PEMBANGUNAN infrastruktur di Indonesia menjadi tulang punggung kebijakan pemerintah Presiden Joko Widodo. Salah satunya jalan tol. Hingga 2023 dan semester pertama 2024, telah terbangun jalan tol sepanjang 2.816 kilometer di 73 ruas, terbentang di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali.
Seiring kebutuhan masyarakat dan dinamika eksternal berupa pembangunan hijau, untuk mengawal keandalan pelayanan jalan tol tidak cukup mengandalkan instrumen standar pelayanan minimal. Oleh sebab itu, sejak 2020 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat meluncurkan kebijakan Jalan Tol Berkelanjutan (JTB).
Dari sisi manajemen transportasi, jalan tol secara fungsional untuk melancarkan arus transportasi, mempermudah konektivitas dan memudahkan mobilitas. Sehingga jalan tol semacam menjadi karpet merah bagi penggunaan kendaraan pribadi. Namun tak bisa dimungkiri bahwa pembangunan jalan tol memunyai dampak eksternalitas negatif bagi lingkungan, sosial, ekonomi, dan bahkan budaya. Dan oleh karena itu, spirit jalan tol berkelanjutan adalah untuk mengendalikan dampak pembangunan jalan tol tersebut.
Aspek lingkungan: Kementerian PUPR mendorong agar jalan tol sebisa mungkin mereduksi produksi dan distribusi emisi gas karbon. Untuk itu, penanaman pohon di sepanjang tol dan di area Tempat Istirahat dan Pelayanan (rest area) menjadi penting. Jadi penanaman pohon bukan semata aspek keindahan (estetika), kesejukan, dan kesegaran; juga instrumen menyerap gas karbon (emisi) yang dihasilkan oleh kendaraan tersebut.
Agar fungsi penyerapan karbon itu optimal, pemilihan jenis pohon di sekitar jalan tol dan di rest area, juga tak kalah penting. Sebagai contoh, pohon trembesi adalah jenis pohon yang paling tinggi kemampuannya menyerap gas karbon. Meskipun, dalam praktiknya, peluang penyerapan emisi ini menjadi celah “greenwashing” oleh industri rokok dengan menanam 162.011 pohon sepanjang jalan Trans Sumatera, Trans Jawa, Lombok, dan Madura.
Aspek sosial-ekonomi. Benar bahwa jalan tol punya dampak positif terhadap sektor perekonomian, aspek sosial dan pertanian. Dengan jalan tol, pergerakan masyarakat lebih masif dan cepat, sehingga memicu pertumbuhan ekonomi, misalnya di sektor pariwisata, kuliner, dan pertanian. Namun tak bisa dimungkiri pula, pembangunan jalan tol bisa memicu distorsi di bidang ekonomi dan sosial bagi lingkungan sekitar jalan tol.
Oleh karena itu, jalan tol harus punya peran untuk mereduksi dampak sosial-ekonomi pada masyarakat di sekitar jalan tol, yang notabene tidak menangguk manfaat langsung keberadaan jalan tol tersebut. Dari sisi ekonomi hal ini sudah terwadahi di dalam Peraturan Menteri Nomor 28/2021 tentang Tempat Istirahat dan Pelayanan, bahwa TIP harus mengakomodasi keberadaan usaha kecil dan menengah sebesar 30%.
Aspek budaya. Jalan tol juga mesti mewadahi kegiatan-kegiatan masyarakat yang berdimensi kesenian dan kebudayaan. Secara mikro hal ini sudah dilakukan oleh BUJT, khususnya untuk tol antar kota. Di rest area mereka acap kali menggelar pentas musik (band lokal), atau bahkan pentas wayang kulit, seperti di rest area Pendopo, di ruas tol Semarang Solo. Ruas tol Cipali, yang dikelola oleh Astra Infra, juga ada panggung seni untuk pentas musik. Demikian juga di ruas tol Cipularang di km 88 milik PT Jasa Marga, juga menyediakan pentas band di rest areanya.
Aspek keberlanjutan di jalan tol juga berdimensi inklusivitas, artinya jalan tol yang mempunyai concern terhadap gender, dan juga penyandang difabilitas (diffable), khususnya di tempat istirahat dan pelayanan (rest area). Perspektif gender memang lebih fokus pada aspek keperempuanan, misalnya adanya ruang untuk ibu menyusui, atau juga toilet perempuan yang jumlahnya lebih banyak.
Isu jalan tol berkelanjutan juga erat kaitannya dengan efisiensi dalam penggunaan energi di ruas jalan tersebut. Di jalan tol Bali, di gerbangnya sudah menerapkan listrik panel surya untuk keperluan energi listrik. Yang lebih asyik lagi adalah ruas tol Solo Ngawi, yang dikelola Astra Infra, selain menerapkan panel surya, juga menerapkan panel surya untuk mobil patrolinya.
Hal yang tak boleh dilupakan, bahkan urgen, bagaimana pengelola jalan tol mereduksi kecelakaan. Data menunjukkan tingkat kecelakaan di jalan tol di Indonesia masih tinggi. Lebih dari 70% dipicu oleh faktor manusia (human factor), seperti kelelahan, mengantuk, dan melanggar aturan. Bahkan sering kita dengar kecelakaan massal yang merenggut korban jiwa di jalan tol Cipali atau ruas Semarang-Solo.
Menurut kajian Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), pemicu kecelakaan di jalan tol adalah perbedaan kecepatan antar kendaraan. KNKT merekomendasikan speed gap maksimal adalah 30%, sedangkan saat ini speed gap sekitar 70%.
Dimensi tol berkelanjutan kini bukan hanya bersifat sukarela saja, tapi wajib bagi semua badan usaha jalan tol. Sebab, jalan tol merupakan infrastruktur yang menghasilkan emisi gas buang yang berkontribusi terhadap polusi udara, polusi suara, bahkan memakan lahan produktif pertanian. Oleh karena itu operator jalan tol harus berupaya menekan emisi di ruas jalan tol tersebut.
Instrumen sertifikasi green toll road dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, adalah hal yang positif. Manajemen operator jalan tol perlu lebih mendorong terwujudnya jalan tol berkelanjutan, yang salah satunya dengan cara tidak bekerja sama dengan industri rokok, baik untuk penghijauan maupun tidak memasang iklan rokok di sepanjang jalan tol atau di area istirahat.
Ikuti percakapan tentang jalan tol berkelanjutan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pegiat perlindungan konsumen dan lingkungan hidup, anggota Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI), pendiri dan pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, dan Ketua Pengurus Harian YLKI, 2015-2025
Topik :