PEMERINTAH berencana membangun 2 juta hektare perkebunan tebu di wilayah timur Papua. Mega proyek ini merupakan bagian dari proyek food estate yang dicanangkan Presiden Joko Widodo pada 2020. Lumbung pangan tebu untuk menghentikan impor gula dan mengembangkan bioetanol yang berasal dari tebu sebagai bahan bakar bersih pengganti fosil.
Jokowi menunjuk Menteri Investasi Bahlil Lahadalia memimpin mega proyek ini. Salah satu tugasnya adalah mengalokasikan lahan untuk proyek ini. Sebagai tahap awal, pemerintah akan menata ulang 419.000 hektare kawasan hutan menjadi kawasan nonhutan. Sehingga memungkinkan hutan tersebut untuk digunduli secara legal.
Selain lahan, satgas yang dipimpin Bahlil akan menyederhanakan proses perizinan bagi perusahaan yang berminat untuk berkontribusi dalam mega proyek tebu ini. Saat ini, sudah ada beberapa konsorsium, yang terdiri dari perusahaan Indonesia dan asing, yang pasti berpartisipasi dalam proyek senilai 130 triliun rupiah ini. Mulai dari peran sebagai perkebunan tebu, pembangunan pabrik, hingga pembangkit listrik untuk mendukung proyek ini.
Penebangan hutan berskala besar untuk perkebunan tebu akan mengorbankan habitat satwa liar dan keanekaragaman hayati unik yang ada di Papua. Apalagi, hutan hujan Papua adalah salah satu yang paling kaya di dunia. Sedikitnya lebih dari 20.000 jenis tanaman, 602 jenis burung, 125 jenis mamalia, dan 223 jenis reptil.
Belum lagi dampak terhadap masyarakat adat Papua. Sebagian besar mereka masih bergantung pada hutan yang ada di sekitar mereka.
Dengan pendampingan pasukan keamanan, beberapa perusahaan dalam konsorsium telah berdiskusi dan bernegosiasi dengan masyarakat adat terkait proses pembebasan lahan pada 2023.
Pemerintah menyatakan pengembangan proyek ini akan memastikan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Termasuk hak atas informasi di awal tanpa paksaan atau Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dan kompensasi yang adil.
Bahlil menjanjikan masyarakat akan mendapatkan keuntungan dari perkebunan melalui skema bagi hasil yang dikenal sebagai plasma. Seperlima area perkebunan, kata dia, akan dialokasikan untuk petani kecil. Para petani akan mendapat pelatihan dan dukungan dari perusahaan perkebunan dengan membeli hasil panen mereka dengan harga yang kompetitif.
Liputan investigasi dari Mongabay, BBC, dan The Gecko Project di 2022, skema plasma, yang banyak digunakan oleh perusahaan kelapa sawit yang membelenggu masyarakat lokal. Petani kecil justru kehilangan ratusan juta rupiah setiap tahunnya karena produsen tidak mematuhi skema plasma. Sehingga petani tak mendapat keuntungan, tapi justru terjerat hutang.
Proyek serupa juga pernah dilakukan pada 2011 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lewat proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Proyek perkebunan padi dan tebu itu untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
Nyatanya, konsesi berubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan kayu pulp untuk tujuan ekspor. Dalam prosesnya, perusahaan banyak mengakuisisi petak tanah adat tanpa mematuhi FPIC dan tanpa kompensasi memadai kepada masyarakat. Pada akhirnya, proyek tersebut dianggap sebagai perampasan hak masyarakat berkedok kepentingan nasional.
Ikuti percakapan tentang food estate di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :