Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 31 Oktober 2024

Krisis Iklim Memicu Penyebaran Patogen Lewat Makanan

Makanan terkontaminasi patogen menyebabkan 420.000 kematian tiap tahun. Krisis iklim memperparah.

Makanan dapat jadi vektor penyakit (foto: Unsplash.com/Lisheng Chang)

KRISIS iklim mengancam kesehatan manusia. Salah satunya memicu distribusi dan penyebaran patogen. Menurut studi di jurnal Nature, krisis iklim membuat patogen semakin mudah menyebar lewat makanan dan sumber air yang kita konsumsi.

Makanan yang terkontaminasi dan mengandung patogen memang bukan isu baru. World Health Organization (WHO) memperkirakan 1 dari 10 orang sakit setiap tahun karena mengkonsumsi makanan terkontaminasi. Makanan terkontaminasi bertanggung jawab terhadap kematian 420.000 jiwa setiap tahun.

Konstruksi Kayu

Perhitungan World Bank menunjukkan dampak makanan terkontaminasi merugikan negara berpenghasilan menengah dan rendah sebesar US$ 110 miliar dalam bentuk hilangnya produktivitas dan biaya pengobatan setiap tahun.

Perubahan iklim juga membuat patogen menciptakan lingkungan yang memudahkan patogen untuk bertahan hidup dan menyebar lewat makanan. Beberapa patogen yang umum menyebar lewat makanan adalah Campylobacter jejuni, Clostridium perfringens, Escherichia coli, Salmonella spp., dan Staphylococcus aureus yang menyebabkan penyakit pencernaan seperti diare, nyeri perut, hingga perut kram.

Suhu yang lebih tinggi dan perubahan pola curah hujan akibat perubahan iklim telah menciptakan kondisi ideal bagi kebanyakan patogen. Patogen Salmonella, E.Coli, dan C. jejuni mampu berkembang dengan subur di lingkungan yang hangat dan lembab. Suhu yang hangat membuat metabolisme patogen makin cepat, membuat mereka tumbuh dan berkembang biak lebih cepat. Krisis iklim bisa memicu kasus Salmonella meningkat 9,3-16,9% hingga 2080.

Pemanasan laut dan curah hujan tinggi juga membuat salinitas daerah pesisir berkurang. Hal tersebut akan menguntungkan Vibrio vulnificus dan Vibrio cholera, yang berpotensi memunculkan wabah vibriosis dan kolera.

Perubahan iklim juga mendorong kemungkinan banjir lebih besar di beberapa tempat. Banjir dapat membuat penyebaran patogen makin mudah lewat infeksi ke lahan pertanian, peternakan, dan sumber air. Hal ini sudah terjadi di India, Brazil, Bangladesh, Mozambik, dan bahkan Amerika Serikat.

WHO juga memperkirakan perubahan iklim akan memberi tambahan 48.000 kematian pada anak di bawah 15 tahun akibat diare. Asia dan Afrika akan jadi dua wilayah yang paling terdampak. Khususnya di wilayah Afrika sub-Shara dan Asia Tenggara.

Saat ini, Afrika berkontribusi terhadap 91 juta kasus penyakit dan 137.000 kematian akibat kontaminasi makanan. Angka tersebut seperempat dari kasus yang terjadi di seluruh dunia. Diare menyumbang 70% dari seluruh kasus penyakit yang terjadi di dataran Afrika.

Di Indonesia, 10-22 juta orang terkan diare setiap tahun akibat makanan dan air yang terkontaminasi patogen. Akibatnya, Indonesia diperkirakan rugi Rp 70-250 triliun tiap tahun akibat makanan yang tidak aman. Pada sebuah survei Kementerian Kesehatan pada 2020, ditemukan bahwa dari 448 pasar tradisional di 28 provinsi, hanya 10% yang memenuhi standar kesehatan dan sanitasi. Tempat yang tak higienis tentu akan meningkatkan resiko kontaminasi makanan.

Ikuti percakapan tentan krisis iklim di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain