi di Maluku Utara. Sebelum hilirisasi nikel, hanya 500 pekerja yang terserap di pengolahan nikel, setelahnya menjadi 45.600 pekerja.

Nilai ekspornya juga naik dari US$ 2,1 miliar pada 2014-2015 menjadi US$ 33,8 miliar atau Rp 510 triliun pada 2022. Wajar apabila ekspansi nikel besar-besaran akan dikembangkan pemerintah Indonesia.

Menurut Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral cadangan batu bara Indonesia saat ini mencapai 38,84 miliar ton. Dengan rata-rata produksi batu bara sebesar 600 juta ton per tahun, umur cadangan batu bara masih 65 tahun apabila diasumsikan tidak ada temuan cadangan baru. Kalimantan menyimpan 62,1% dari total potensi cadangan dan sumber daya batu bara terbesar di Indonesia, yaitu 88,31 miliar ton sumber daya dan cadangan 25,84 miliar ton. Sementara Sumatera memiliki sumber daya 55,08 miliar ton dan cadangan 12,96 miliar ton.

Sebagai primadona hilirisasi saat ini, perizinan pertambangan nikel hingga 2023 berada di urutan kedua setelah emas dengan luas hampir 900.000 hektare. Entitas pertambangan nikel menjadi yang terbanyak dengan jumlah 319 perizinan. Bonanza nikel ini mengingatkan kita akan bonanza kayu dari hutan alam tropika basah di Sumatera maupun Kalimantan di era Orde Baru 1970-1998.

Bonanza kayu terjadi dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 21/1970, yang mengizinkan konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) dan hak pemungutan hasil hutan (HPHH). Sejak itu pula dalam periode 1967-1980, pemerintahan Orde Baru menerbitkan 519 izin HPH dengan luas konsesi 53 juta hektare. Per 1995, pemerintah tercatat telah mengeluarkan 586 HPH dengan luas keseluruhan 63 juta hektare.

Meski hutan dapat dipulihkan kembali dengan melakukan penanaman kembali pohon-pohon hutan, faktanya dari luas hutan Indonesia 125 juta hektare, kawasan hutan yang tak memiliki tutupan seluas 33,4 juta hektare sebagai lahan-lahan terbuka, semak belukar dan tanah telantar bukan lahan menganggur yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan apa saja, karena masing-masing areal mempunyai fungsi kawasan masing-masing.

Khusus untuk hutan produksi yang tidak mempunyai tutupan hutan (bekas konsesi HPH) seluas 23,3 juta hektare, yang terdiri dari hutan produksi terbatas 5,4 juta hektare, hutan produksi biasa 11,4 juta hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 6,5 juta hektare.

Bonanza nikel dengan mengeksploitasi kawasan hutan secara masif memicu laju deforestasi baru di tengah upaya pemerintah menekan emisi gas rumah kaca dan menurunkan emisi karbon melalui program FOLU Net Sink 2030. Celakanya lagi, ekspansi tambang dalam kawasan hutan hingga saat ini masih diizinkan tidak hanya dilakukan di dalam kawasan hutan produksi saja, tetapi juga dapat dilakukan di dalam kawasan hutan lindung.

Meskipun hilirisasi nikel akan meningkatkan nilai tambah yang signifikan bagi pemasukan devisa negara secara ekonomi, pemerintah mesti menimbang kebijakan lain yang tergerus akibat hiliriasi ini.

Mengutip data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK periode 1984-2020, luas Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) pertambangan yang diterbitkan oleh pemerintah sejak Orde Baru seluas 529.966 hektare. Tak ada rincian data yang jelas luas tambang yang berada di kawasan hutan lindung dan berapa tambang yang berada di kawasan hutan produksi.

Ikuti percakapan tentang hilirasi di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain