Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 20 Agustus 2024

Gambut Bekas Terbakar Berubah Jadi Kebun Sawit

Rawa gambut yang telah terbakar banyak dialihkan menjadi perkebunan monokultur. Gambut makin rentan.

Sawit di bekas lahan gambut terbakar (foto: Mongabay)

INDONESIA menjadi negara tropis dengan ekosistem gambut tropis terluas di dunia, dengan luas 24,6 juta hektare di 865 Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). Masalahnya, hanya 16% saja area gambut yang masih dalam kondisi baik. Sisanya, 84% berada dalam kondisi rusak atau rentan rusak.

Temuan Pantau Gambut berjudul Gelisah di Lahan Basah menunjukkan banyak lahan gambut bekas terbakar justru jadi perkebunan monokultur, seperti kelapa sawit dan akasia.

Konstruksi Kayu

Kajian Pantau Gambut menelisik KHG di tujuh provinsi: Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Papua Barat. Pengamatan tersebut dilakukan selama Desember 2023 hingga Maret 2024, dengan fokus di dua area pemantauan, yakni area konsesi dan non-konsesi yang jadi tanggung jawab pemerintah.

Dari 289 titik sampel area gambut yang pernah terbakar di area non-konsesi, 54% area telah berubah menjadi perkebunan monokultur dan 41% dibiarkan menjadi semak belukar. Area yang berubah menjadi perkebunan monokultur didominasi oleh kelapa sawit (91%) dan sisanya adalah karet, akasia, dan jenis lainnya. Hanya 3% yang tumbuh menjadi hutan.

Sedangkan untuk di daerah konsesi, dari 240 titik sampel gambut yang pernah terbakar, 48% area berubah menjadi perkebunan monokultur dan 50% menjadi semak belukar. Serupa dengan area non-konsesi, kebanyakan telah diubah menjadi sawit (47%), akasia (38%), dan jenis lain seperti eukaliptus dan karet. Hanya 1% yang tumbuh menjadi hutan kembali.

Menurut Pasal 14 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No P.16 Tahun 2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut, seluruh area gambut yang pernah terbakar seharusnya ditanami kembali dengan jenis tanaman asli atau tanaman ramah gambut. Adapun sawit dan akasia bukan jenis asli gambut dan tak bisa tumbuh di lahan basah.

Begitu juga dengan semak belukar, baik di area konsesi dan non-konsesi. Area yang dipenuhi semak belukar, menurut aturan itu, harusnya dipulihkan dan dikembalikan menjadi hutan. Kemunculan semak belukar di area KHG setelah kebakaran menjadi tanda bahwa ekosistem gambut telah terdegradasi.

Jika dibiarkan menjadi semak belukar, area itu berpotensi menjadi bahan bakar yang mudah menyulut dan menyebarkan api dengan cepat, terutama saat musim kemarau, saat kondisi kering. Walhasil, hal itu membuka potensi pembukaan lahan baru yang dilakukan secara ilegal dan melahirkan perkebunan monokultur baru.

Hal ini makin diperkuat dengan keberadaan kanal di KHG yang diamati peneliti Pantau Gambut. Dari 289 titik sampel di nonkonsesi, 54% sudah memiliki kanal dan pengeringan. Sedangkan di area konsesi, 49% dari 240 titik sampel sudah memiliki kanal.

Kanal menjadi medium utama mengeringkan lahan gambut. Sehingga, gambut menjadi ekosistem kering yang bisa ditanami oleh jenis nonendemik, seperti sawit, akasia, karet, dan eukaliptus.

Sekat kanal yang berfungsi menahan air dan menjaga gambut tetap dalam kondisi basah juga mengkhawatirkan. Pantauan Pantau Gambut menemukan 70% dari 77 sekat kanal di area nonkonsesi ditemukan rusak. Artinya, sekat kanal tersebut tidak dipantau dan dirawat oleh pemerintah.

Kualitas gambut yang telah direstorasi juga tak memiliki tinggi muka air tanah (TMAT) di bawah standar atau melebihi 40 sentimeter. Tinggi muka air tanah yang tak memenuhi standar menandakan bahwa area gambut dalam kondisi kering dan rentan terbakar.

Sebelumnya, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong membanggakan capaian restorasi gambut pemerintah dan konsesi yang mencapai 5,6 juta hektare. Luas itu terdiri dari 3,9 juta hektare di kawasan konsesi, 53.000 hektare di lahan masyarakat, dan sisanya di lahan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Dalam event Internasional seperti Committee on Forestry (COFO), Indonesia juga selalu membanggakan dan berkomitmen untuk meningkatkan pemulihan ekosistem gambut.

Ikuti percakapan tentang gambut di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain