KETIKA matahari terbit, pepohonan dan tumbuhan hijau mulai menyerap karbon, mengkonversinya jadi oksigen, lalu menyimpannya. Saat matahari terbenam, plankton di laut mulai naik ke permukaan, menyerap karbon dari atmosfer dan menyimpannya di dasar lautan. Siklus tersebut terus berulang untuk menjaga keseimbangan iklim bumi.
Penyerapan karbon oleh hutan, laut, tanah, dan komponen alam lainnya adalah proses alami yang telah berjalan selama miliaran tahun. Jika digabung, laut, hutan, tanah, dan macam penyerap karbon alami lain berperan menyerap lebih dari setengah emisi karbon yang dihasilkan oleh manusia.
Dengan bumi yang terus memanas, penyerapan karbon dari alam mulai terganggu. Sebuah studi menunjukkan di tahun 2023, tahun terpanas dalam sejarah manusia, serapan karbon bersih dari tanah dan hutan hampir mendekati nol. Artinya, emisi karbon yang dikeluarkan dari tanah dan hutan hampir setara dengan yang karbon yang diserap oleh mereka! Yang mana hal tersebut belum pernah terjadi sebelumnya.
Serapan CO2 bersih di daratan hanya sebesar 0,44 ± 0,21 miliar ton, terendah dalam 20 tahun terakhir. Kemampuan hutan di seluruh dunia menyerap karbon turun secara signifikan.
Kehilangan karbon terbesar terjadi di hutan Amazon. Kekeringan pada paruh kedua 2023, yang disebabkan oleh El Niño membuat hutan di Amerika selatan itu kehilangan 0,31 ± 0,19 miliar ton. Lembah di hutan Amazon kekeringan hingga sungai-sungai tak lagi dialiri air, ditambah lagi dengan deforestasi dan ekspansi perkebunan turut mendorong hilangnya karbon di Amazon.
Hutan boreal, tempat sepertiga karbon daratan tersimpan, juga mengalami penurunan serapan karbon cukup tajam. Hutan yang membentang dari Rusia, negara-negara Skandinavia, Kanada, hingga Alaska, terserang wabah kumbang. Kemunculan wabah tersebut terkait dengan krisis iklim.
Hutan di Asia Tenggara juga bernasib serupa. Ekspansi pertanian, perkebunan, dan penebangan hutan masih jadi isu utama yang menyebabkan serapan karbon menurun. Emisi dari tanah diperkirakan akan meningkat 40% pada akhir abad ini.
Namun, tak semua semua hutan mengalami hal serupa. Hutan tropis cekungan Kongo masih dalam kondisi stabil, walau diterpa kondisi ekstrem.
Lautan masih jadi penyerap karbon utama di bumi dengan sekitar 2,3 peta miliar ton karbon per tahun (1 peta setara 1.000.000 miliar ton). Akibat pemanasan global, daya serap karbon lautan juga terlihat menurun.
Gletser di Greenland dan es di Arktik mencair lebih cepat. Kejadian itu akan mengganggu arus laut Gulf Stream, mengganggu sirkulasi vertikal alga, dan pada akhirnya akan memperlambat laju penyerapan karbon di lautan.
Mencapai target net zero emission adalah hal yang hampir mustahil tanpa bantuan alam. Hutan, tanah, lautan, rawa gambut, dan penyerap alami lainnya adalah pilihan penyerap emisi karbon skala besar yang ekonomis. Setidaknya 118 negara, termasuk Indonesia, bergantung pada alam untuk memenuhi target pengurangan emisi.
Ikuti percakapan tentang karbon hutan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :