Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 27 Oktober 2024

Bisakah Geoengineering Jadi Solusi Krisis Iklim?

Geoengineering bisa jadi solusi cepat atasi krisis iklim, tapi ada konsekuensinya. Apa itu?

Geoengineering mengurangi efek pemanasan di Bumi (foto: New Scientist)

DAMPAK krisis iklim makin nyata. Tahun lalu, rekor suhu mencapai rekor baru dalam sejarah. Geoengineering mungkin bisa menjadi solusi mencegah dampak krisis iklim berupa kenaikan suhu bumi.

Geoengineering adalah teknik intervensi radikal yang dirancang untuk memodifikasi sistem iklim bumi. Salah satu idenya adalah dengan memantulkan radiasi matahari atau sinar matahari kembali ke luar angkasa, seperti meletakkan cermin besar di atmosfer. Dengan begitu, panas matahari yang terserap dan bersirkulasi di bumi bisa berkurang.

Mungkin kedengarannya seperti fiksi ilmiah. Namun, ide geoengineering datang dari alam. Tepatnya saat erupsi gunung berapi terjadi. Sejumlah besar abu dan aerosol, partikel-partikel kecil, terbang ke atmosfer dan memantulkan radiasi matahari kembali ke angkasa. Contohnya erupsi Gunung Pinatubo dan Krakatau, salah dua letusan terbesar dalam sejarah, yang akibat letusannya mampu menurunkan suhu bumi hingga 0,6o C selama beberapa tahun.

Bagaimana geoengineering bekerja? Ada dua metode yang tengah naik daun, pertama adalah Marine Cloud Brightening (MCB) dan Stratospheric Aerosol injection (SAI).

Marine cloud brightening adalah menyemprotkan aerosol atau partikel kecil garam laut ke dalam awan-awan yang ada di atas laut. Partikel tersebut bisa membuat awan lebih terang, sehingga memantulkan lebih banyak sinar matahari kembali ke angkasa.

Adapun SAI dengan cara menerbangkan pesawat di atas 20.000 meter dari permukaan laut dan menyemprotkan aerosol seperti sulfur dioksida ke atmosfer. Aerosol yang disemprotkan akan memantulkan sebagian radiasi matahari menyebabkan radiasi yang mencapai permukaan bumi berkurang dan menurunkan suhu global. 

Dalam studi yang diterbitkan JGR Atmospheres pada 2023, geoengineering bisa memperlambat pencairan lapisan es di Antartika barat. Mencairnya es di Antartika barat berperan menaikkan permukaan air laut setinggi 3,3 hingga 4,3 meter. Akan banyak pulau dan daerah pesisir yang tenggelam jika itu terjadi. Dan 40% manusia akan mengungsi ke tempat yang lebih tinggi.

Secara teori, geoengineering, baik MCB ataupun SAI, akan menurunkan suhu global, layaknya letusan Pinatubo dan Krakatau. Penurunan suhu global akan menghindarkan kita dari gelombang panas, mencegah kebakaran hutan, memperlambat penggurunan, dan mencegah kekeringan. Pada akhirnya, teknik tersebut akan banyak menyelamatkan nyawa manusia.

Memang, geoengineering, khususnya SAI, tidak murah. Berdasarkan perhitungan, SAI akan membutuhkan biaya sebesar US$ 2,25 miliar per tahun selama 15 tahun. Namun, biaya tersebut masih jauh lebih murah dibanding kerugian yang diakibatkan oleh perubahan iklim di masa depan. Kerugian akibat krisis iklim diperkirakan mencapai US$ 19-59 triliun per tahun pada 2050.

Geoengineering memang terdengar sebagai solusi yang menjanjikan. Namun di platform X, dulu Twitter, 70% cuitan tentang geoengineering bernada negatif. 

Dalam sebuah pemodelan, injeksi aerosol ke atmosfer dapat menyebabkan pemanasan yang kuat di wilayah tropis dan menyebabkan anomali pola cuaca. Geoengineering juga berpotensi merusak lapisan ozon dan meningkatkan intensitas hujan asam. Belum lagi potensi terhadap kesehatan manusia dan keanekaragaman hayati yang masih abu-abu.

Bagaimanapun, atmosfer adalah sesuatu yang luas dan kompleks. Merekayasa satu bagian atmosfer akan menimbulkan efek kupu-kupu ke bagian dunia lainnya.

Implementasi dan dampak jangka panjang dari geoengineering memang masih perlu dikaji. Beberapa negara dan lembaga penelitian telah berinvestasi ratusan juta dolar AS untuk mengkaji geoengineering lebih jauh, dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan.

Ikuti percakapan tentang geoengineering di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain