Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 20 Desember 2024

Serangga Sebagai Altenatif Sumber Pangan untuk Mencegah Krisis Iklim

Serangga bisa menjadi alternatif sumber pangan. Sehat dan ramah lingkungan.

Serangga menjadi alternatif makanan kaya protein dan ramah lingkungan

SERANGGA identik dengan binatang yang menggelikan bahkan mungkin menjijikan. Apalagi jika dihidangkan sebagai makanan. Namun, siapa sangka, serangga adalah bagian dari makanan pokok nenek moyang kita di banyak negara. Bahkan di era modern, masyarakat Asia, Afrika, dan Amerika Latin masih mengonsumsi serangga sebagai makanan utama karena memiliki kandungan protein tinggi. Di Thailand, jangkrik goreng menjadi camilan yang populer, sementara di Meksiko, larva agave menjadi bahan dasar dalam berbagai hidangan tradisional.

Menjadikan serangga sebagai sumber pangan alternatif tak terlepas dari terus meningkatnya populasi manusia, sementara ketersediaan pangan cenderung stagnan. PBB memproyeksikan pada 2050 populasi dunia akan menyentuh angka 9 miliar jiwa. Ancaman kelaparan kian menghantui karena jumlah jiwa yang harus diberi makan semakin banyak.

Populasi juga membuat tekanan terhadap lahan hutan meningkat untuk dikonversi menjadi lahan pertanian. Kekurangan hutan membuat serapan emisi karbon juga berkurang yang membuat emisi terserap di atmosfer. Penambahan emisi meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca penyebab pemanasan global yang memicu krisis iklim.

Ahli biologi Universitas Stanford Paul Ehrlich mengklaim dalam bukunya, The Population Bomb, bahwa dunia akan kehabisan makanan, air, dan sumber daya lainnya tanpa mitigasi mengendalikan populasi. Hal yang sama juga disampaikan Thomas Robert Malthus bahwa pertumbuhan populasi ibarat deret ukur, sementara pertambahan bahan makanan mengikuti deret hitung.

Di sisi lain, ketika upaya meningkatkan produktivitas pangan dengan mengalihfungsikan lahan untuk sektor pertanian skala luas (baca: food estate) dan peternakan akan melahirkan banyak masalah baru. Penelitian yang diterbitkan Nature Climate Change bertajuk “Future Warming from Global Food Consumption” pada 2023 menyebutkan bahwa 75% pemanasan global didorong oleh makanan sebagai sumber metana tertinggi.

Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa konsumsi susu dan daging bertanggung jawab atas lebih dari setengah pemanasan global pada tahun 2030-2100. Berdasarkan kelompok makanan, upaya penyediaan beras berkontribusi terhadap pemanasan global sebesar 19% sampai akhir abad ke-21. Sedangkan sayur-sayuran, biji-bijian, makanan laut, minyak, minuman, telur, dan buah-buahan berkontribusi kurang lebih 5%. 

Salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk menguraikan persoalan pangan di masa akan datang, guna menjawab tuntutan permintaan pangan global yang terus meningkat, sembari mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, yaitu dengan mengeksplorasi serangga yang bisa dijadikan sebagai sumber pangan alternatif.  

Berdasarkan laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tercatat sekitar 1.900 spesies serangga yang aman untuk dikonsumsi manusia. Dalam buku Creepy Crawly Cuisine: The Gourmet Guide to Edible Insects (1998), juga diungkapkan beberapa spesies serangga yang kerap disantap manusia, antara lain 235 spesies kupu-kupu dan ngengat, 344 kumbang, 313 keluarga Hymenoptera, 239 jenis belalang dan jangkrik, hingga 39 jenis anai-anai.

Mengkonsumsi serangga juga bisa dikatakan “ramah lingkungan”. Laporan FAO Universitas Wageningen, Belanda pada 2013, bertajuk Edible Insect: Future Prospects for Food and Feed Security menyebutkan bahwa konsumsi serangga bisa membantu mengurangi polusi dan pemanasan global yang berujung perubahan iklim, juga meningkatkan asupan gizi dan mengatasi kelaparan. 

Dalam buku Serangga Layak Santap: Sumber Baru bagi Pangan dan Pakan (2018), Profesor FG. Winarno menjelaskan bahwa serangga belum menjadi bagian menu masyarakat Indonesia karena pandangan masyarakat tentang pangan berbasis serangga masih terbelah. Serangga masih dianggap sebagai hama, padahal beberapa penelitian menunjukkan bahwa serangga memiliki peran besar sebagai sumber pangan dan menjadi alternatif dari junk food yang kurang menyehatkan.

Sebagai contoh, ada sayok (larva capung) yang dimasak pedas di daerah Danau Linow, Tomohon, Sulawesi Utara. Masyarakat Papua menjadikan ulat sagu sebagai sumber protein. Masyarakat Gunung Kidul di Yogyakarta menggoreng belalang.

Di ujung timur Pulau Jawa, masyarakat setempat mengenal hidangan botok tawon, juga rempeyek laron. Tentunya masih banyak masyarakat lokal di negeri ini yang menjadikan serangga sebagai sumber pangan.

Sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan Scientific Report bertajuk “The Global Atlas of Edible Insects: Analysis of Diversity and Commonality Contributing to Food Systems and Sustainability” (2024), menempatkan Indonesia di urutan kelima sebagai negara yang mengkonsumsi beragam serangga. Tercatat 88 jenis serangga yang dikonsumsi di Indonesia. Penelitian tersebut juga menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kehati serangga cukup tinggi.

Pemanfaatan serangga sebagai sumber pangan alternatif di masa depan memiliki prospek yang sangat menjanjikan. Dari segi ekonomi misalnya, memulai dan mengembangkan usaha serangga sebagai pangan sangat menguntungkan. Menjadikan serangga sebagai pangan alternatif juga ramah secara lingkungan, serta memiliki berbagai kandungan yang tentunya baik bagi kesehatan.

Terkait aspek ekonomi, serangga yang dapat dimakan merupakan solusi yang baik, karena budi daya serangga merupakan kegiatan yang tidak memerlukan modal besar. Budidaya serangga juga membutuhkan lahan yang lebih sedikit dibandingkan dengan peternakan hewan lainnya. Namun memiliki keuntungan finansial yang besar dan cepat karena siklus hidup serangga jelas lebih pendek dibandingkan sumber protein lain dengan waktu reproduksi yang lebih singkat.

Dari segi kesehatan, secara umum, pangan berbasis serangga merupakan sumber protein, karbohidrat, dan asam lemak dan vitamin yang baik dan penting bagi tumbuh. Penelitian dari Department of Chemistry, University of Athens, Yunani, tentang serangga yang dapat dimakan, mengungkapkan bahwa serangga mengandung gizi utama seperti karbohidrat (2,7-48,8 mg/kg), protein (20-76%), dan lemak (2-50%) (Papastavropoulou dkk, 2022).

Secara ekologi, pemanfaatan lahan untuk ternak serangga dua hingga sepuluh kali lebih sedikit dibandingkan memproduksi protein hewani lainnya. Di samping itu, manfaat yang sangat penting dari budidaya serangga adalah berkurangnya emisi gas rumah kaca. Aspek positif lainnya yang tak kalah penting entomofagi secara ekologis adalah pemanenan serangga juga membantu mengurangi penggunaan pestisida dan insektisida.

Sekilas, banyak serangga yang dapat dimakan dianggap sebagai hama bagi tanaman, yang mengakibatkan penggunaan pestisida dan insektisida secara sembarangan. Ketika serangga dimanfaatkan sebagai sumber makanan, secara otomatis penggunaan bahan-bahan kimia untuk serangga akan semakin berkurang. Hal ini dikarenakan orientasi mengumpulkan serangga adalah untuk konsumsi, bukan sekadar dimusnahkan.

Perdebatan terkait upaya pemenuhan pangan di masa akan datang tanpa mengabaikan aspek lingkungan, tentunya bisa dijawab dengan menengok kembali sumber pangan yang dikonsumsi para leluhur kita. Serangga sebagai salah satu sumber pangan alternatif yang telah lama menjadi kudapan para leluhur kita, dapat dijadikan sebagai solusi untuk menjawab ancaman kelangkaan pangan ke depan. Selain kaya nutrisi, ramah lingkungan, dan ekonomis, mengkonsumsi serangga berarti mengangkat kembali budaya pangan kita yang beranekaragam.

Ikuti percakangan tentang krisis iklim di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika IPB University

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain