PERTENGAHAN September lalu, saya dan beberapa teman di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mengunjungi Kota Ternate, Maluku Utara. Terbang ke Kota Ternate serasa terbang keluar negeri. Lepas landing pukul 01.30 WIB dari bandar udara Soekarno Hatta, kami mendarat di bandara Sultan Baabullah pukul 07.20 WIT. Padahal, lama penerbangan hanya 3,5 jam.
Dari Kota Ternate kami ke Halmahera Utara di Pulau Halmahera. Untuk mencapainya, kami berlayar dari Pelabuhan Ternate menuju Pelabuhan Sofifi di Kota Tidore selama 1,5 jam.
Secara umum, Pelabuhan Ternate cukup baik, walau terkesan kumuh. Di sana sini terlihat bekas botol air minum dalam kemasan (AMDK). Dan juga bekas botol Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK). Rupanya MBDK bukan hanya menjadi ancaman kesehatan bagi konsumennya, juga ancaman serius bagi biota laut.
Kapal ferry secara umum juga cukup bagus, baik dari kondisi fisiknya, maupun perlengkapan pendukungnya, seperti sekoci, jaket pelampung, musala, dan penandaan di dalam kapal. Udara pendingin (AC) di ruang penumpang pun cukup baik. Kondisi kapal juga bersih. Hanya, tak ada larangan yang tegas penumpang merokok di dek kapal. Lalu mereka membuang puntungnya ke laut.
Meski secara gamblang puntung rokok termasuk limbah berbahaya dan beracun (B3), rokok masih dianggap sampah biasa. Sebagai limbah B3, seharusnya puntung rokok tidak boleh dibuang secara sembarangan, sebab membahayakan bagi lingkungan, baik manusia, hewan, ikan, dan tanaman. Satu sampah puntung rokok mengeluarkan sekitar tujuh ribuan bahan kimia, logam berat dengan kadar tinggi dan melepas mikroplastik ke laut. Laporan United Nations Development Programme (2017) menunjukkan sebanyak 4,5 triliun puntung rokok atau sekitar 766 juta ton sampah beracun berakhir di lautan. Di Indonesia, konsumsi tembakau mencapai 322 miliar batang pada 2020 yang menghasilkan sekitar 107,3 ton sampah puntung rokok.
Merokok di kapal juga merupakan tindakan yang tidak aman karena bisa memicu kebakaran. Pemicu kebakaran Kapal Tampomas II pada 1981 di Selat Masalembo akibat puntung rokok. Kebakaran kapal Tampomas II merenggut 385 korban jiwa.
Undang-Undang Nomor 27/2024 tentang Kesehatan dan PP 28/2024 bahwa kapal laut/kapal penyeberangan adalah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) secara mutlak. Artinya di dalam kapal, baik saat berhenti dan apalagi saat berlayar, adalah dilarang total untuk merokok. Dan tidak boleh menyediakan area merokok.
Saya pun berkirim kepada Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Apalagi, dengar Kementerian Perhubungan tengah menggodok aturan teknis terkait infrastruktur perhubungan sebagai area Kawasan Tanpa Rokok.
Sejatinya tak sulit untuk mewujudkan kapal penyeberangan dan kapal laut sebagai area KTR, asal ada komitmen dari manajemen untuk mewujudkannya. Contoh yang paling apik adalah di sektor perkeretaapian yang sukses menerapkan kebijakan KTR. Waktu tempuh kereta paling lama 12 jam, sementara kapal 5-6 jam. Ini menunjukkan komitmen menciptakan KTR bisa tercapai jika ada niat dan kebijakan yang keras.
Sebagai negara kepulauan, angkutan penyeberangan dan kapal laut sangat penting. Oleh karena itu, pengelolaannya mesti punya dimensi keberlanjutan, baik dari sisi manajerial, finansial, dan pelayanan.
Tarif angkutan penyeberangan belum mencapai aspek keberlanjutan, tersebab masih di bawah biaya pokok, sekitar 70 persen. Ini sebenarnya fenomena yang membahayakan bagi keberlangsungan usaha yang bisa merembet ke aspek keselamatan. Dengan tarif di bawah biaya pokok, manajemen kapal akan menghemat pos pengeluaran untuk operasional kapal, termasuk mengurangi biaya perawatan kapal. Seorang ahli transportasi ITS Surabaya,menyatakan jika tarif angkutan penyeberangan di bawah biaya pokok, terdapat sembilan pos yang berpotensi direduksi oleh pengelola kapal.
Oleh karena itu, dalam sisi pentarifan, harus ada keadilan bagi konsumen sebagai pengguna kapal, dan fair bagi perusahaan kapal. Bagi pengguna kapal, aspek keadilan harus memerhatikan aspek kemampuan membayar dan kemauan membayar. Sementara bagi perusahaan kapal aspek keadilan adalah tarif kapal harus setara dengan biaya pokok. HPP dan margin profit yang wajar sekitar 10 persen. Jika ada gap pemerintah wajib menggelontorkan dana tanggung jawab sosial publik. Sebab, angkutan penyeberangan sebagai angkutan umum adalah wujud layanan publikyang wajib disediakan oleh pemerintah selaku regulator.
Dan aspek keberlanjutan yang esensial dari sisi konsumen sebagai pengguna kapal ferry adalah wujud pelayanan yang aman, nyaman, andal, dan selamat. Konsumen sebagai pengguna kapal ferry juga harus turut berkontribusi untuk mewujudkan aspek kenyamanan, keamanan dan keselamatan selama dalam perjalanan.
Konsisten menjadikan kapal ferry sebagai area KTR adalah salah satu wujud nyata aspek keberlanjutan dan ramah lingkungan. Sebaliknya, kapal ferry sebagai “asbak raksasa” adalah bentuk nyata reduksi terhadap aspek kenyamanan, keamanan, dan keselamatan kapal. Juga mereduksi terhadap aspek keberlanjutan dan ramah lingkungan pada transportasi laut.
Ikuti percakapan topik angkutan laut berkelanjutan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pegiat perlindungan konsumen dan lingkungan hidup, anggota Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI), pendiri dan pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, dan Ketua Pengurus Harian YLKI, 2015-2025
Topik :