REFORMASI 1998 mengubah cara mengelola kawasan hutan dari orientasi negara dan perusahaan besar menjadi pendekatan yang humanistik. Masyarakat adat dan lokal mendapatkan afirmasi lewat kebijakan, misalnya, melalui perhutanan sosial. Maka agak mengherankan jika kini ada pengerahan tentara dan polisi untuk menjaga hutan.
Bagi para pegiat isu kehutanan, keberadaan tentara dan polisi di kawasan hutan sungguh aneh. Masyarakat kita secara turun temurun mengelola hutan sejak lama. Tak mengherankan jika ada banyak nama untuk pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Beberapa contoh adalah karang kitri (Jawa Tengah dan Jawa TImur), talun (Jawa Barat), tembawang (Kalimantan Barat), simpunk (Kalimantan Timur), bahuma (Kalimantan Tengah), baumo (Jambi), talang (Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan), repong (Lampung), hutan kemenyan (Sumatera Utara), parak (Sumatera Barat), kobong (Maluku Utara) dan hutan perempuan (Papua).
Keragaman dan kekayaan praktik di berbagai tempat itu menunjukkan pengelolaan hutan (termasuk menjaga hutan) sejak lama dilakukan masyarakat. Ia bukan sesuatu yang mendadak ada pada era tertentu. Keragaman pengelolaan hutan itu bahkan sudah menjadi budaya, tradisi, martabat dan ciri dari Indonesia yang beragam. Jangan lupa, keragaman kita, termasuk keragaman pengelolaan hutan, adalah ciri bangsa Indonesia.
Di masa sebelum reformasi, pernah ada paradigma kebijakan yang melihat masyarakat sebagai perambah hutan dan ilegal. Sebaliknya, para investor besar mendapat karpet merah untuk "mengelola" hutan dalam luasan besar pula. Keuntungan besar diperoleh segelintir orang, sementara masyarakat setempat didera kemiskinan, konflik, ketidakberdayaan, kerusakan ekologis, dan kehilangan martabat akan tanah dan ulayatnya.
Perhutanan sosial sebagai bagian dari reforma agraria secara resmi dimulai pada 2015 dengan penetapan alokasi total 12,7 juta hektare. Sebelum 2015 hutan banyak dikelola oleh swasta dan badan usaha milik negara (BUMN). Proporsi masyarakat pengelola tidak lebih dari 4%. Dengan alokasi perhutanan sosial 12,7 juta hektare, 30 persen dilakukan masyarakat.
Perhutanan sosial mengacu pada pengelolaan hutan yang sudah lazim dilakukan masyarakat adat dan setempat, yakni praktik kelola berdimensi ekonomi, ekologi dan sosial-budaya. Catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan hingga pertengahan Oktober 2024, sudah lebih dari 8 juta hektare areal perhutanan sosial (termasuk 1 juta hektare untuk wilayah indikasi hutan adat) dikelola masyarakat.
Program ini paling tidak telah merangkul 1,3 juta kepala keluarga. Juga telah terbentuk lebih dari 14 ribu Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), meski masih berskala sangat kecil, yang mengusahakan berbagai produk hasil hutan. Dari 2023 hingga Agustus 2024, nilai transaksi ekonomi dari Perhutanan Sosial mencapai lebih dari Rp 1,7 triliun. Volume transaksi usaha perhutanan sosial diproyeksikan akan jauh lebih besar lagi mengingat catatan-catatan produksi itu baru didasarkan atas sekitar 10 persen dari kegiatan usaha yang sudah berjalan.
Selain memberdayakan masyarakat, perhutanan sosial berhasil menangani 570 kasus tenurial. Ini menunjukkan ada peran penanganan dan penyelesaian konflik lahan di tingkat tapak. Sementara untuk segi ekologis, kita bisa mengambil contoh sumbangan perhutanan sosial bagi isu perubahan iklim.
KLHK telah menghitung bahwa kegiatan perhutanan sosial telah menyerap emisi karbon sebanyak 31,9 juta ton setara karbon dioksida (CO2). Penyerapan emisi karbon ini terjadi pada 2016-2021 di kawasan hutan seluas 4,6 juta hektare. Serapan karbon itu juga setara 22,7 persen dari target penyerapan emisi karbon yang ditetapkan dalam FOLU net sink 2030. Target FOLU net sink 2030 sebanyak 140 juta ton setara CO2.
Kemampuan sektor kehutanan menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca melalui kelola hutan oleh masyarakat telah menyumbang capaian penurunan emisi secara keseluruhan. Catatan dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Kabinet Merah Putih, Rachmat Pambudy, baru-baru ini menunjukkan meski banyak hal yang tak berhasil dicapai pemerintahan Jokowi pada 2023, penurunan emisi mencapai target.
Dari sini kita bisa melihat masyarakat mampu membuktikan diri bisa mengelola dan menjaga hutan dengan baik, bahkan menyumbang capaian positif bagi negeri ini dari berbagai segi. Maka gagasan untuk melibatkan tentara dan polisi dalam menjaga hutan harus dilihat secara lebih bijaksana dan hati-hati lagi. Jangan sampai ide ini menimbulkan kesan penggunaan pendekatan militeristik (dibandingkan pendekatan humanistik), serta kesan "mengambil alih" peran masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Kita semua menyayangi dan menghormati TNI-Polri sebagai bagian dari unsur penting Indonesia. Karena itu, menghormati mereka dengan cara tetap menempatkan TNI-Polri dalam peran yang sesungguhnya, yakni pertahanan dan keamanan negara. Sementara untuk mengelola hutan, tetap dilakukan masyarakat dan para pengampu kehutanan lainnya.
Ikuti percakapan tentang perhutanan sosial di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Board Kawal Borneo Community Foundation dan anggota The Climate Reality Leaders of Indonesia.
Topik :