LEBIH dari separuh produksi pangan dunia terancam gagal panen dalam 25 tahun ke depan. Krisis air yang melanda planet ini jadi faktor utama penyebab menurunnya produksi pangan dunia, menurut studi Global Commision on the Economics of Water. Krisis air akan berganti menjadi krisis pangan.
Lebih dari dua miliar orang tidak memiliki akses terhadap air minum yang aman. Sebanyak 3,6 miliar orang, atau 44% dari populasi dunia, tidak memiliki akses terhadap sanitasi yang memadai. Akibatnya, setiap hari ada sekitar 1.000 anak meninggal dunia akibat kurangnya akses ke air bersih.
Dalam laporan Global Commission on the Economics of Water itu disebutkan bahwa kebutuhan manusia terhadap air lebih banyak dari yang diperkirakan. Selama ini diprediksi bahwa setiap orang butuh 50-100 liter per hari untuk keperluan sehari-hari. Nyatanya, kita butuh sekitar 4.000 liter per hari untuk mendapat hidup yang lebih layak.
Air di seluruh dunia adalah sebuah ekosistem. Kerusakan lokal di satu tempa akan memberikan dampak secara global. Air bergerak di seluruh dunia melalui mekanisme blue water, yakni lewat aliran sungai, danau, dan badan air lainnya. Lewat mekanisme green water, yakni lewat penguapan dari badan air dan tanaman di suatu tempat, air tersebut menjadi hujan di tempat lain.
Cina dan Rusia merupakan penerima manfaat utama green water. Sementara India dan Brasil adalah pengekspor utama. Daratan mereka menyediakan banyak uap air yang akan mengalir ke wilayah lain. Sebanyak 40-60% air hujan tawar bersumber dari penguapan area hijau dan sekitarnya.
Artinya, perekonomian Cina bergantung pada pengelolaan hutan di Ukraina, Kazakhstan, dan wilayah Baltik. Ketersediaan air di Argentina, bergantung pada kesehatan hutan di Brasil. Hal ini menunjukkan keterkaitan antar negara melalui siklus air. Permasalahan air di satu negara adalah permasalahan global yang perlu diperhatikan.
Air adalah korban utama krisis iklim. Setiap kenaikan 1o Celcius akan menambahkan 7% air menguap ke atmosfer. Artinya, kelembaban di daratan akan berkurang. Efeknya bisa kita lihat, kebakaran hutan dan lahan makin rentan.
Tak mengherankan jika krisis air akan berdampak pada perekonomian. Krisis air akan mengurangi sekitar 8% PDB Global pada 2050. Negara-negara berpendapatan rendah akan mengalami kerugian sebesar 15%. Parahnya lagi, lebih dari setengah produksi pangan dunia berasal dari daerah yang mengalami krisis air.
Menurut para ahli, lebih dari US$ 700 miliar subsidi yang setiap tahun mengalir ke sektor pertanian sebagian besar salah sasaran, yang mendorong praktik pertanian yang menggunakan lebih banyak air. Selain itu, 80% air limbah yang dihasilkan industri tidak didaur ulang, memberikan beban tambahan bagi sistem air dunia.
Meskipun kita menghadapi krisis air dan sistem air global saling terhubung antar negara, belum ada konferensi atau pertemuan antar negara yang membahas secara khusus tentang manajemen air. Dalam 50 tahun terakhir, baru ada satu konferensi khusus air yang dilaksanakan PBB.
Ikuti percakapan tentang krisis air di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :