SETELAH meluncurkan omnibus law kesehatan, yakni Undang Undang Nomor 17/2023, pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 28/2024 tentang kesehatan. PP Kesehatan ini, yang di dalamnya mengatur pengenaan cukai rokok, cukai MBDK atau minuman berpemanis dalam kemasan, dan cukai GGL (makanan-minuman yang mengandung gula, garam, dan lemak tinggi), juga bisa dilihat dari perspektif perlindungan lingkungan.
Perlu waktu hampir setahun untuk membahas dan mengesahkan PP tersebut. Sebagaimana UU Kesehatan, pembahasan PP Kesehatan tak luput dengan dinamika dan hiruk pikuk, plus memicu kontroversi. PP 28/2024 juga omnibus law, terdiri dari 1.172 pasal dan kompilasi puluhan peraturan pemerintah dan peraturan presiden.
Ada beberapa isu krusial yang memicu kontroversi, yakni pengendalian tembakau, pengendalian GGL (gula, garam, lemak), dan larangan iklan dan promosi susu formula. Juga penggunaan alat kontrasepsi untuk remaja yang bisa memicu seks bebas. Legalisasi keberadaan dokter asing juga menjadi sorotan. Juga cukai untuk makanan olahan.
Kebijakan cukai pada makanan olahan secara eksplisit diatur dalam Pasal 194 ayat 4, yang menyebutkan, "Selain penetapan batas maksimum kandungan gula, garam dan lemak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah pusat dapat menetapkan pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal ini memandatkan dua hal terhadap makanan olahan, yakni pengaturan batas maksimal kandungan garam, gula dan lemak (lazim disebut GGL), plus pengenaan cukai.
Dua kebijakan itu bisa berjalan paralel. Namun, untuk cukai, diksi atau frasa yang dipakai adalah “dapat”, yang bisa dimaknai sebagai kebijakan yang masih opsional. Terlepas dari itu, apa urgensi cukai pada makanan olahan atau pada komoditas tertentu?
Merujuk UU 39/2007, ada tiga komoditas barang yang dikenai cukai, yakni hasil tembakau, minuman mengandung alkohol, dan etil alkohol. Barang kena cukai, menurut UU Cukai, adalah barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, dan pemakaiannya menimbulkan dampak negatif, baik bagi penggunanya, orang lain, atau bahkan lingkungan.
BACA: Benarkah Rokok Merusak LIngkungan
Jika merujuk pada kriteria itu, makanan olahan yang mengandung garam dan lemak belum urgen dikenakan cukai. Karena itu makanan olahan mengandung GGL berlebih perlu dibatasi saja kandungannya, bukan dengan cukai yang akan memicu serangkaian dampak kepada industri kecil.
Ide Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin terhadap makanan yang mengandung GGL layak diapresiasi, yakni label. Masalahnya, label pangan kurang dibaca oleh konsumen. Hanya sekitar 13 persen konsumen yang membaca label pangan, karena bentuknya tidak informatif: hurufnya kecil, teknis, bahasa yang sulit dipahami. Karena itu label dengan penanda khusus, seperti warna tertentu, lebih mungkin berguna.
Warna label mengandung GGL mirip dengan peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok sebesar 50 persen dari kemasan, seperti kini diatur PP Kesehatan. Dengan informasi yang mencolok tersebut, konsumen akan terpapar peringatan akan dampak produk rokok. Sama halnya dengan dampak minuman berpemanis yang bisa memicu ragam penyakit.
Ada beberapa alasan krusial, pengenaan cukai minuman berpemans. Pertama, konsumsi gula penduduk Indonesia yang lebih dari 50 gram sehari, tertinggi di nomor 3 di ASEAN, naik 15 kali lipat dalam dua dekade terakhir.
Kedua, konsumsi MBDK berkontribusi signifikan pada peningkatan berat badan yang berujung pada obesitas dan prevalensi penyakit tidak menular; seperti stroke, jantung koroner, diabetes melitus, kanker, dan juga gagal ginjal. Saat ini sudah 49 negara yang menerapkan cukai MBDK, rata-rata 20% dari harga dasar, dan diperkirakan bisa menurunkan konsumsi sebesar 24 persen.
Menurut survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia pada Juni 2023 di 10 kota di Indonesia, dukungan publik terhadap pengenaan cukai MBDK cukup signifikan, yakni 58 persen. Pemerintahan Presiden Jokowi belum menerapakannya dan mendelegasikannya ke pemerintahan baru Prabowo Subianto. Di banyak negara, komoditas barang yang dikenai cukai mencapai 7-12 komoditas.
Berkaca dari cukai rokok, produk tembakau ini tak hanya merusak kesehatan, bagi penghisap maupun perokok pasif di sekitarnya, juga memberikan eksternalitas negatif bagi lingkungan. Puntung rokok dan bungkusnya mengandung limbah berbahaya dan beracun yang relevan dengan PP 22/2021 tentang penyelenggaraan lingkungan hidup.
Zat berbahaya dalam puntung rokok antara lain nikotin, benzena, butana, butanol formaldegide, kadmium, metanol dan fenol. Praktiknya, puntung rokok masih dianggap limbah biasa sehingga tak ada pengenaan tanggung jawab dari produsen rokok.
Satu sampah puntung rokok mengeluarkan sekitar tujuh ribuan bahan kimia, logam berat dengan kadar tinggi dan melepas mikroplastik ke laut. Bahkan kandungan sisa nikotin pada puntung rokok juga bisa memabukkan bahkan membunuh ikan dalam waktu empat hari. Laporan United Nations Development Programme (2017) menunjukkan sebanyak 4,5 triliun puntung rokok atau sekitar 766 juta ton sampah beracun berakhir di laut. Di Indonesia, konsumsi tembakau mencapai 322 miliar batang pada 2020 yang menghasilkan sekitar 107,3 ton sampah puntung rokok.
BACA: Rokok dalam Paradigma Konsumsi Berkelanjutan
Maka pengenaan cukai tidak serta merta untuk pengendalian konsumsi, juga untuk melindungi dan menjaga lingkungan hidup. Bekas kemasan botol MBDK, berdampak serius terhadap polusi tanah, air sungai, danau, dan tentunya lautan.
Maka keliru jika cukai dijadikan instrumen untuk menaikkan pendapatan negara. Cukai dikenakan pada barang abnormal dan sifatnya sebagai sin tax, pajak dosa. Oleh sebab itu, rencana pengenaan cukai MBDK, mestinya lebih dominan aspek pengendalian konsumsinya dibanding pendapatannya. Aspek finansial hanya efek samping dari pengenaan cukai.
Cukai juga mesti memiliki dimensi pengendalian sampah untuk melindungi lingkungan. Oleh karena itu, dana cukai tak hanya untuk mengendalikan dan melindungi aspek kesehatan, juga untuk kegiatan perlindungan lingkungan, dari hulu sampai hilir.
Ikuti percakapan tentang perlindungan lingkungan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pegiat perlindungan konsumen dan lingkungan hidup, anggota Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI), pendiri dan pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, dan Ketua Pengurus Harian YLKI, 2015-2025
Topik :