PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto tentang ancaman kebakaran hutan di Ibu Kota Nusantara (IKN) sungguh mengejutkan. Sebagai mantan komandan militer, cara pandang Prabowo tentang kota hutan (forest city) IKN menunjukkan ia melihat sesuatu dari segala arah termasuk aspek bencana.
Sebagai seorang rimbawan, saya tidak risau tentang ancaman kebakaran hutan. Saya risau tentang bagaimana membangun hutan IKN yang direncanakan komposisinya 70 -80% dari seluruh kawasan IKN yang luas totalnya mencapai 256.143 hektare. Ini artinya hutan yang ada dan akan dibangun di IKN seluas 179.300-204.914 hektare.
Sebagai forest city IKN akan menghadapi banyak kesulitan dan hambatan dibandingkan dengan smart city dan spon city? Alasannya sederhana, membangun forest city dengan luas ratusan ribu hektare membutuhkan waktu dan proses yang panjang. Secara normatif saja, proses menanam sebuah tanaman hutan dari anakan (seedling) menjadi pohon dewasa (tree) membutuhkan waktu mininimal 15 sampai 20 tahun melalui empat tahapan yakni anakan (seeding), sapihan (sapling), tiang (pole) dan pohon (tree).
IKN terdiri dari tiga wilayah perencanaan, yakni Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) yang merupakan bagian dari KIKN dengan luas 6.671 hektare (2,60%), Kawasan IKN (KIKN) dengan luas wilayah 56.181 hektare (19,34 % tidak termasuk KIPP) dan Kawasan Pengembangan IKN (KP IKN) dengan luas wilayah 199.962 hektare (78,06 %).
Tata Guna Lahan IKN pada saat ini terdiri dari hutan lindung 0%, hutan produksi terbatas 1 %, hutan produksi yang dapat dikonversi 16%, hutan produksi biasa 17%, hutan konservasi 25 % dan areal penggunaan lain (APL) 41%. Sementara itu, berdasarkan peta tutupan lahan skala 1 : 5000 tahun 2019; kawasan IKN yang masih berhutan seluas 42,31% (hutan lahan kering 38,95%, hutan mangrove 2,15% dan hutan rawa gambut 1,21%), semak belukar dan tanah kosong 13,74 %, perkebunan 29,18%, tanaman campuran dan tegalan/ladang 8,97%. Sisanya berupa sawah, padang rumput, pertambangan dan sebagainya dengan luasan yang relatif kecil rata- rata di bawah1%.
KLHK telah melakukan proses alih fungsi lahan hutan produksi biasa menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 41.493 hektare tahun 2019. Kawasan hutan ini yang akan menjadi KIKN melalui proses pelepasan kawasan hutan menjadi APL dan akan dilakukan atas usul otorita IKN. Tutupan hutannya pun, secara ekologis luasnya masih sangat memadai yakni 42,31%.
Sebagai kota yang mengusung konsep kota hutan dan berbasis lingkungan yang sesedikit mungkin atau tidak ada penebangan hutan, luasan tutupan hutan 42,31 % ini dirasa belum cukup dan harus ditingkatkan lagi luasannya menjadi 70-80 %.
Secara ekologis bentang alam di Kalimantan Timur, khususnya di hutan produksi sudah tidak tersisa lagi adanya hutan alam primer tropika basah, sejak adanya izin konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) yang diizinkan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21/1970 tentang hak pengusahaan hutan (HPH) dan hak pemungutan hasil hutan (HPHH).
Hutan alam tropika basah di Kalimantan yang terbentuk melalui proses ratusan tahun untuk menjadi klimaks (establish ecosystem), sesungguhnya merupakan ekosistem yang fragile (mudah rusak), apabila dieksploitasi kayunya seperti melalui konsesi HPH ini. Tanahnya yang pada umumnya adalah berjenis podzolik merah kuning (PMK) yang merupakan tanah yang relatif mempunyai kesuburan rendah.
Dengan dibukanya hutan alam primer tropika basah di Kalimantan Timur ini, apalagi diganti dengan hutan tanaman industri dengan jenis eksotik seperti eukaliptus, otomatis akan mengubah ekosistem bentang alam dan juga akan mempercepat penurunan kesuburan tanahnya.
Sementara itu, untuk lahan yang tidak mempunyai tutupan hutan dan akan masuk dalam rehabilitasi untuk forest city seluas 28-38 persen (yang akan bertambah lagi luasnya apabila tutupan hutan dari jenis eukaliptus akan diganti dengan jenis endemik), terdiri dari semak belukar dan tanah kosong, padang rumput, bekas pertambangan dan perkebunan yang secara ekologis berubah total ekosistemnya dari aslinya, tantangan untuk menjadikan hutan alam tropika asli Kalimantan akan lebih berat lagi tantangannya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :