AKHIR-akhir ini makin banyak kritik bermunculan terkait proyek-proyek berskala besar. Sebagai contoh adalah Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2), Wadas, dan tentu saja yang sedang “hot”, Merauke. Semua terkait dengan Proyek Strategis Nasional (PSN), yang jumlahnya kini ada 14 di berbagai tempat di Indonesia.
PIK 2 merupakan PSN green area dan eco-city, yang merupakan areal pengembangan. Konon proyek ini dilakukan agar daya dukung lingkungan bisa dimaksimalkan dan berdampak pada ekonomi dan pariwisata skala besar. Namun PIK 2 memunculkan berbagai isu, seperti ketidaksesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi dan kabupaten/kota, sebagian besar dari lokasi proyek ini masih merupakan wilayah hutan lindung, isu pembelian tanah dari warga dengan harga rendah, dan sebagainya. Belum lagi ada isu kesenjangan sosial yang meningkat karena keberadaan proyek ini. Terkini, ada pernyataan dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) bahwa PSN PIK 2 akan dikaji ulang.
Di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, sedang dibangun Bendungan Bener. Proyek ini membutuhkan batu andesit dari Desa Wadas untuk material pembangunan waduk. Namun, penambangan batu andesit tersebut ditentang warga Desa Wadas karena dinilai merusak sumber mata air dan menghilangkan 124 hektare tanah yang sudah digunakan untuk pertanian dan peternakan warga. Intensitas konflik terjadi sehingga ada bentrokan antara polisi dengan warga desa.
Di Merauke, proyek food estate berbasis semangat pemenuhan kebutuhan gula nasional sehingga Indonesia bebas dari ketergantungan impor serta pemenuhan kebutuhan beras nasional dalam rangka swasembada pangan. Namun, protes bermunculan dari masyarakat adat. Timbul kekhawatiran terhadap berbagai dampak negatif bagi masyarakat dan wilayah adat suku-suku, terkait sistem penghidupan, sosial, budaya dan religi masyarakat adat.
Juga ada kekhawatiran terhadap kerusakan ekosistem dan gangguan terhadap biodiversitas berharga di wilayah ini. Terkait hal ini, ada berbagai bentuk protes dan aspirasi yang dikeluarkan masyarakat adat dan pihak-pihak terkait, termasuk akademisi dan pemuka agama serta lembaga swadaya masyarakat. Salah satunya aspirasi menolak PSN Merauke dalam pertemuan perwakilan masyarakat adat dengan Komite II Dewan Pemerintah Daerah (DPD) dan kementerian terkait di Kantor Bupati Merauke, Papua, pada 2 Desember 2024.
Tiga contoh di atas jelas menunjukkan hal-hal fundamental yang kerap dipinggirkan dalam proyek-proyek pembangunan, yakni terkait hak masyarakat lokal, yang tak bisa dilepaskan dari hak asasi manusia (HAM). "Gangguan" terhadap hak-hak masyarakat ini ada yang sama, ada yang berbeda.
Di Wadas masyarakat mendapat tindakan berlebihan dari aparat, terganggu kawasan hidup dan penghidupannya, ketidakjelasan masa depan dan sebagainya. PIK 2, seperti rilis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan KontraS (7 November 2024), telah memunculkan berbagai persoalan HAM terkait keamanan, sosial, maupun ekonomi. Juga terjadi proses pemiskinan warga setempat.
Sementara itu, dua proyek besar di Merauke juga banyak mendulang kritik. Kritik terbesar adalah pengabaian hak-hak masyarakat adat. Beberapa di antaranya adalah hak penghidupan, hak atas tanah adat, serta hak mempertahankan budaya dan religi. Seorang pemuka agama dari Papua, pada suatu diskusi online 1 Desember 2024 menyatakan bahwa PSN Merauke, selain bisa meminggirkan hak penghidupan masyarakat, juga bisa berdampak pada krisis mitologi, keyakinan, identitas budaya, diri, serta eksistensi sebagai suku. Belum lagi ada kekhawatiran akan rusaknya ekosistem di Merauke karena pembangunan skala besar tersebut.
Beberapa catatan tentang isu HAM dan PSN juga disuarakan oleh berbagai lembaga kredibel. Dalam Siaran Pers tertanggal 7 November 2024, LBH Jakarta dan KontraS menilai bahwa praktik-praktik seperti perampasan lahan, penutupan lahan sawah produktif, intimidasi menggunakan aparat dan kelompok vigilante, hingga kriminalisasi bagi mereka yang menolak pembangunan merupakan fenomena yang umum terjadi pada seluruh kawasan proyek PSN di Indonesia.
Sementara itu, dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia, 10 Desember 2024, SETARA Institute merilis Indeks HAM Indonesia pada 2024, yang turun dibandingkan 2023. Salah satu yang dicatat SETARA adalah adanya berbagai praktik pengambilalihan wilayah-wilayah masyarakat dan bentuk-bentuk pelanggaran HAM lain "demi rezim investasi" yang terjadi di berbagai PSN di Indonesia.
Catatan serupa juga dikeluarkan oleh Komisi Nasional HAM pada 2024. Komnas HAM, dalam tinjauannya tentang dampak PSN terhadap HAM, menyimpulkan bahwa "PSN yang digadang-gadang mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan, justru menimbulkan pelbagai dampak serius terhadap pelaksanaan HAM, baik hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, maupun hak-hak kolektif dan hak-hak kelompok rentan".
Berbagai kritik dan catatan tentang PSN tersebut tak bisa dipandang remeh. Komnas HAM mengingatkan pentingnya penghormatan terhadap "hak atas pembangunan" yang melekat pada setiap manusia di setiap proses dan pelaksanaan kegiatan pembangunan, termasuk pada PSN. Perlu dicatat bahwa hak atas pembangunan sendiri merupakan hak fundamental pada setiap manusia, yang berakar dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Deklarasi Umum HAM (DUHAM), serta beberapa instrumen pokok HAM internasional lainnya.
Hak atas pembangunan telah disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 4 Desember 1986. PBB menyatakan bahwa hak atas pembangunan adalah hak yang tidak dapat dicabut (an inalienable right). Setiap individu dan seluruh umat manusia memiliki hak untuk berpartisipasi, berkontribusi, dan menikmati pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Selanjutnya, agenda global Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs) 2015-2030 juga menekankan pentingnya mencapai pembangunan dengan cara-cara berkelanjutan, tidak eksploitatif serta berkeadilan dengan prinsip “no one left behind”.
Dalam catatan tahunan tersebut, Komnas HAM memberikan tujuh rekomendasi terhadap PSN di Indonesia. Salah satunya meninjau ulang model pembangunan dalam bentuk PSN karena dipandang sangat eksklusif, menimbulkan diskriminasi, penyalahgunaan wewenang, dan pelanggaran HAM yang terus berulang.
Rekomendasi lain adalah memastikan bahwa semua proyek pemerintah, termasuk PSN, baik yang dilakukan melalui anggaran negara atau pun kerja sama dengan swasta atau masyarakat adalah untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu atau kerabat.
Saya kembali teringat pesan Bung Hatta, yang kerap diulang oleh putri tertuanya, Meutia Hatta, bahwa Republik Indonesia didirikan untuk menjadikan rakyat Indonesia adil, bahagia dan sejahtera. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 jelas dinyatakan bahwa salah satu tujuan berdirinya Indonesia adalah untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Jadi, jika proses dan pelaksanaan pembangunan menunjukkan berbagai tindakan dan potensi dampak tidak berkeadilan, tidak membuat rakyat bahagia dan sejahtera, tepatkah itu dilakukan? Jika dalam prosesnya terjadi berbagai bentuk pelanggaran HAM seperti catatan-catatan di atas apakah model pembangunan ini benar sejalan dengan tujuan keberadaan Negara Indonesia? Semua ini tak pelak patut menjadi refleksi bersama.
Ikuti percakapan tentang proyek strategis nasional di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Board Kawal Borneo Community Foundation dan anggota The Climate Reality Leaders of Indonesia.
Topik :