TRANSISI energi kerap jadi andalan solusi mengatasi krisis iklim. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, dalam sebuah pidato pada 2022, menyebutkan energi terbarukan bisa membawa dunia keluar dari krisis iklim. Secara teoritis, penggantian energi fosil yang tinggi emisi ke energi terbarukan lebih ramah lingkungan.
Badan Energi Internasional (IEA) menyebutkan bahwa pada 2023, dunia menambah 50% kapasitas energi terbarukan dibanding 2022. Namun, pada tahun itu malah terjadi peningkatan emisi karbon, yang menyentuh angka 37,4 miliar ton, naik 1,1% atau sebesar 410 juta ton dibanding 2022.
Transisi energi yang masif dan cepat membawa sejumlah masalah baru. Contohnya, meningkatnya produksi tenaga, angin, dan kendaraan listrik (EV) berarti butuh lebih banyak mineral dan material. Dimana bahan baku tersebut didapat dari proses penambangan.
Fenomena ini sendiri juga sudah dirangkum dalam teori ekonomi di abad ke-19, yakni "Paradoks Jevon". Paradoks Jevon menyebutkan bahwa “peningkatan efisiensi penggunaan sumber daya (lewat teknologi baru) akan menghasilkan peningkatan konsumsi sumber daya.”
Semakin efisien energi yang digunakan, semakin besar produksi dan pertumbuhan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Hal itu mendorong ke peningkatan produksi yang makin besar. Produksi lebih besar membutuhkan lebih banyak konsumsi energi.
William Stanley Jevons, pencetus Paradoks Jevon, mengamati penggunaan batu bara. Saat itu Jevons melihat walau efisiensi mesin uap batu bara telah meningkat, tapi konsumsi batu bara juga naik. Dalam fenomena sekarang, naiknya penggunaan energi terbarukan. mendorong produksi emisi karbon.
Apalagi, meski penggunaan energi terbarukan cukup masif, energi fosil tetap jadi sumber energi utama. Pemerintah Cina memproduksi solar panel terbanyak di dunia, hampir 80% dari pangsa pasar global. Namun, Cina termasuk konsumen teratas energi fosil, setengah dari konsumsi global bahan bakar fosil.
Harga energi terbarukan, khususnya panel surya, semakin murah setiap tahunnya. Namun, energi fosil masih tetap lebih murah, ditambah dengan adanya subsidi dari pemerintah. Selain itu, penambangan mineral dan material energi terbarukan juga menggunakan energi fosil sebagai bahan bakarnya.
Masa pakai panel surya 20-30 tahun. Dalam artikel 2021 dari Harvard Business Review, konsumen mengganti panel surya setelah sepuluh tahun pemakaian.
Pergantian tersebut akan menimbulkan masalah baru, yakni sampah panel surya. Pada 2050, IEA memperkirakan ada 78 juta ton panel surya yang habis masa pakainya. IEA memprediksi dunia akan menghasilkan sekitar 6 juta ton sampah panel surya setiap tahun.
Daur ulang bisa jadi solusi. Tapi, saat ini, menimbun sampah panel surya jauh lebih praktis dibanding mendaur ulangnya. Biaya untuk mendaur ulang panel mencapai US$ 20-30, sedangkan jika menguburnya hanya US$1-2, 10-30 kali lipat lebih murah.
Ikuti percakapan tentang energi terbarukan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :