TAHUN lalu kita baru saja mencatatkan sejarah pemanasan global. Kita berhasil membuat tahun 2023 jadi tahun terpanas dalam sejarah manusia. Kini, di tahun 2024, tampaknya kita akan mampu memecahkan rekor tersebut. Dalam laporan Badan Meteorologi Dunia (WMO), suhu pada 2024 akan mengalahkan suhu di 2023.
Dalam laporan iklim yang dijabarkan di COP29 di Baku, Azerbaijan, WMO menyebut rata-rata suhu bumi pada tiga kuartal 2024 sebesar 1,540 Celcius lebih panas dibanding suhu sebelum masa praindustri. Selama 2015-2024, suhu bumi terus naik sehingga menjadikan periode tersebut sebagai dekade paling panas dalam sejarah.
Kenaikan suhu bumi itu menandakan kita telah memasuki ambang batas titik kritis bumi. Dalam Perjanjian Paris sembilan tahun lalu, negara-negara di dunia sepakat mengupayakan agar kenaikan suhu ada di bawah 1,5C dibanding suhu masa praindustri. Tapi kini, kita telah melewati batas tersebut.
WMO mengatakan kenaikan suhu di atas 1,5C ini hanya sementara. Kenaikan suhu pada 2023 dan 2024 dipengaruhi kondisi iklim ekstrem, seperti El Niño. Badan Meteorologi Dunia memprediksi bahwa kenaikan suhu global jangka panjang diperkirakan sekitar 1,3C.
Kenaikan tiap 0,1C memberikan dampak signifikan. Kenaikan suhu sebesa itu akan memperburuk kondisi iklim, meningkatkan potensi gelombang panas, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan kerugian triliunan rupiah di seluruh dunia.
Apalagi, tingkat emisi gas rumah kaca yang kita hasilkan tak menunjukkan tanda penurunan signifikan. Malah, pada 2023, tingkat emisi gas rumah kaca mencapai level tertinggi yang pernah tercatat. Tren tersebut terus meningkat di 2024. Volume CO2 yang memerangkap panas meningkat 51% antara tahun 1750 dan 2023.
Hal ini terlihat jelas di lautan. Laut menyerap 90% panas berlebih pemanasan global. Tahun lalu, lautan mencatat rekor terpanas dalam sejarah. Di awal 2024, hal tersebut terus berlanjut. Sekalipun pada 2025 suhu laut turun, dampak panas pada 2023 dan 2024 akan memberi pengaruh jangka panjang bagi ekosistem lautan.
Pemanasan global juga turut mempercepat pencairan es gletser. Pada 2023, gletser mencair lebih cepat dibanding 70 tahun lalu, saat pencatatan dimulai. Kehilangannya setara dengan lima kali volume air di laut Mati. Hal ini membuat kenaikan muka air laut dan mengancam mereka yang tinggal di daerah pesisir.
Pemanasan global juga berdampak pada kesehatan, khususnya anak-anak. Dalam laporan yang disusun oleh 35 lembaga, termasuk WHO dan World Bank, kenaikan suhu memicu kelaparan dan malnutrisi, meningkatkan skala dan cakupan penyakit menular, serta membuat kondisi cuaca ekstrem dan polusi yang memperburuk kondisi tempat tinggal manusia.
Peningkatan suhu juga membuat hutan rentan terbakar. Jumlah penduduk yang terpapar kebakaran hutan di 152 dari 196 negara naik sejak 2001. Asap kebakaran hutan mengakibatkan penyakit pernapasan dan bahkan kematian.
Dari segi keanekaragaman hayati, kenaikan suhu juga berarti kehilangan keanekaragaman hayati. Jika suhu naik di 1,5C, itu berarti 6% serangga, 8% tanaman, dan 4% mamalia akan kehilangan 50% habitat mereka.
Ikuti percakapan tentang pemanasan global di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :