MEMULIHKAN hutan terdegradasi adalah salah satu agenda utama memerangi krisis iklim. Dalam Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global, negara-negara punya target merestorasi sedikitnya 30% ekosistem yang rusak pada 2030. Dalam Platform Kebijakan Mitigasi Iklim Global juga terdapat target yang bahkan lebih ambisius, yakni merestorasi 250 juta hektare ekosistem alami pada tahun tersebut.
Tak hanya sulit, memulihkan ratusan juta hektare hutan yang telah rusak juga butuh dana amat besar. Namun, rupanya, hutan punya mekanisme alamiah memulihkan diri. Sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal Nature menemukan bahwa ada 215 juta hektare hutan rusak yang berpotensi bisa pulih.
Jika semua area tersebut tumbuh kembali menjadi hutan, maka ada 23,4 miliar ton karbon yang bisa diserap dalam waktu 30 tahun. Jumlah tersebut lebih dari dua kali lipat jumlah karbon dioksida yang diemisikan dunia dari sektor energi pada 2023.
Nilai serapan karbon tersebut belum memperhitungkan biomassa di bawah permukaan tanah yang sulit dihitung secara spasial. Namun jika diestimasi, biomassa di bawah permukaan tanah akan menambah 22-28% dari serapan karbon yang ada. Sehingga total serapan karbon hutan yang pulih secara alami sebesar 28-30 miliar ton dalam 30 tahun.
Untuk mengidentifikasi 215 juta hektare hutan tersebut, para peneliti menggunakan analisis penginderaan jauh. Mereka menganalisis ratusan juta hektare lahan hutan menggunakan machine learning untuk mengidentifikasi mana lahan yang bisa beregenerasi alami dan mana yang tidak bisa pulih.
Untuk memprediksi potensi regenerasi alami, para peneliti menggunakan berbagai variabel, seperti kondisi tanah, kondisi iklim, kemiringan, produktivitas lahan, insiden kebakaran, kepadatan jalan, dan variabel lainnya terkait biofisik. Namun, semua perhitungan itu belum memasukkan kalkulasi kondisi politik, kebijakan, dan rencana pemerintah lokal.
Lewat studi itu, kita bisa melihat wilayah-wilayah dimana hutan bisa pulih secara alami, atau dengan intervensi minimal.
Dalam studi lain, metode regenerasi alami memakan biaya US$ 12-3.880 per hektare, lebih murah dibanding penanaman pohon yang memakan biaya US$ 105-25.830 per hektare.
Kendati begitu, peneliti menekankan bahwa tujuan studi ini bukan untuk mengesampingkan penanaman pohon. Sebab baik penanaman pohon atau regenerasi alami punya perannya masing-masing. Tujuan studi ini untuk menyediakan bantuan menentukan kebijakan atau rencana restorasi hutan dengan biaya seminimal mungkin.
Restorasi alami akan memakan waktu puluhan tahun. Selain itu, restorasi ekosistem secara alami akan sia-sia jika manusia terus menginterupsi area yang telah rusak tersebut.
Indonesia telah berkomitmen untuk merehabilitasi lahan yang rusak seluas 2 juta hektare lahan gambut dan 12 juta hektare lahan kritis pada 2030. Dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), pemerintah menargetkan deforestasi 2021-2030 turun sekitar 56% menjadi 359.000 hektare per tahun dengan usaha sendiri atau turun 78% menjadi 175.000 hektare per tahun dengan bantuan internasional.
Ikuti percakapan tentang restorasi ekosistem di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :