Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 08 Januari 2025

Perdagangan Satwa Liar Tak Kunjung Reda

Perdagangan satwa liar memengaruhi lebih dari 4.000 spesies dengan nilai Rp 320 triliun rupiah tiap tahun. Media sosial menyuburkannya.

Perdagangan satwa liar terus terjadi (foto: Arcus Foundation)

PERDAGANGAN satwa liar masih berlanjut dan urung menunjukkan tanda penurunan dalam dua dekade terakhir. Hiu, badak, gajah, harimau, dan burung jadi spesies yang paling terkena dampak. Secara ekonomi, perdagangan satwa liar sendiri bernilai Rp 320 triliun per tahun, menurut laporan World Wildlife Crime Report.

Dalam laporan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), perdagangan satwa liar telah melibatkan lebih dari 4.000 spesies hewan dan tumbuhan di 162 negara selama 2015-2021. Sebanyak 3.250 spesies termasuk dalam daftar CITES

Selama rentang waktu itu, terdapat 13 juta barang yang berasal dari satwa dan tumbuhan liar yang disita. Jika ditimbang, totalnya seberat lebih dari 16.000 ton selama tujuh tahun. Dari 1.652 spesies mamalia, burung, reptil, dan amfibi yang tercatat dalam penyitaan, 40% diklasifikasikan sebagai spesies terancam punah atau hampir terancam punah.

Mengakhiri perdagangan satwa liar sudah menjadi agenda global dalam Sustainable Development Goals (SDG) yang disepakati oleh 190 negara. Namun jika dilihat dari tren, perdagangan satwa liar tak menunjukkan penurunan.

Di Indonesia, belum lama ini petugas menyita lebih dari 6.500 ekor burung dari Sumatera ke Jawa. Menjadikannya operasi penyitaan burung terbesar dalam sejarah modern Indonesia. Dari ribuan ekor burung, 257 ekor termasuk dalam kategori dilindungi.

Di tahun ini, juga terungkap bahwa terdapat kelompok-kelompok terorganisasi di Taman Nasional Ujung Kulon yang telah membunuh 7 ekor badak Jawa (Rhinoceros sondaicus). Itu artinya, kelompok tersebut bertanggung jawab atas hilangnya 10% populasi badak Jawa antara 2019-2023.

Di Nigeria, Nigeria Customs Service (NCS) menangkap dan menyita lebih dari 9,4 ton sisik trenggiling. Sementara di Thailand, pihak berwenang menemukan banyak satwa liar yang didapatkan secara ilegal. Operasi tersebut menyelamatkan 1.234 kura-kura, 48 lemur, 30 primata, dan spesies terancam punah lain yang bernilai lebih dari US$ 2 juta di pasar gelap.

Uni Eropa yang memiliki regulasi ketat, ditemukan adanya penyelundupan macaw spix, burung yang sudah punah di alam liar. Total 50 ekor macaw spix diselundupkan ke Belgia, Denmark, dan Slovakia.

Kematian hiu akibat perburuan juga meningkat dalam satu dekade terakhir. Padahal 70% negara di dunia telah menerapkan kebijakan yang melarang finning dan kebijakan lain untuk melindungi populasi hiu. Regulasi pelarangan perburuan hiu naik 10 kali lipat, namun perburuan hiu meningkat dari 76 juta ke 80 juta ekor per tahun.

Informasi perburuan dan perdagangan satwa liar dapat ditemukan dengan mudah di sosial media. Media sosial, seperti Facebook, telah menjadi alat marketing penting bagi pelaku perdagangan satwa liar. WhatsApp menjadi media sosial untuk menyelesaikan transaksinya.

Laporan yang diterbitkan di Oktober oleh Global Initiative Against Transnational and Organized Crime menunjukkan 477 iklan untuk menjual 18 spesies dilindungi di Brazil dan Afrika Selatan dalam periode tiga bulan di tahun ini. Sebanyak 78% iklan tersebut ada di Media Sosial.

Di Indonesia terdapat kelompok-kelompok yang memfasilitasi perdagangan burung, seperti paruh bengkok, kakatua jambul kuning, nuri jambul hitam, dan kasturi maluku, di media sosial. Produk hiu dan pari juga masih diiklankan secara terbuka secara online. Jaringan pemburu badak di Jawa dan Sumatera menggunakan media sosial untuk mendukung operasi mereka.

Perdagangan satwa liar seringkali tumpang tindih dengan kegiatan kriminal lainnya, seperti penyelundupan narkoba. Seperti di Kolombia, perdagangan sirip hiu ilegal yang disita di tahun 2021 adalah milik seorang putra pemimpin kartel narkoba. Orang-orang kaya dan berpengaruh juga kerap memainkan peran dalam perdagangan satwa liar.

Ikuti percakapan tentang perdagangan satwa di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain