PENIKMAT bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi harus mengencangkan ikat pinggang untuk menghemat pengeluaran. Pemerintah hendak mengendalikan dan mengetatkan konsumsi BBM untuk menekan subsidi energi. Bukan hanya BBM bersubsidi, seperti solar dan pertalite, gas elpiji 3 kilogram juga akan dibatasi.
Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan mengatakan kebijakan tersebut akan diberlakukan pada 17 Agustus 2024. Upaya ke arah sana sudah dilakukan, yakni pembelian BBM bersubsidi harus mendaftar via aplikasi My Pertamina. Bahkan membeli gas 3 kilogram pun harus menunjukkan KTP.
Pemerintah berdalih penikmat subsidi BBM bersubsidi selama ini adalah masyarakat yang secara ekonomi mampu. Pengurangan konsumsi BBM itu juga diarahkan untuk mengurangi polusi. Pemerintah tampaknya rungsing oleh melambungnya anggaran subsidi energi di APBN 2024.
Saat ini alokasi anggaran untuk subsidi energi pada 2024 mencapai Rp 186,9 triliun, dengan rincian Rp 113,3 triliun untuk subsidi BBM dan gas elpiji 3 kg, dan subsidi listrik sebesar Rp 73,6 triliun. Angka ini naik dari semula Rp 159,6 triliun pada 2023, dan lebih tinggi dari target yang ditetapkan sebesar Rp 145,3 triliun. Nilai subsidi tersebut belum termasuk dana kompensasi untuk jenis BBM pertalite. Jika harga jual BBM pertalite lebih rendah dibanding harga keekonomiannya, pemerintah harus memasok dana kompensasi kepada Pertamina.
Boleh jadi pengendalian BBM bersubsidi punya rasionalitas yang baik. Tapi bagaimana kita memaknai dan menyikapi subsidi energi, khususnya subsidi BBM, dalam konteks normatif, sosial ekonomi, kebijakan energi, konteks politik, perspektif lingkungan, hingga daya beli masyarakat?
Jika merujuk regulasi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 menyebutkan subsidi energi adalah hak kelompok masyarakat yang tidak mampu. Mereka yang berhak atas subsidi energi (BBM, listrik, dan gas elpiji) adalah masyarakat miskin. Untuk energi listrik, golongan masyarakat tidak mampu adalah konsumen listrik kategori 450-900 volt ampere (VA). Konsumen 450 VA mendapat subsidi penuh sejak 2002. Sedangkah subsidi listrik untuk golongan 900 VA terpilih.
Karena tingginya salah sasaran pada pengguna gas 3 kilogram, pemerintah mengerucutkan penerima yang boleh dan tidak boleh menggunakannya. Menurut Keputusan Menteri Eenergi dan Sumber Daya Mineral Nomor 37.KIM.01/MEM.MI/2023 secara tegas menyebutkan bahwa kelompok yang boleh menggunakan gas elpiji 3 kilogram adalah rumah tangga prasejahtera, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah, nelayan sasaran, dan petani sasarannya.
Kelompok yang tidak boleh menggunakan gas elpiji 3 kilogram adalah hotel, restoran, usaha binatu, usaha peternakan, usaha pertanian, usaha tani tembakau, usaha jasa las, berbagai usaha skala besar, dan terakhir adalah rumah tangga sejahtera, alias rumah tangga mampu.
Masalahnya, siapakah sebenarnya penikmat subsidi BBM ini sehingga pemerintah hendak membatasinya?
Berbagai riset menunjukkan 70 persen pertalite pemilik mobil pribadi, dan sisanya pengguna sepeda motor, yang jumlahnya mencapai sekitar 132 juta. Menurut Data Terpadu Kemiskinan Sosial masyarakat tidak mampu jumlahnya berkisar 25,22 juta. Memang ada kelompok masyarakat yang rentan miskin, yang jumlahnya mencapai 62 juta.
Dengan demikian, secara konteks sosial-ekonomi maupun normatif, pengguna mobil pribadi jelas tidak termasuk kategori masyarakat miskin dan masyarakat rentan miskin. Khusus pengguna sepeda motor, memang sekitar 10-15% adalah berpendapatan rendah alias masyarakat rentan miskin. Kajian Bank Dunia pada 2022 menunjukkan 70% lebih subsidi BBM dinikmati kelompok masyarakat menengah dan mampu. Sedangkan subsidi gas elpiji, 29-30% dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah dan mampu.
Salah kaprah subsidi juga bisa dilihat secara ekologis. BBM adalah produk energi fosil yang banyak menghasilkan jejak karbon atau emisi gas buang. Semakin rendah kualitasnya semakin tinggi emisi gas buangnya. Masalahnya, lebih dari 75% BBM yang kita gunakan masih Euro 2. Artinya, BBM yang kita gunakan menghasilkan emisi gas buang secara signifikan. Pertalite belum memenuhi standar Euro 2, karena level oktannya hanya 90, begitu juga solar angka cetan hanya 50.
Untuk memenuhi Euro 2, minimal nilai oktan jenis gasolin sebesar 92, untuk jenis diesel/solar angka cetan minimal 51. Di wilayah ASEAN, jenis BBM sudah mencapai standar Euro 4, di Eropa Euro 6. Betapa tertinggalnya kualitas BBM di Indonesia. Demikian juga untuk pembangkit listrik yang digunakan untuk memasok listrik PT Perusahaan Listrik Negara, mayoritas juga masih berbasis batu bara.
Salah kaprah berikutnya dari perspektif politik. Sejak Orde Baru, secara riil subsidi BBM jadi instrumen politik untuk menjaga stabilitas politik. Bukan hanya oleh kalangan eksekutif, juga legislatif plus para politisi di partai politik.
Karena sandera politik itu pemerintah tak melakukan kajian kebijakan agar subsidi energi tepat sasaran. Di Afrika Sekatan, untuk rumah tangga miskin energi listriknya gratis, tapi pemakaiannya dibatasi 30 kWh per bulan, yang cukup untuk kebutuhan energi listrik dasar. Jika pemakaian melebihi kuota itu, rumah tangga membayar selisihnya sesuai nilai keekonomian.
Perilaku konsumsi masyarakat rumah tangga miskin di Indonesia, menunjukkan anomali. Misalnya, kegandrungan rumah tangga miskin dalam konsumsi pulsa seluler. Menurut survei AC Nielsen beberapa tahun lalu, rumah tangga miskin rela mengurangi alokasi belanja bahan pokok untuk alokasi pulsa.
Yang lebih ekstrem, rumah tangga miskin kecanduan rokok. Dalam berbagai survei ekonomi, sosial dan kesehatan, termasuk data BPS, rumah tangga miskin mengalokasikan anggaran tujuh kali lebih tinggi untuk membeli rokok dibanding untuk belanja lauk-pauk. Rilis BPS edisi Juli 2024 menunjukkan konsumsi rokok menduduki peringkat kedua setelah beras, baik di masyarakat miskin perkotaan yang konsumsi rokoknya 11,56 persen, maupun masyarakat miskin perdesaan yang konsumsi rokoknya 10,9 persen.
Merujuk perilaku konsumsi itu, kelompok rumah tangga seharusnya dikaji ulang dalam alokasi subsidi energi, subsidi pendidikan, dan jaminan kesehatan nasional. Bisa saja pemerintah mensyaratkan bahwa subsidi energi, khususnya listrik dan gas elpiji 3 kilogram, diberikan pada rumah tangga miskin yang tidak merokok. Atau jika terbukti dalam rumah tangga miskin itu ada yang merokok satu bungkus sehari, subsidi energi dan peserta JKN gratis dicabut.
Memang ini anjuran ekstrem, dan mungkin bisa dituding sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Tapi jika dilakukan sinergis, serius dan berkelanjutan, manfaatnya akan lebih bermakna. termasuk mendorong pengentasan stunting lebih cepat. Sebab 21,11% pemicu utama prevalensi stunting adalah gizi buruk, kemiskinan, dan buruknya sanitasi rumah tangga.
Memang, akan lebih adil, jika mengaitkan subsidi energi dengan konsumsi rokok dibarengi dengan pengendalian konsumsi rokok di sisi hilir. Misalnya, larangan penjualan rokok secara ketengan, seperti gagasan Presiden Jokowi. Dari sisi akses dan daya beli, masih tingginya pola konsumsi rokok di rumah tangga miskin salah satunya faktor penjualan rokok secara ketengan.
Jika harga per 1 bungkus rokok Rp 10.000, maka dalam 30 hari penduduk miskin menghabiskan uang Rp 30 ribu. Nilai uang setara dengan nilai pembayaran tagihan listrik 450 VA selama enam bulan.
Maka subsidi energi menunjukkan persoalan serius dan akut, baik dari sisi ekonomi dan sosial, maupun perspektif ekologis. Beberapa kajian yang bisa mengurai masalah utama salah kaprah subsidi energi:
Pertama, mekanisme pemberian subsidi energi. Target subsidi energi mesti jelas by name by address. Target penerima subsidi BBM adalah masyarakat miskin. Subsidi mesti diubah dari subsidi pada barang menjadi subsidi pada orang. Subsidi pada barang jelas dinikmati pengguna kendaraan pribadi hanya akan menghasilkan emisi karbon.
Kedua, kuota penggunaan barang terkena subsidi, seperti di Afrika Selatan, dengan listrik gratis asal tidak melebihi 30 kWh per bulan. Dengan kuota ini pemerintah telah mengedukasi masyarakat agar menghemat pemakaian listrik sehingga menekan pula jejak karbon.
Dan ketiga, kajian dari perspektif ekologis. Jika merujuk pada tujuan pemerintah mencapai karbon netral dengan transisi sumber energi dari fosil ke terbarukan, subsidi energi mestinya ditujukan kepada pemakaian energi hijau seperti surya, air, angin, biomassa.
Subsidi pada energi fosil, seperti BBM seperti saat ini, bertentangan secara diametral dengan upaya mencegah pemanasan global. Apalagi, jika subsidi energi diberikan kepada rumah tangga miskin yang teradiksi rokok. Subsidi semacam itu adalah paradoks secara sosial, ekonomi, dan ekologi.
Ikuti percakapan tentang subsidi energi di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pegiat perlindungan konsumen dan lingkungan hidup, anggota Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI), pendiri dan pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, dan Ketua Pengurus Harian YLKI, 2015-2025
Topik :