Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 22 November 2024

Bisakah Satwa Liar dan Hewan Ternak Hidup Berdampingan?

Hewan ternak bisa berdampak positif untuk kelangsungan hidup satwa liar di alam. Bagaimana?

Co-exist antara hewan ternak dan satwa liar (foto: Unsplash.com)

KONSEP hidup berdampingan (co-exist) antara hewan ternak dan satwa liar adalah hal yang tak mungkin. Ada pandangan yang sudah lama mengemuka bahwa kehadiran hewan ternak akan mengubah ekosistem, membuatnya lebih tandus dan minim keanekaragaman hayati. Sehingga, ide berbagi ruang antara hewan ternak dan satwa liar sebagai hal buruk.

Sekelompok peneliti melihat sisi lain masyarakat lokal di ekosistem Maasai Mara di Kenya Selatan. Di sana hewan ternak bisa hidup bersama satwa liar tanpa dampak negatif. Bahkan sebaliknya, keberadaan mereka justru saling mendukung.

Konstruksi Kayu

Ekosistem Maasai Mara mencakup area seluas 300.000 hektare. wilayahnya terdiri dari cagar alam nasional Maasai Mara dan suaka margasatwa milik masyarakat. Ekosistem ini terkenal dengan "migrasi besar" yang terjadi setiap tahun. Lebih dari satu juta nyumbu atau wildebeest bermigrasi melewati wilayah ini.

Wilayah ini juga terkenal akan kehadiran satwa besar, seperti singa, gajah, badak, macan tutul, kerbau afrika, jerapah, zebra, dan cheetah. Kehadiran mereka telah mengundang lebih dari 300.000 wisatawan setiap tahun. Dalam satu semester, pariwisata di Maasai Mara bisa menghasilkan lebih dari Rp 300 miliar hanya dari tiket masuk.

Dalam ekosistem Maasai Mara, di antara cagar alam nasional Maasai Mara dan suaka margasatwa, terdapat area kecil yang disebut Talek. Selama ratusan tahun, masyarakat Maasai di Talek telah mencari nafkah dengan cara yang sama seperti nenek dan kakek moyang mereka, yakni beternak.

Dulu, mereka bisa menggembalakan ternak di sabana Maasai Mara yang luas. Status cagar alam dan suaka margasatwa membuat mereka dilarang menggembalakan ternak mereka. Walau begitu, masyarakat Maasai tak punya pilihan selain menggembalakan ternak mereka di cagar alam, apalagi saat musim kemarau.

Bagi sebagian peneliti, hal tersebut akan jadi studi kasus yang menarik untuk melihat hubungan antara satwa liar dan hewan ternak. Mereka menghabiskan 19 bulan pada 2018-2019 mengunjungi 60 lokasi yang jadi area penggembalaan. Para peneliti mengumpulkan sampel kotoran, mengukur kualitas nutrisi, jenis vegetasi, biomassa, kondisi tanah, dan semua hal yang bisa dijadikan parameter.

Hasilnya, keberadaan ternak masyarakat Maasai tidak menyebabkan penurunan kuantitas atau kualitas rumput dan tumbuhan di dalam cagar alam Maasai Mara. Keberadaan ternak juga tak mengusir satwa herbivora lain seperti kijang, zebra, dan nyumbu. Bahkan dalam beberapa momen, mereka hidup dan mencari makan di satu area yang sama.

Dalam studi lain, keberadaan ternak ternyata memberikan dampak positif terhadap kualitas pakan satwa liar herbivora. Studi tersebut mengamati pengaruh keberadaan sapi terhadap antelop. Keberadaan sapi membantu menghasilkan pertumbuhan kembali rumput yang berkualitas tinggi dan lebih beragam. Pakan berkualitas tinggi dan beragam akan mendukung asupan nutrisi antelop selama musim hujan dan kemarau.

Jumlah hewan ternak masyarakat Maasai di Talek tidak banyak. Begitupun juga dengan studi kedua, dampak baik terhadap kualitas pakan hanya didapat saat jumlah sapi ada dalam batas wajar. Saat jumlahnya berlebih, ia akan menimbulkan kompetisi dengan antelop.

Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Agriculture, Ecosystem, & Environment, ternak yang berlebihan terbukti mengurangi tutupan vegetasi, biomassa, dan meningkatkan kompaksi tanah. Wilayah yang lebih banyak aktivitas penggembalaan ternak juga memiliki aliran karbon dioksida tanah yang lebih rendah dibanding wilayah yang minim aktivitas penggembalaan.

Penggembalaan berlebihan (overgrazing) juga telah mengandaskan habitat alami. Contohnya di dataran Sahel yang mengalami penggurunan akibat aktivitas hewan ternak yang masif. Pada 1930, aktivitas masif ternak telah menanduskan America Great Plains. Di Himalaya, yaks, kambing, dan sapi telah menghabiskan rumput-rumput di wilayah tersebut.

Pada akhirnya, keberadaan hewan ternak di ekosistem alami bisa berdampak positif atau negatif. Tergantung bagaimana kita mengatur dan mengelolanya.

Jika pengelolaannya tepat, kuantitas tak banyak dan melakukan penggembalaan bergilir, maka dampak positif bisa terwujud. Di Maasai Mara ternak dan satwa liar hidup berdampingan dan keberadaan ternak membantu menghasilkan rumput yang lebih bernutrisi. Namun jika jumlahnya masif, tak dilakukan penggembalaan bergilir, dan tak sadar akan dampaknya, maka kerusakan ekosistem tak bisa dihindarkan.

Dengan isu krisis pangan yang terus menguat, ide satwa liar dan ternak di satu ruang bisa menjadi solusi untuk mengatasinya. Karena dengan begitu, kita bisa memanfaatkan lahan dengan efisien di tengah makin sempitnya lahan. Tapi tentu saja, perlu berbagai syarat dan sistem ketat agar pengelolaannya bisa menghadirkan manfaat ganda bagi ekosistem dan manusia.

Ikuti percakapan tentang satwa liar di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain