Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 16 Agustus 2024

Macan Tutul Jawa Memicu Kenaikan Biodiversitas di Sekitarnya

Semakin banyak populasi macan tutul jawa, keanekaragaman hayati makin melimpah. Begitu juga sebaliknya.

macan tutul jawa (foto: A-Z animals)

MACAN tutul jawa adalah predator kucing besar yang tersisa di Pulau Jawa. Di tengah pembangunan dan pesatnya perkembangan manusia di pulau terpadat di Indonesia ini, keberadaan predator itu makin tersudutkan. Padahal, keberadaan macan tutul jawa adalah kunci bagi satwa liar lainnya. Sebab berdasarkan studi, dimana macan tutul jawa berada, disitu keberadaan satwa liar makin tinggi.

Studi yang dipublikasikan di jurnal Global Ecology and Conservation menunjukkan lebih banyak macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di suatu habitat, kekayaan dan kelimpahan satwa lain di habitat tersebut juga meningkat. Sedangkan jika makin sedikit jumlah macan tutul jawa, keberadaan satwa liar lain juga menurun. Kesimpulan itu ditarik setelah para peneliti menganalisis 7.461 foto yang diambil oleh kamera jebak selama hampir 13.000 hari. Terhitung sejak 2020 hingga 2022 di empat taman nasional Jawa, yakni Meru Betiri, Alas Purwo, Ujung Kulon, dan Gunung Gede Pangrango.

Konstruksi Kayu

Peneliti menemukan bahwa Taman Nasional Meru Betiri, yang mewakili hutan hujan montana Jawa-Bali, memiliki keanekaragaman hayati tertinggi yang ditopang oleh jumlah macan tutul jawa yang cukup banyak. Sementara Taman Nasional Alas Purwo dan Ujung Kulon memiliki keanekaragaman spesies sedikit lebih rendah dibanding Meru Betiri. Adapun Taman Nasional Gunung Gede Pangrango memiliki keanekaragaman spesies yang relatif lebih rendah dibanding lainnya. Hal ini sejalan dimana di taman nasional tersebut keberadaan macan tutul jawa relatif lebih sedikit.

Kurang lebih ada 10 spesies yang kehadirannya punya korelasi kuat dengan macan tutul jawa. Mereka adalah kijang (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus scrofa), unggas hutan (Gallus spp.), ajak (Cuon alpinus), banteng (Bos javanicus), rusa jawa (Rusa timorensis), pelanduk jawa (Tragulus javanicus), lutung jawa (Trachypithecus auratus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), dan badak jawa (Rhinoceros sondaicus).

Beberapa diantaranya adalah mangsa utama macan tutul jawa. Dengan mengetahui spesies mana yang memiliki korelasi dengan macan tutul jawa, maka dapat membantu manajer atau pelaku konservasi untuk membuat rencana konservasi macan tutul jawa yang lebih komprehensif. Salah satunya dengan melindungi dan meningkatkan keberadaan kesepuluh spesies yang berkorelasi kuat dengan macan tutul jawa.

Apalagi, keberadaan macan tutul jawa tengah berada di ujung tanduk. Ia telah lama masuk dalam daftar terancam punah IUCN, dengan populasi yang tinggal 350 ekor. Ia adalah predator teratas terakhir di Jawa, setelah kepunahan harimau jawa (Panthera tigris sondaica).

Namun, bukan hal mudah bagi macan tutul jawa untuk bertahan. Ia harus bertahan hidup di tengah ancaman aktivitas manusia, perburuan, habitat yang makin menyempit, dan mangsa yang makin sedikit. Dalam sebuah studi, diperhitungkan bahwa pada tahun 2000, ada 2.481 kilometer persegi habitat yang cocok untuk macan tutul jawa.

Namun pada 2020, angka tersebut menyusut lebih dari 40%. Menjadi hanya 1.430 kilometer persegi. Jika dibandingkan, hanya sekitar 9% lahan di Pulau Jawa yang cocok untuk tempat tinggal macan tutul jawa, setengahnya ada di daerah yang tak terlindungi.

Pemutakhiran data populasi macan tutul jawa juga menjadi agenda penting. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah bekerja sama dengan Yayasan Sintas Indonesia untuk melakukan survei populasi yang bertajuk Java-Wide Leopard Survey (JWLS) di lebih dari 20 bentang alam di Jawa. 

Sebenarnya, ada 29 bentang alam di Pulau Jawa yang diprediksi menjadi habitat alami macan tutul jawa. Namun, JWLS hanya akan dilakukan di 22 bentang alam, mengingat tujuh bentang alam lain sudah dilakukan survei.

Sebanyak 22 bentang alam tersebut yakni di Rawa Danau, Gunung Kencana, Halimun-Salak, Cikepuh, Gunung Simpang, Gunung Burangrang, Gunung Papandayan, Gunung Masigit, Gunung Sawal, Cimanintin, Gunung Ciremai, Pasir Panjang, Gunung Slamet, Panusupan, Sindoro-Dieng, Merapi Merbabu, Grojogan Sewu, Arjono-Wilis, Raden Suryo, Bromo-Tengger-Semeru, Dataran Tinggi Yang, dan Gunung Raung.

Hasil survei JWLS akan menjadi bahan bagi banyak penyusunan kebijakan dan rencana. Bukan hanya bagi KLHK dalam menyusun dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) macan tutul jawa, tapi juga di level pemerintah provinsi dan daerah dalam menyusun RTRW wilayahnya. Dengan menggabungkan hasil survey dan semua studi yang ada, maka akan melahirkan kebijakan dan strategi yang lebih holistik dan komprehensif.

Ikuti kabar terbaru tentang macan tutul di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain