AKHIR Oktober lalu, pemerintah dari berbagai negara bertemu di Cali, Kolombia, dalam konferensi keanekaragaman hayati atau UN Biodiversity Conference atau Conference of the Parties Convention on Biodiversity (COP CBD). Dalam acara tersebut, negara-negara membahas cara mencapai target penting melindungi biodiversitas. Salah satunya adalah menghapus sistem subsidi yang disebut perverse subsidies atau subsidi yang menyimpang.
Apa itu subsidi yang menyimpang? Subsidi yang menyimpang adalah subsidi yang memberikan dampak buruk terhadap lingkungan dan ekonomi dalam jangka panjang. Biasanya, sektor-sektor subsidi utama yang dimaksud adalah sektor bahan bakar fosil, penyebab melonjaknya emisi karbon yang memicu krisis iklim.
Setiap tahun, negara kaya, pemberi pinjaman besar, dan institusi besar mengalokasikan US$ 1,7 triliun dalam bentuk subsidi terhadap aktivitas yang merusak alam. Sementara itu, hanya seperempat dari jumlah tersebut yang digunakan untuk melestarikan alam. Itu artinya, pendanaan untuk merusak alam masih lebih besar daripada pendanaan untuk memperbaikinya.
Tak heran jika emisi gas rumah kaca global terus melonjak, mencapai rekor 57 miliar ton tahun lalu menurut laporan U.N Emission Gap Report pada 2024. Pada laporan tersebut bumi diprediksi akan memanas sekitar 2,6o Celsius pada akhir abad ini, bahkan bisa lebih cepat dari yang diperkirakan atau lebih parah dari perkiraan.
Kini, kita sudah merasakan dampak dari perubahan iklim. Kedepan, dengan melonjaknya suhu bumi, kita akan menghadapi bencana iklim yang lebih parah. Lebih parah dari kekeringan di Amazon, lebih parah dari badai Milton yang baru saja terjadi, dan lebih parah dari kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia tahun lalu.
Dalam U.N Biodiversity Conference, para pemangku kebijakan dari berbagai negara duduk bersama untuk mengembangkan strategi konkret untuk menghindari subsidi yang menyimpang tersebut. Sebenarnya, hal tersebut telah menjadi salah satu target dari Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework, sebuah perjanjian yang telah disetujui oleh 196 negara untuk mengakhiri kerusakan alam di 2030.
Salah satu targetnya adalah mengurangi insentif dan subsidi yang merusak keanekaragaman hayati, salah satunya adalah subsidi yang menyimpang. Caranya adalah menghapus, mengurangi, atau mengalihkan subsidi bernilai US$ 500 miliar per tahun dari yang sebelumnya digunakan untuk aktivitas merusak lingkungan, menjadi subsidi untuk pelestarian alam.
Subsidi yang menyimpang tak hanya mengalir ke bahan bakar fosil saja, juga ke industri pertanian (US$ 350 miliar), kehutanan (US$ 155 miliar) dan perikanan (US$ 50 miliar). Di bidang pertanian, subsidi sering digunakan untuk membeli pupuk berbasis petrokimia yang merusak tanah dan serangga. Di kehutanan, subsidi terus mengalir ke perusahaan biomassa hutan yang mengubah hutan alami jadi pelet kayu untuk dibakar.
Konferensi yang dihadiri oleh lebih dari 23.000 orang tersebut sepakat untuk mengambil aksi tegas dan komitmen untuk mengakhiri subsidi yang menyimpang tersebut. Tanpa alam dan keanekaragaman hayati, semua kekayaan manusia yang dibangun di atas Bumi akan sia-sia. Tanpa alam, uang yang ada di setiap saku kita akan tidak berarti.
Suara lantang dan komitmen tegas telah diutarakan oleh setiap negara untuk melindungi keanekaragaman hayati dan alam. Jadi, apakah ada kemajuan berarti dalam pendanaan untuk pelestarian alam?
Sayangnya, kemajuan tak begitu terlihat. Pada konferensi di 2022, berbagai negara telah berkomitmen untuk mengumpulkan dana $200 miliar per tahun pada tahun 2030, termasuk US$ 20 miliar yang akan diberikan negara maju kepada negara berkembang di tahun 2025. Namun, hal ini urung terjadi dan nampaknya tidak akan terjadi, mengingat 2025 tinggal tersisa dua bulan.
Rasanya, jika melihat hari ini dan ke belakang, banyak target yang rasanya urung tercapai. Kita tampaknya tidak akan mencapai target limitasi kenaikan suhu 1,5oC. Kita juga tampaknya tak mencapai target penghentian kerusakan alam di 2030. Dan mungkin masih banyak target yang belum, atau bahkan tidak akan tercapai tepat pada waktunya.
Ikuti percakapan tentang keanekaragaman hayati di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :