BERALIH ke energi terbarukan dan bersih menjadi agenda utama mitigasi iklim. Kini, energi matahari dan energi angin masih jadi andalan memenuhi kebutuhan energi hijau. Masalahnya, kedua energi tersebut tak tersedia setiap waktu. Karena itu, pemenuhan energi terbarukan merupakan penggabungan dari pelbagai sumber. Panas bumi menjadi alternatif karena energi ini ada selama bumi masih berputar.
Saat ini, penggunaan energi panas bumi masih minim, hanya 1% dari konsumsi listrik global. Padahal, menurut International Energy Agency, energi panas bumi memiliki potensi hingga 4.000 PWh atau sekitar 150 kali dari kebutuhan listrik tahunan dunia.
Untuk memanfaatkan panas bumi butuh pengeboran untuk mengakses cadangan air di bawah tanah. Panas dari rotasi bumi akan memanaskan air di bawah tanah lalu menciptakan uap untuk memutar turbin dan menghasilkan listrik.
Energi itu hanya ada di daerah yang memiliki panas alami, cadangan air bawah tanah alami, dan kondisi batuan yang dapat ditembus. Pada akhirnya, secara konvensional, panas bumi hanya bisa ditemukan di sejumlah kecil tempat, seperti Amerika Serikat, Islandia, Kenya, dan Indonesia.
Seiring dengan berkembangnya teknologi, halangan-halangan tersebut tak lagi jadi masalah. Lewat Enhanced Geothermal System (EGS), keberadaan cadangan air bawah tanah tak lagi diperlukan untuk menghasilkan energi panas. Kita hanya butuh panas bumi semata untuk menghasilkan energi.
Secara singkat, EGS bekerja di kedalaman bumi 5 kilometer. Air yang dipanaskan disemprotkan dari luar. Uap dari pemanasan air itu yang akan menghasilkan energi listrik.
Ada juga teknologi Closed Loop Geothermal System (CLGS) yang menggunakan sistem tertutup dan sirkular. Air yang dipompa ke dalam tanah akan memanas tanpa menyentuh batuan di sekitarnya secara langsung. Teknologi lain adalah Super Hot Geothermal System (SHGS) yang mengebor lebih dalam lagi, sekitar 12 kilometer, untuk mendapatkan batuan super panas bersuhu 3740 Celcius.
Dari semua teknologi, EGS yang paling banyak diadopsi. Dari segi manfaat, panas bumi memiliki emisi gas rumah kaca yang rendah dalam siklus hidupnya. Setara dengan energi terbarukan lainnya, seperti surya dan angin. Ia juga hanya mengeluarkan sedikit atau bahkan tidak mengeluarkan polutan udara berbahaya seperti sulfur dioksida, nitrogen oksida, dan polutan lainnya, seperti yang dikeluarkan pembangkit listrik tenaga fosil.
Masalahnya, pembangkit listrik panas bumi butuh lebih banyak air dibanding tenaga surya dan angin. Namun jika dibanding energi fosil dan biomassa, air yang dibutuhkan untuk menghasilkan energi panas bumi relatif lebih sedikit.
Selain itu, panas bumi tak terlalu bergantung pada mineral, seperti lithium dan seng, yang dibutuhkan untuk membuat baterai. Dari segi jejak lahan (land footprint), panas bumi memiliki jejak lahan terkecil kedua dari semua sumber energi (lihat gambar).
Tapi bukan berarti energi panas bumi tanpa resiko. Pengeboran untuk mengakses panas bumi menggunakan teknik fracking yang berkontribusi terhadap gempa bumi.
Proyek EGS di Basel, Swiss, memicu gempa berkekuatan 3,4 Magnitudo dan menyebabkan kerusakan senilai US$ 9 juta. Kemungkinan proyek EGS tersebut terletak di patahan aktif yang mengeskalasi proses seismik. Proyek EGS di Pohang di Korea Selatan memciu terhadap gempa 5,5 Magnitudo yang menyebabkan kerusakan senilai US$ 52 juta. Kendati begitu, para ahli industri mengatakan bahwa resiko tersebut bisa dimitigasi.
EGS telah menarik banyak perhatian. Di Amerika Serikat, Fervo Energy, perusahaan swasta, tengah menginstalasi EGS berkapasitas 2.000 megawatt yang mampu mengalirkan listrik untuk 2 juta rumah. Proyek tersebut juga bermitra dengan Google. Sage Geosystem dan Meta juga berencana memproduksi 150 MW menggunakan EGS. Negara-negara di Uni Eropa dan Cina juga berencana meningkatkan eksploitasi potensi panas bumi secara signifikan.
Indonesia juga berencana meningkatkan kapasitas energi panas bumi. Saat ini, Indonesia memiliki 2,28 gigawatt kapasitas listrik panas bumi yang terpasang, kedua terbesar di dunia, setelah Amerika Serikat. Walau begitu, saat ini hanya 3% dari kapasitas listrik yang terpasang. Jumlah itu hanya bagian kecil dari potensi panas bumi Indonesia yang mencapai 23,7 gigawatt.
Menurut Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Indonesia berencana mencapai 7,24 gigawatt energi panas bumi pada 2024. Untuk memenuhinya butuh investasi sebesar US$ 15 miliar. Indonesia menargetkan 9,3 gigawatt di tahun 2035.
Ikuti percakapan tentang energi terbarukan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :