SALAH satu cara untuk mengetahui sejauh mana konsistensi sebuah negara menjalankan sebuah kebijakan, termasuk transisi energi, adalah dengan memperhatikan pernyataan-pernyataan para pemimpinya. Pidato presiden adalah salah satu pernyataan politik yang bisa jadi parameter arah kebijakan sebuah negara.
Untuk mengetahui arah kebijakan transisi energi di Indonesia kita bisa memperhatikan pidato Presiden Joko Widodo. Salah satu pidato yang dapat menjadi tolak ukur itu adalah pidato Presiden Jokowi menjelang hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79.
“Kita terus konsisten mengambil bagian dalam langkah dunia melakukan transisi energi secara hati-hati dan bertahap,” kata Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan dalam rangka HUT ke-79 Republik Indonesia. “Transisi energi yang ingin kita wujudkan adalah transisi energi yang berkeadilan, yang terjangkau dan mudah diakses oleh masyarakat”.
Sekilas pidato Presiden Jokowi di akhir masa jabatannya itu menunjukkan bahwa pemerintahannya selama 10 tahun benar-benar telah konsisten melakukan transisi energi berkeadilan. Benarkah?
Salah satu peninggalan Presiden Jokowi terkait transisi energi adalah skema pendanaan JETP (Just Energy Transition Partnership) yang diluncurkan di sela-sela KTT G20 di Bali pada 2022. Di berbagai acara nasional dan internasional, keberhasilan dalam menggalang dana internasional untuk membiayai transisi energi itu selalu dibangga-banggakan. Tapi jika ditelisik lebih jauh lagi, sebenarnya sejak dari awal Presiden Jokowi setengah hati dalam menjalankan transisi energi, termasuk transisi energi dalam skema JETP.
Hampir bersamaan dengan peluncuran JETP, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Sekilas dari judul Perpres 112 itu menunjukkan komitmen pemerintah untuk pengembangan energi terbarukan, namun jika ditelisik lebih jauh lagi peraturan presiden itu bisa ditafsirkan sebagai payung hukum bagi kelanjutan bisnis batubara melalui Captive Power, atau Pembangkit Terintegrasi (PPUs) di kawasan industri.
Dengan kata lain, melalui Prepres 112 tahun 2022 itu, skema JETP dikunci untuk tidak menyentuh PPUs dalam transisi energi. Seperti gayung bersambut, dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP yang diluncurkan di November 2023 lalu juga tidak memperhitungkan sama sekali PPUs itu. Apakah kebijakan yang mengunci JETP untuk tidak menyentuh PPUs itu dapat dikatakan sebagai bentuk kehati-hatian dan konsistensi dalam menjalankan transisi energi?
Dalam pidato Presiden Jokowi menjalang HUT ke-79 RI juga disebutkan bahwa transisi energi berkeadilan adalah transisi yang menghasilkan energi terbarukan dengan harga terjangkau dan mudah diakses oleh masyarakat. Untuk melihat konsistensi pemerintahan Presiden Jokowi selama 10 tahun menghadirkan energi terbarukan yang terjangkau dan mudah diakses itu kita bisa melihat ulang CIPP JETP, skema pendanaan transisi energi yang dibangga-banggakan Presiden Jokowi.
Logika sederhana agar energi terbarukan itu ternjangkau dan mudah diakses masyarakat adalah sumber pembangkitannya harus dekat dengan masyarakat. Tapi apa yang terjadi di CIPP JETP? Dalam dokumen CIPP JETP tidak satupun rencana investasi yang diarahkan untuk membiayai pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas. CIPP JETP justru mengarahkan investasinya ke pengembangan energi terbarukan berskala besar.
Penelitian Celios dan 350.org Indonesia, berjudul Dampak Ekonomi dan Peluang Pembiayaan Energi Terbarukan Berbasis Komunitas menunjukkan, jika 50% dana JETP yang sebesar US$20 miliar dialokasikan untuk mengembangkan energi terbarukan skala komunitas maka dapat menghasilkan kapasitas 2,18 GW. Artinya pembangkit energi terbarukan berbasis komunitas setidaknya mampu menggantikan 3,3 unit PLTU setara Cirebon-1 yang memiliki kapasitas 660 MW. Bukan hanya itu, energi terbarukan berbasis komunitas juga mampu menciptakan kontribusi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar Rp10.529 triliun selama 25 tahun.
Pertanyaannya kenapa CIPP JETP, yang dibuat di era Presiden Jokowi, justru memilih mengembangkan energi terbarukan skala besar bukan energi terbarukan berbasis komunitas?
Penyebabnya jelas, paradigma sentralisasi energi masih kuat bercokol di benak para pengambil kebijakan di negeri ini. Padahal sentralisasi energi adalah penyebab utama harga energi menjadi mahal dan sulit diakses masyarakat.
Pilihan skema pendanaan JETP untuk membiayai energi terbarukan skala besar juga didasari pada struktur pembiayaan JETP yang berbasis utang luar negeri. Pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas, meskipun akan menghasilkan energi yang lebih mudah diakses dan harganya terjangkau bagi masyarakat, tidak dianggap menguntungkan oleh negara-negara kaya dan lembaga bisnis bantuan internasional yang menjadi donor JETP.
Apakah skema pendanaan JETP yang didominasi utang merupakan perwujudan dari transisi energi berkeadilan?
Donor dari skema JETP ingin uang pinjaman mereka kembali secara berlipat ganda. Pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas meskipun juga bisa menguntungkan tapi menurut pandangan mereka jelas tidak sebesar bila mendanai energi terbarukan skala besar seperti geotermal. Apakah fokus JETP yang lebih memilih mendanai energi terbarukan skala besar itu termasuk dalam kategori kehati-hatian?
Puncak inkonsistensi pemerintahan Presiden Jokowi dalam transisi energi adalah membagi-bagi konsesi tambang batubara pada dua organisasi massa Islam, Nahdlatul Ulama (NU) Muhammadiyah. Apakah Presiden Jokowi tidak memahami bahwa persoalan batu bara bukan hanya di sekitar area pertambangan tapi juga pembakaran batu bara yang menyebabkan kenaikan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), penyebab krisis iklim?
Keterlibatan NU dan Muhammadiyah dalam bisnis energi kotor batubara juga akan berdampak pada gerakan lingkungan hidup di Indonesia yang menyuarakan transisi energi. Gerakan lingkungan hidup akan dibenturkan dengan NU dan Muhammadiyah. Sebagai pemain bisnis energi kotor, NU dan Muhammadiyah tentu tidak ingin terjadi transisi energi di Indonesia berjalan mulus, karena transisi energi hanya akan berpotensi mengganggu bisnisnya.
Benturan ini akan memperlemah gerakan lingkungan hidup yang menyuarakan pentingnya penanganan krisis iklim, termasuk transisi energi di Indonesia.
Inkonsistensi akut Presiden Jokowi dalam transisi energi ini tampaknya juga akan dilanjutkan oleh Presiden Indonesia terpilih Prabowo Subianto. Ia selalu menegaskan bahwa pemerintahannya akan melanjutkan kebijakan Presiden Jokowi, tak terkecuali kebijakan energi yang menyesatkan itu.
Publik tentu saja harus terus bersuara mengingatkan pemerintah agar komitmen-komitmen transisi energi tidak berhenti pada jargon dan pidato. Publik perlu mewaspadai manuver elite bisnis dan politik yang ingin menghambat bahkan menghentikan transisi energi dengan serangkaian solusi palsunya.
Ikuti percakapan tentang transisi energi di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Indonesia Team Lead Interim, 350.org Indonesia
Topik :