Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 29 Desember 2024

Masyarakat Adat Kunci Pelestarian Laut

Masyarakat adat menjadi pelindung laut secara tradisional. Perlu dipadukan dengan pendekatan pengetahuan modern.

masyarakat tradisional pesisir (foto: Tribes.world)

DULU masyarakat yang tinggal di pesisir hidup selaras dengan laut. Mereka tak sekadar memenuhi kebutuhan hidup dari hasil laut, juga menghormati laut sebagai bagian dari tradisi dan budaya. Selama ribuan tahun, penduduk pesisir memanfaatkan laut dengan sewajarnya dan sepantasnya.

Kondisinya berubah di era 1800-an. Beberapa negara mulai membatasi hak penangkapan ikan masyarakat setempat. Pemerintah membuat berbagai larangan, membendung sungai, dan memperluas industri perikanan komersial

Di Pesisir Barat Laut Pasifik, Suku Makah, Suku Yakama, dan suku-suku lainnya tak bisa menangkap ikan di perairan leluhur mereka. Jika mereka memaksa, mereka menghadapi hadangan korporasi besar. Pada 1960-an, masyarakat adat di sana mendapatkan hak mereka kembali untuk menangkap ikan di perairan leluhur mereka. Namun, perselisihan masih eksis sampai saat ini.

Kasus tersebut hanya satu dari sekian banyak masyarakat adat yang kehilangan hak atas perairan. Sementara korporasi dan pebisnis bisa dengan lancar merebut perairan leluhur masyarakat adat dan mengeruk hasil lautnya secara melimpah.

Banyak penelitian dan laporan yang menunjukkan bahwa masyarakat adat dirugikan oleh kebijakan yang menyangkal hak-hak penangkapan ikan dan membatasi akses mereka.

Kini kita melihat dampaknya. Pemanfaatan dan pengelolaan laut atas dasar ekonomi telah menimbulkan banyak dampak negatif. Penangkapan ikan secara berlebihan, kerusakan terumbu karang, penurunan drastis populasi ikan, dan pencemaran laut adalah sedikit contohnya.

Sekarang, semua negara sibuk membuat kajian mencari solusi. Jawaban dari kajian itu berujung pada sesuatu yang sering dikesampingkan, yakni masyarakat adat.

Berbagai studi menggarisbawahi peran masyarakat adat dalam pengelolaan laut berkelanjutan. Masyarakat adat mewarisi pengetahuan tradisional dalam mengelola laut secara turun temurun. Mereka juga memiliki hubungan mendalam dengan lingkungan sekitarnya. Hal itu membuat mereka memaknai laut secara lebih luas, bukan hanya sebagai sumber ekonomi semata.

Negara-negara didorong untuk mengadopsi konsep "two-eyed seeing", satu mata melihat pengetahuan leluhur dan cara hidup masyarakat adat, mata yang lain melihat dengan kekuatan ilmiah dan pengetahuan modern. Dengan begitu, penyusunan kebijakan bisa melihat dari berbagai sisi.

Masyarakat adat di Bali dan Lombok memiliki aturan yang dinamakan awig-awig. Aturan ini adalah hasil kesepakatan bersama masyarakat yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan laut. Pelarangan penggunaan bom dan bahan kimia berbahaya adalah salah satu contoh isi aturan tersebut. Awig-awig telah diakui secara resmi oleh regulasi.

Di Papua, masyarakat mempraktikan tradisi Sasi Laut yang telah telah ada sejak ratusan tahun lalu. Dalam sasi suatu wilayah laut tertentu tidak boleh diambil hasil lautnya dalam kurun waktu tertentu. Saat wilayah itu dibuka, masyarakat juga hanya boleh mengambil jenis-jenis tertentu yang telah disepakati, seperti teripang dan lobster. Dengan begitu, keberadaan sumber daya laut tetap terjaga secara berkelanjutan.

Mengakui hak-hak masyarakat adat dan masyarakat tradisional dalam tata kelola laut adalah bentuk kesetaraan dan keadilan. Isu yang selama ini selalu digaungkan berbagai negara. Menghargai keragaman pengetahuan dan menjalin kemitraan yang adil dengan masyarakat adat akan melahirkan kebijakan pengelolaan laut berkelanjutan, yang dapat memulihkan hubungan manusia dengan laut.

Ikuti percakapan tentang masyarakat adat di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain