SALAH satu sektor paling banyak memiliki target serapan emisi dalam mitigasi perubahan iklim adalah sektor kehutanan. Jika tak ada upaya mitigasi, sektor kehutanan menjadi penyumbang gas rumah kaca terbesar pada 2030.
Dalam Konferensi Iklim ke-27 (COP27) di Mesir, pemerintah menaikkan target penyerapan emisi sektor kehutanan dari 17,2% dalam skenario 29% menjadi 17,4% dalam skenario 31,89%. Semua rasio itu mengacu pada produksi emisi tanpa mitigasi sebesar 2,87 miliar ton setara CO2 pada 2030.
Program andalannya adalah forest and other land use atau FOLU net sink atau emisi negatif sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Meski begitu, total luas deforestasi malah naik dari 325.000 hektare dalam skenario 29% naik menjadi 359.000 hektare pada skenario 31,89%.
Menurut Dodik Ridho Nurrochmat, guru besar ekonomi kehutanan IPB University, target penyerapan emisi 140 juta ton setara CO2 sektor kehutanan bisa tercapai hanya dari serapan emisi di perhutanan sosial. “Kalau hanya sebesar itu, perhutanan sosial sudah lebih dari cukup,” katanya dalam seminar Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 20245 di Bogor.
Pernyataan Dodik merujuk pada perhitungan serapan emisi karbon oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pada Mei lalu, KLHK merilis serapan emisi karbon selama lima tahun, 2016-2021, di areal seluas 4,6 juta hektare sebanyak 31,9 juta ton setara CO2. Artinya, jika pemerintah bisa mendistribusikan akses mengelola hutan ke masyarakat sesuai target seluas 12,7 juta hektare, target FOLU net sink terlampaui.
Dalam perhitungan terbaru, angkanya juga lebih tinggi. Dalam skema sebelumnya tutupan hutan perhutanan sosial hanya dibagi dua jenis: hutan dan nonhutan. Dalam perhitungan terbaru, peneliti KLHK membagikan ke dalam empat jenis: hutan primer, hutan sekunder, kegiatan masyarakat, dan nonhutan.
Luas perhutanan sosial juga memakai data terbaru seluas 5,1 juta hektare. Hasilnya, stok karbon hutan di seluruh area perhutanan sosial sebanyak 16,9 juta ton. Dengan formula 44/12 nilai masa karbon dan oksigen, angka tersebut menghasilkan 61,9 juta ton setara CO2. Artinya, jika seluruh target perhutanan sosial tercapai, serapan emisi gas rumah kaca perhutanan sosial mencapai 154,14 juta ton setara CO2.
Capaian ini bisa membuka peluang perdagangan karbon melalui dana donor internasional lewat mekanisme pembayaran berbasis hasil atau result based payment. Lembaga-lembaga internasional, sesuai Perjanjian Paris, berjanji membantu negara berkembang seperti Indonesia menurunkan emisinya melalui skema perdagangan karbon.
Untuk menampung penyaluran uang mitigasi iklim itu, pemerintah telah membentuk lembaga di bawah Kementerian Keuangan yang diberi nama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
Harga karbon hutan Indonesia berkisar US$ 5-6 per ton. Artinya, potensi perdagangan karbon area perhutanan sosial sebanyak US$ 309 juta atau Rp 4,8 triliun. Uang sebanyak ini bisa dipakai mendorong pemberdayaan petani hutan agar lebih mandiri dalam mengelola hasil usaha perhutanan sosial mereka.
Ikuti percakapan tentang perhutanan sosial di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :