Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 11 November 2024

Energi Biomassa: Solusi atau Delusi Energi Terbarukan?

Klaim biomassa adalah energi terbarukan dan netral karbon masih dipertanyakan. Apa yang salah?

Kayu sebagai energi biomassa (foto: Unsplash.com)

KAYU adalah bahan baku energi utama manusia. Setidaknya sampai tahun 1800-an, kayu menjadi bahan bakar penting sebelum manusia menemukan batu bara dan energi fosil lain. Namun kini, di tengah maraknya transisi energi, kayu kembali muncul sebagai solusi energi terbarukan yang menjanjikan. Pertanyaannya, apakah benar begitu?

Energi biomassa, termasuk kayu, dianggap sebagai energi terbarukan dan netral karbon. Emisi pembakaran kayu bisa terserap kembali oleh pohon yang belum ditebang.

Logika itu tidak salah. Tapi, siklus karbon bukan hal yang sederhana. Pohon memang menyerap karbon, tapi butuh bertahun-tahun agar bisa mengimbangi karbon yang dilepaskan. Belum lagi, faktor seperti aktivitas pemanenan, transportasi, efektivitas boiler pembangkit listrik, dan lainnya juga berperan dalam berapa banyak emisi yang dihasilkan.

Membakar kayu untuk energi juga tidak efisien. Aktivitas tersebut melepaskan lebih banyak karbon dioksida per unit energi daripada batu bara atau gas, berdasarkan sebuah studi. Bahkan, beberapa uji emisi cerobong asap menunjukkan bahwa pembakaran kayu menghasilkan emisi karbon 2,5 lebih tinggi daripada gas alam dan 30% lebih tinggi dari batu bara.

Tak heran jika banyak ilmuwan yang masih ragu terhadap kemampuan biomassa sebagai energi terbarukan dan hijau. Lebih dari 800 ilmuwan juga pernah mengirimkan surat terbuka kepada Uni Eropa untuk meninjau ulang kebijakan dan penggunaan biomassa sebagai energi.

Selain soal emisi karbon, banyak ilmuwan dan pemerhati lingkungan yang prihatin terhadap dampak lain dari energi biomassa. Salah satunya adalah deforestasi. Semakin banyak pembangkit listrik tenaga biomassa, maka semakin banyak kayu yang dibutuhkan. Artinya, semakin banyak pohon yang ditebang dan semakin banyak lahan yang dibutuhkan untuk menumbuhkan hutan tanaman energi. Yang mana bisa saja pada akhirnya mengorbankan hutan alami.

Belum lagi soal polusi dari pembakaran biomassa. Menurut laporan Environmental Integrity Project, telah ditemukan bahwa pembakaran biomassa mengeluarkan polutan berbahaya seperti partikel udara, PM2.5, dan senyawa organik yang mudah menguap. Bertambahnya polutan berbahaya di udara dan hilangnya pohon membuat masyarakat di sekitarnya rentan terhadap penyakit pernapasan.

Pembangunan fasilitas energi biomassa juga tidak adil. Dari laporan Dogwood Alliance, 50% fasilitas biomassa dibangun di daerah pinggiran yang tingkat kemiskinan penduduknya berada di atas rata-rata.

Dengan berbagai pertimbangan tersebut, biomassa tetap jadi energi yang terus menanjak popularitasnya. Setiap tahun, ada lebih dari 46 juta ton pelet kayu dan 1,9 miliar m3 bahan bakar kayu diproduksi di seluruh dunia. Dan jumlah tersebut terus meningkat.

Indonesia sendiri telah terjun ke energi biomassa lewat program co-firing. Hingga 2025, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) akan menerapkan co-firing di 52 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Co-firing tersebut akan menghasilkan listrik 12,71 terawatt jam (TWh) dan menurunkan emisi setara 11,58 CO2.

Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar, dibutuhkan biomassa dalam jumlah banyak. Laporan Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat pembangunan hutan tanaman energi (HTE) telah merusak hutan alam seluas 55.000 hektare dan ada 420.000 hektare lagi hutan alam yang berpotensi mengalami deforestasi demi kepentingan hutan tanaman energi.

Saat ini, luas potensi HTE di Indonesia sekitar 1,29 juta hektare. Ada 31 unit usaha yang berkomitmen mengembangkan HTE dan bienergi. FWI memproyeksikan ada sekitar 4,65 juta hektare hutan alam yang akan musnah akibat pembangunan hutan tanaman. Hal tersebut akan membahayakan keberadaan satwa kunci, seperti orangutan. Juga membahayakan masyarakat sekitar.

Ikuti percakapan tentang transisi energi di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain