BUTUH tujuh jam terbang nonstop untuk mengarungi kepulauan Indonesia dari ujung Pulau Weh di Aceh hingga ujung paling timur Papua. Waktu tempuh ini setara mengelilingi benua Eropa. Karena itu Indonesia membutuhkan sarana prasarana infrastruktur yang andal, baik infrastruktur darat, laut/penyeberangan, plus infrastruktur udara.
Banyak pulau di Indonesia, khususnya di area terluar, terdepan dan terisolasi hanya bisa diakses dengan transportasi udara, misalnya area/distrik di Pulau Papua.
Indonesia termasuk negara dengan jumlah bandara terbesar di dunia, setelah Tiongkok. Saat ini jumlah bandar udara, total mencapai 683 buah—35 bandara komersial dan 17 bandara internasional. Adapun jumlah maskapai udara 22 yang mengangkut sekitar 69 juta penumpang setiap tahun.
Bandara nonkomersial dikelola pemerintah pusat via UPT Kementerian Perhubungan dan sebagian kecil oleh pemerintah daerah. Sedangkan bandara komersial (domestik dan internasional) dikelola oleh BUMN, yang semula oleh Angkasa Pura I (untuk Indonesia bagian timur), dan Angkasa Pura II untuk Indonesia bagian barat). Sekarang keduanya lebur menjadi Angkasa Pura Indonesia (API).
Aspek regulasi mewujudkan bandara yang andal secara umum sudah diakomodasi dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 41 Tahun 2023 tentang Pelayanan Jasa Kebandarudaraan di Bandar Udara. Regulasi ini mengatur tiga aspek standar pelayanan kebandarudaraan, yaitu: standar pelayanan terhadap bandara, standar pelayanan terhadap penumpang, dan standar pelayanan di area/wilayah kargo dan pos.
Standar pelayanan pada penumpang diatur Pasal 12 perihal pelayanan yang memberikan kenyamanan terhadap penumpang (huruf b), dan pelayanan pada fasilitas yang memberikan nilai tambah (huruf c). Adapun fasilitas yang memberikan kenyamanan terhadap penumpang meliputi pelayanan pada fasilitas pengkondisian suhu udara dan cahaya, kemudahan pengangkutan bagasi, kebersihan, pelayanan informasi, toilet, ruang laktasi, dan fasilitas bagi pengguna berkebutuhan khusus. Adapun fasilitas yang memberi nilai tambah (Pasal 15), meliputi: tempat ibadah, ruang merokok, ruang bermain anak, internet atau WiFi, fasilitas maskapai penerbangan, fasilitas self check-in, fasilitas air minum, dan pengisian baterai.
Jika merujuk tataran standar pelayanan untuk “memanusiawikan” pengguna bandara Peraturan 41/2023 sudah cukup memadai. Survei Customer Satisfaction Indeks selalu menunjukkan hasil yang memuaskan. Namun, pelayanan bandara selalu mendapat kritik publik.
Kritik yang masih sering kita dengar/kita rasakan adalah kebersihan toilet, kebersihan musala, sinyal Internet, tarif parkir mahal, harga makanan dan minuman yang acap “menyundul” langit. Di bandara Narita Jepang, harga makanan-minuman lebih murah dibanding harga makanan dan minuman di pusat kota.
Juga tarif Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U) atau yang lazim disebut “air port tax”. Manjemen bandara terlalu tinggi memasukkan komponen margin profit dalam struktur tarif PJP2U-nya.
Secara konsep, Peraturan 41/2023 juga memiliki celah dalam isu lingkungan. Padahal, aktivitas di bandara berdampak pada lingkungan hidup, karena menghasilkan emisi karbon tinggi. Mulai dari polusi suara oleh gemuruh suara pesawat, emisi karbon yang dihasilkan dari bahan bakar pesawat, sampah yang dihasilkan, boros penggunaan energi fosil, boros penyedotan air tanah, hingga sampah.
Jika merujuk kebijakan net-zero emission, seharusnya isu lingkungan hidup menjadi poin penting dalam pengelolaan bandara.
Kritik lain adalah area merokok yang dianggap sebagai “nilai tambah”. Akibatnya, kafe di bandara berlomba menyediakan area merokok. Padahal, sebagai isolas bagi perokok untuk melindungi nonperokok, area merokok bukan sebagai bagian dari promosi.
Di bandaa Pudong Beijing, Changi Singapura, atau Dubai; area merokok sangat sempit. Di stasiun kereta Jepang, area merokok memaksa perokok berdiri. Sementara di bandara kita, area merokok punya kursi, meja, yang mewah dan nyaman.
Bandara di Indonesia memiliki beberapa persoalan (beban) serius dan tantangan berat, yakni beban investasi yang cenderung ugal-ugalan. Padahal beban investasi itu dipasok oleh dana utang dari sindikasi perbankan, dengan bunga tinggi. Contoh, utang Bandara Yogyakarta Internasional yang dulu ditukangi Angkasa Pura I, mencapai Rp 12 triliun. Sementara penumpang pesawat dalam beberapa tahun terakhir cenderung turun karena masih banyak pesawat yang dikandangkan setelah pandemi covid-19, kalah oleh pengguna jalan tol, plus tiket pesawat yang makin mahal.
Untuk mengakomodasi masalah-masalah di atar Peraturan 41/2021 mestinya direvisi. Aturan baru mesti mendorong bandara rendah emisi gas karbon, dengan indikator: tidak mengeksploitasi air tanah, dan mengolah limbah, menghemat penggunaan energi dan mengganti sumber energinya menjadi terbarukan.
Tak kalah penting keandalan bandara guna menuju bandara hijau dan keberlanjutan adalah bandara yang konsisten mengimplementasikan sebagai area bebas dari asap rokok, termasuk iklan dan promosi rokok.
Ikuti percakapan tentang isu ramah lingkungan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pegiat perlindungan konsumen dan lingkungan hidup, anggota Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI), pendiri dan pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, dan Ketua Pengurus Harian YLKI, 2015-2025
Topik :