PESISIR menjadi ekosistem karbon biru. Dengan serapan karbon lebih tinggi dibanding karbon darata, ekosistem laut dan pesisir menjadi andalan mitigasi krisis iklim.
Ekosistem karbon biru terdiri dari mangrove, padang lamun, dan rawa garaman, yang menyelimuti 2% dari total lautan. Namun 50% serapan karbon di lautan tersimpan di ekosistem ini. Ia juga menyerap 23% emisi CO2 yang diproduksi manusia.
Namun, studi terbaru menemukan bahwa ekosistem pesisir juga mengeluarkan gas metana, gas rumah kaca yang jauh lebih buruk dibanding karbon dioksida. Masalahnya, studi-studi belum secara eksak mengetahui berapa banyak metana yang dilepaskan dan asalnya.
Untuk itu, sekelompok peneliti dari Finlandia, Swedia, dan Cina mencoba mencari tahu hal tersebut. Mereka menyusun sistem otomatis yang mengukur CO2 dan metana secara terus menerus di laut Baltik. Ada tiga jenis habitat yang diukur, yakni rumput laut, vegetasi campuran, dan area sedimen tak bervegetasi.
Ketiga habitat tersebut mengeluarkan emisi metana dalam kisaran 0,1 -2,9 miligram per meter persegi per hari. Peneliti mengira habitat vegetasi campuran dan area sedimen akan menjadi sumber metana yang besar. Namun, peneliti tak menyangka bahwa rumput laut juga ikut mengemisikan metana.
Para peneliti menemukan bahwa habitat rumput laut (Fucus vesiculosus) mengeluarkan metana setara dengan 28% CO2 yang diserapnya. Tapi, pada habitat vegetasi campuran pesisir, emisi metana mencapai 35% dari serapan karbon dioksidanya. Sedangkan pada area sedimen tak bervegetasi meningkatkan pelepasan CO2 sebesar 57%.
Metana dilepaskan karena mikroorganisme khusus yang disebut metanogen. Mikroorganisme ini mengurai bahan organik dengan oksigen rendah. Biasanya, kondisi ini ditemukan di tempat dimana tanaman mati terakumulasi dalam sedimen lunak, seperti di vegetasi campuran dan area sedimen tak bervegetasi. Hal itu yang menyebabkan tingginya emisi metana pada kedua tipe habitat tersebut.
Namun, pada habitat rumput laut, yang didominasi bebatuan, seharusnya tak menjadi tempat ideal bagi mikroorganisme metanogen. Ketika dilihat lebih dekat, ternyata mereka hidup di kantong-kantong kecil sedimen di antara bebatuan. Serta, mereka hidup di bekas tanaman mati yang ada di antara rumput laut.
Kendati ekosistem pesisir mengeluarkan metana, namun secara keseluruhan, ekosistem pesisir mampu mengkompensasinya dengan serapan karbonnya. Tapi, dampaknya adalah pada perhitungan serapan karbon dari ekosistem pesisir. Dimana pasti serapan karbon oleh ekosistem pesisir akan lebih kecil dibanding yang kita kira selama ini. Yang pada akhirnya akan mempengaruhi kredit karbon.
Para peneliti juga yakin bahwa bisa jadi di luar laut Baltik, kondisinya berbeda. Sehingga penelitian di ekosistem pesisir lain menjadi agenda penting untuk memahami ekosistem karbon biru secara lebih holistik. Apalagi, karbon biru adalah salah satu tokoh utama dalam memerangi krisis iklim dan meningkatkan perekonomian dunia.
Kini, ekosistem karbon biru terus tergerus. Hutan mangrove menyusut dengan 2% setiap tahun. Walau hanya menyelimuti 0,7% daratan bumi, deforestasi mangrove menyumbang 10% emisi karbon dari deforestasi global. Rawa pasang turut kehilangan 50% dan padang lamun telah kehilangan 30% sepanjang sejarah.
Ikuti percakapan tentang karbon biru di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :