Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 05 Juli 2024

Krisis Iklim: Masyarakat Papua Menyelamatkan Bumi, Orang Kota Merusaknya

Masyarakat di pelosok berjuang melindungi bumi untuk mencegah krisis iklim. Elite di Jakarta merusaknya.

Nelayan Raja Ampat, Papua

DI media sosial, ada perdebatan soal bisnis pertambangan dan kerusakan lingkungan. Pemicunya adalah pemberian konsesi tambang kepada organisasi masyarakat dan organisasi keagamaan. Salah satunya Nahdlatul Ulama.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla mengatakan bahwa menajiskan bisnis pertambangan tak sesuai syariat Islam. Pernyataan itu mendapatkan pertentangan dari sahabat-sahabatnya sendiri. Setelah membaca perdebatan itu, saya ingat cerita Steve Wawiyai, penduduk Friwen, Papua, sewaktu kami bercengkerama pada 3 Juli lalu.

Konstruksi Kayu

Pernyataan Steve kurang lebih seperti ini:

Dalam sepuluh tahun terakhir, kampung Friwen, di Raja Ampat, selalu kebanjiran. Setiap bulan muda, air laut naik masuk ke daratan. Pulau Friwen yang luasnya sekitar 2 kilometer persegi digenangi air laut setinggi betis. Memang, dalam hitungan jam air surut kembali. Tapi air laut yang asin mencemari air tawar di sumur-sumur masyarakat hingga menjadi payau dan tidak bisa diminum lagi.

Penduduk Friwen harus mengandalkan air minum air kemasan, yang harus dibeli jauh dari Waisai, ibu kota Raja Ampat. Ongkos transpor laut sangat mahal hanya untuk membeli air galon.

Air laut asin ini juga merusak tanaman pekarangan perempuan. Beberapa orang yang mengelola penginapan untuk wisata juga harus menaikkan tiang pancang supaya rumah-rumah singgah tak terendam. Yang paling membuat sedih adalah ada pulau di Raja Ampat yang sudah hilang dari peta, yakni Pulau Kri Kecil dan Kri Besar. Dua pulau ini dulu merupakan tempat transit untuk kami yang harus berlalu-lalang antar pulau.

“Jadi perubahan iklim ini berdampak nyata bagi kami di sini,” kata Steve.

Salah satu pendebat Ulil adalah Budhy Munawar Rachman. Saya mendapat tulisan Budhy yang menarik dengan awal tulisan menanggapi Ulil memakai paragraf ini:

"Ulil kelihatannya skeptis terhadap adanya perubahan iklim, yang perlu penanganan segera dan urgen. Menanggapi Ulil, saya ingin menambahkan kritik dengan pertanyaan sederhana: “seberapa jauhkah kita bisa percaya pada perubahan iklim?" 

Tentang isu tambang, saya sudah menulis artikel saat mencuat isu kasus korupsi tambang timah yang merugikan lingkungan Rp 271 triliun. Saya memulai tulisan dengan menggunakan konsep "kutukan sumber daya alam" dari Richard Auty. Auty menulis buku Sustaining Development in Mineral Economies: the Resource Curse Thesis, yang terbit pada 1993. Auty mengkritik negara-negara yang memiliki sumber daya alam berlimpah gagal memanfaatkan kekayaan alam itu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Para ahli kemudian mendalami isu ini untuk mengulik apakah pengelolaan sumber daya alam di suatu tempat menjadi berkah atau kutukan. Ini misalnya dilakukan Jeffrey Sachs.

Saya pun teringat puluhan tahun lalu, antara tahun 2000-2002, ketika mengikuti pelatihan intensif di program Leadership for Environment and Development (LEAD) dan menjadi tertarik pada tesis Auty. Bertahun-tahun kemudian tesis itu makin nyata terjadi di Indonesia. Saya, seperti halnya banyak kawan, menyimpulkan bahwa hingga kini pengelolaan tambang di Indonesia persis seperti apa yang disebut Auty. Ia kutukan, bukan berkah.

Karena ulasan Budhy dan Ulil menyinggung banyak soal perubahan iklim, saya ingin kembali menunjukkan bahwa sumber daya alam kita berubah menjadi kutukan karena salah pengelolaan.

Pertama, terkait krisis iklim (bukan lagi hanya perubahan iklim). Studi para ahli dunia menunjukkan batu bara merupakan penyumbang utama dan terbesar penyumbang gas rumah kaca yang mengotori atmosfer kita. Polusi itu membuat kemampuan atmosfer menyerap gas rumah kaca kian tumpul. Akibatnya, panas dan emisi kembali memantul ke bumi menaikkan suhu pelan-pelan.

Masalahnya, kita menjadi tergantung kepada bahan bakar fosil karena telat memproduksi energi terbarukan sama massalnya dengan energi fosil. Krisis iklim hanya akibat. Dampaknya sudah dirasakan masyarakat seperti penduduk Kampung Friwen di Raja Ampat. 

Jadi, seharusnya sudah tak ada debat lagi bahwa batu bara membahayakan. Karena itu, "selemah-lemahnya iman" adalah meninggalkannya, bukan menambah dan meluaskan eksploitasinya.

Bukan hanya soal krisis iklim. Dari segi ekonomi, data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada 2019 menyebutkan bahwa wilayah tambang batu bara yang luas di Sumatera Selatan dan Kalimantan tak membuat tingkat kemiskinan dan pengangguran masyarakat sekitarnya hilang. Sebaliknya, 80 persen wilayah tambang di Indonesia rentan mengalami kerawanan pangan. Kemiskinan pun terjadi di wilayah-wilayah tersebut. Anugerah batu bara hanya dinikmati segelintir pengusaha, sementara dampaknya dirasakan oleh seluruh umat manusia. 

Arundhati Roy tentang mencegah pemanasan global

Bahaya emisi karbon dari penggunaan energi berbasis fosil, pemerintah Indonesia mulai melakukan langkah-langkah untuk beralih ke energi yang lebih aman. Pemerintah Indonesia sudah meningkatkan target komposisi Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) dalam bauran energi.

Masyarakat juga berikhtiar agar krisis iklim tak makin berdampak ke mana-mana. Hari ini saya melihat upaya rehabilitasi mangrove di beberapa pulau-pulau di Kabupaten Raja Ampat oleh masyarakat setempat. Mereka percaya bahwa menyayangi mangrove akan menyelamatkan mereka dari dampak buruk perubahan iklim.

"Hutan adalah ibu, laut adalah bapak dan pesisir adalah anak, yang mengajarkan keturunan kami untuk melindungi alam secara keseluruhan". Demikian yang saya baca di papan yang dipancang di depan pelabuhan Waisai, ibukota Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya.

Menanam serta menjaga pepohonan secara ilmiah terbukti mengurangi emisi karbon. Sebab pohon menyerapnya. Ketika bumi kehilangan pohon akibat hutannya ditambang, bumi jadi kehilangan penyerap emisi. Ketika tak terserap di sini, ia berubah menjadi gas rumah kaca yang menguap ke atmosfer, merusak, dan mengakibatkan pemanasan global. 

Menjelang magrib saya dan beberapa kawan dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) kembali ke penginapan di Waisai. Saya merenung: di ujung sini masyarakat begitu gigih menyayangi bumi dengan cara yang bijaksana, bersatu dengan alam dan menyayanginya. Sementara nun jauh di sana, di pusat ibu kota, segelintir orang mati-matian membela batu bara, yang terbukti telah merusak bumi dan menimbulkan berbagai dampak lainnya.

Ikuti percakapan tentang krisis iklim di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Board Kawal Borneo Community Foundation dan anggota The Climate Reality Leaders of Indonesia.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain