DALAM empat bulan pertama perang Israel-Palestina, total kerugian akibat kerusakan infrastruktur senilai US$ 18,5 miliar atau Rp 296 triliun. Ratusan ribu bangunan rusak parah dan lebih dari 30.000 orang tewas. Seperti umumnya perang, konflik Israel-Palestina juga menimbulkan “dosa lingkungan” yang besar berupa emisi karbon.
Riset dari lembaga penelitian di Amerika Serikat dan Inggris menyebutkan emisi perang Israel-Palestina sebanyak 420.265 hingga 652.552 ton emisi setara karbon dioksida (CO2). Produksi emisi karbon itu setara dengan pembakaran lebih dari 1,5 juta barel minyak, melebihi emisi tahunan 26 negara, dengan Israel bertanggung jawab atas 90% di antaranya.
Angka tersebut masih belum memperhitungkan emisi dari kerusakan bangunan dan emisi yang dihasilkan dari rekonstruksi Gaza. Jika hal itu masuk, emisi yang dihasilkan akan melonjak drastis menjadi lebih dari 61 juta ton, lebih banyak daripada produksi emisi tahunan 135 negara.
Jika dirinci, emisi yang dihasilkan bahan bakar Israel selama perang antara 261.800 hingga 372.480 ton setara CO2, setara emisi tahunan Kepulauan Solomon. Emisi karbon dari bom yang dijatuhkan di Gaza oleh pasukan Israel antara Oktober 2023 sampai Februari 2024 setara dengan emisi karbon yang dihasilkan untuk menghidupi 100.000 rumah selama satu tahun.
Serangan Israel yang telah merusak dan menghancurkan infrastruktur Gaza, juga menyebabkan aliran listrik terbatas. Sebelumnya, 25% listrik Gaza berasal dari panel surya. Karena konflik, Gaza harus bergantung pada generator diesel yang menghasilkan emisi 58.000 ton setara CO2. Kerusakan bangunan dan rekonstruksi Gaza di masa depan akan menghasilkan emisi antara 46,8 juta hingga 60 juta ton setara CO2.
Jalur Gaza dihuni 2,05 juta orang. Suhu di wilayah ini meningkat 20% lebih cepat dibanding dengan kenaikan suhu rata-rata dunia di era krisis iklim. Dengan 85% penduduk mengungsi akibat perang, mereka yang masih tinggal di Gaza terjepit antara konflik dan krisis iklim.
Tak hanya perkara emisi karbon, cadangan air Gaza juga ikut berkurang. Sebanyak 90% air Gaza berasal dari air tanah di sebuah akuifer yang membentang dari Mediterania Timur di Mesir hingga Gaza. Perang telah membuat akuifer tersebut terkontaminasi air laut, limbah, dan bahan kimia. Akibatnya, produksi air di Gaza tinggal 5%. Artinya, orang yang hidup di Gaza hanya mengonsumsi 3 liter air per hari untuk minum, memasak, dan mandi.
Sejak perang Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina, tuntutan membuka data emisi karbon dari aktivitas militer semakin kencang. Sayangnya, di bawah Perjanjian Paris, laporan emisi militer kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tak bersifat wajib.
Faktanya, hanya empat negara yang melaporkan data emisi militer kepada UNFCCC. Para ahli memperkirakan emisi militer menyumbang 5,5% dari total emisi karbon global, lebih besar dibanding bidang penerbangan (3%) dan pelayaran (2%).
Ikuti percakapan tentang emisi karbon di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :