Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 01 Desember 2024

Pendanaan untuk Mitigasi Krisis Iklim Meningkat

Pendanaan iklim meningkat tiga kali lipat dalam COP29 di Azerbaijan. Masih jauh dari kata cukup.

Pendanaan iklim (foto: UNDP)

PENDANAAN adalah komponen penting untuk mengatasi krisis iklim. Sebelumnya, pendanaan iklim bernilai US$ 100 miliar setiap tahun. Dalam konferensi perubahan ikilm COP29 di Baku, Azerbaijan, negara-negara sepakat untuk menaikkan pendanaan iklim tiga kali lipat menjadi US$ 300 miliar per tahun.

Tujuan utama COP29 adalah mengajak hampir 200 negara untuk menyepakati target pendanaan iklim baru. Dana sebesar US$ 300 miliar per tahun hingga 2035. Nantinya, pendanaan ini mengalir dari negara maju ke negara berkembang untuk membantu negara-negara berkembang mengatasi emisi karbon, transisi dari bahan bakar fosil, dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.

Konstruksi Kayu

Komitmen untuk proyek dan inisiatif pendanaan iklim telah dicanangkan oleh beberapa pihak. Asian Development Bank memberi dukungan US$ 3,5 miliar. Sektor perbankan Azerbaijan memberi US$ 1,2 miliar. Negara seperti Amerika Serikat (US$ 325 juta), Jerman (US$ 220 juta), dan Inggris (US$ 211 juta) berkontribusi lewat Dana Investasi Iklim.

Kendati nilai US$ 300 miliar, atau setara Rp 4.750 triliun, adalah nilai yang besar. Namun jumlah tersebut masih jauh dari jumlah yang dibutuhkan. Negara-negara berkembang meminta setidaknya US$ 1,3 triliun per tahun atau sekitar Rp 18 ribu triliun, jumlah yang menurut para ekonom diperlukan untuk merespon krisis iklim.

Namun, negara-negara maju, yang berkontribusi besar terhadap sebagian besar emisi karbon global, tak menyanggupi nominal tersebut. Mereka juga tak dapat mengumpulkan pendanaan yang besar tanpa keterlibatan sektor swasta. Pada akhirnya, nilai US$ 300 miliar adalah angka yang dapat dijanjikan untuk pendanaan iklim.

Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, adalah negara yang rentan terhadap dampak krisis iklim. Negara-negara ini cenderung menghasilkan sedikit emisi, namun jadi yang terdepan terdampak perubahan iklim. Mulai dari bencana banjir, kekeringan, gelombang panas, badai, dan naiknya permukaan air laut. Pada 2050, perubahan iklim diperkirakan akan menyebabkan kerugian senilai US$ 38 triliun di seluruh dunia.

Kendati US$ 300 miliar nilai yang belum cukup, setidaknya ada kemajuan dari segi pendanaan iklim. Harapannya, di COP30 di Belem, Brazil, tahun depan, akan menghasilkan kesepakatan pendanaan iklim yang lebih besar lagi. Setidaknya ini jadi langkah kemajuan untuk menuju target pendanaan US$ 1,3 triliun.

Hingga saat ini, sebagian besar pendanaan iklim internasional diberikan kepada negara-negara berkembang dalam bentuk pinjaman non-konsesional. Organisasi seperti Oxfam, menganggap skema tersebut meningkatkan beban utang negara-negara berkembang. Alih-alih menyelesaikan permasalahan iklim, mereka justru menambah beban negara berkembang.

Negara-negara maju juga mendorong Cina dan negara teluk penghasil minyak dan gas berkontribusi dalam pendanaan iklim. Cina adalah penghasil emisi karbon terbesar di dunia. Walau Cina adalah salah satu negara dengan perekonomian terbesar, PBB masih menggolongkan negara ini sebagai negara berkembang.

Meningkatkan pendanaan iklim harus dibarengi dengan upaya menurunkan emisi dari negara-negara di dunia. Beberapa negara sudah mendeklarasikan target baru mereka di COP29. Inggris telah mendeklarasikan target yang lebih ambisius. Mereka akan meningkatkan pengurangan emisi karbon sebesar 68% di 2030. Brazil menargetkan penurunan 59%-67% pada 2035. Uni Emirat Arab mengumumkan target pengurangan emisi sebesar 47% sebelum tahun 2035.

Sayangnya, masih banyak negara yang belum mendeklarasikan target baru. Kemudian, negara-negara teluk, seperti Uni Emirat Arab, walau menargetkan penurunan emisi, UEA memproyeksikan kenaikan produksi minyak dan gas sebesar 34% di tahun 2035. Pada COP29 belum ada keputusan konkret terkait transisi ataupun pembatasan penggunaan bahan bakar fosil.

Banyak orang yang kecewa dengan COP29, karena hasilnya tidak membawa perubahan yang signifikan dan transformatif. Seperti pendanaan iklim yang jauh dari kebutuhan dan transisi dari energi fosil yang masih abu-abu dan tak tegas. Tahun 2024 telah ditetapkan jadi tahun terpanas dalam sejarah. Dan tanpa aksi konkret, kita akan terus mencetak rekor tahun terpanas di tahun-tahun selanjutnya.

Ikuti percakapan tentang krisis iklim di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain